Tujuh bulan pascagempa, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah, penyintas kembali membangun rumah di zona terlarang atau zona merah.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
PALU, KOMPAS - Tujuh bulan pascagempa, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah, penyintas kembali membangun rumah di zona terlarang atau zona merah. Padahal, dari awal pemerintah menegaskan titik-titik tersebut harus dikosongkan dari hunian untuk mencegah korban jiwa dan kerusakan harta benda saat bencana kembali terjadi.
Zona merah ditetapkan pemerintah pascagempa yang diikuti tsunami dan likuefaksi, 28 Sepember 2018 di Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu. Zona merah meliputi kawasan bekas tsunami di Teluk Palu, bekas likuefaksi, dan jalur utama sesar Palu Koro yang memicu gempa.
Peta zona rawan bencana itu ditetapkan 12 Desember 2018 oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Pemerintah Provinsi Sulteng.
Titik-titik yang dijadikan zona merah merupakan daerah yang mengalami kehancuran parah saat gempa terjadi. Semua penyintas di zona merah direlokasi ke lahan baru. Pemerintah membangunkan rumah bagi para penyintas yang direlokasi.
Merujuk data yang ditandatangani Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola pada 8 Januari 2019, korban meninggal akibat gempa, tsunami, dan likuefaksi sebanyak 2.657 jiwa dan 667 jiwa hilang. Rumah rusak ringan, rusak sedang, rusak berat, dan hilang tercatat 88.852 unit.
Tujuh bulan berlalu, penyintas kembali membangun rumah di zona merah atau terlarang tersebut. Di jalur sesar di Jalan Padanjakaya, Kelurahan Pengawu, Kecamatan Tatanga, satu rumah beton dibangun lagi. Masih di jalur sesar, terutama di Jalan Asam, Kelurahan Kabonena, Kecamatan Ulujadi, penyintas juga sudah membangun rumah dan menempatinya. Padahal, patok batas-batas zona merah telah dipasang sejak Februari 2019.
Di kawasan pesisir, sekitar 20 rumah telah dibangun dan ditempati di dekat bibir pantai di Kelurahan Mamboro Barat, Kecamatan Palu Utara. Di bekas areal likuefaksi Kelurahan Balaroa, empat rumah juga sudah didirikan dan ditempati.
Nunung (28), penyintas yang membangun rumah di jalur sesar di Kelurahan Pengawu mengatakan, sejak awal ia tak mendapat informasi dari pemerintah soal larangan membangun kembali rumah di zona merah. Ia hanya mendengar informasi yang beredar di masyarakat. “Karena tidak punya lahan lain, saya tetap bangun di sini,” ujarnya. Dana pembangunan rumah diperoleh dari donatur.
Rumah baru Nunung hampir rampung dibangun. Rumah mulai dibangun Januari 2019. Rumah dibangun hanya dua mater dari puing rumah lamanya yang ambruk karena gempa. Saat ini, ia tinggal di hunian sementara (huntara) yang dibangun pemerintah.
Akhir Februari 2019, tukang yang mengerjakan rumahnya didatangi orang yang mempertanyakan pembangunan kembali rumah di zona merah tersebut. Namun, setelah kejadian itu tak ada lagi orang datang melarang kelanjutan pengerjaan rumah.
Syamsu (43), penyintas yang sudah membangun rumah di kawasan tersapu tsunami di Kelurahan Mamboro Barat mengatakan, sejak awal mendirikan rumah dan menempatinya, tidak ada pihak yang melarang. “Tempat usaha saya di sini. Saya tetap mau di sini,” kata pedagang ikan teri itu.
Syamsu menolak tinggal di huntara yang berjarak sekitar 2 kilometer dari rumah yang dibangun saat ini. Alasannya, tidak bisa maksimal bekerja kalau jauh dari tempat usaha.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulteng Bartolomeus Tandigala menyatakan, pemasangan patok batas zona merah sebenarnya sudah menjadi pemberitahuan bagi penyintas. “Sudah ada patok. Itu sudah jelas. Mau memberi tahu bagaimana lagi,” katanya.
Soal minimnya sosialisasi saat pemasangan patok terkait pengosongan zona merah, Bartolomeus menyatakan masyarakat seharusnya sudah tahu. Sejak awal disampaikan semua yang berada di zona merah akan direlokasi.
Ia mengingatkan, penetapan zona terlarang merupakan bentuk mitigasi atau mencegah masalah (kehancuran) di kemudian hari. Itu sekaligus bentuk perhatian pemerintah terhadap masyarakat.
Terkait upaya penertiban rumah-rumah di zona merah, Bartolomues memastikan hal itu memang harus dilakukan. Langkah tersebut akan dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota.
Beberapa waktu lalu, Kepala BPBD Kota Palu Presly Tampubolon mengakui mengetahui adanya pembangunan rumah di zona merah tersebut. Sosialisasi dibutuhkan untuk memastikan zona terlarang tersebut kosong, yang dilakukan bersama sejumlah pihak.