Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Tembokrejo di Kecamatan Mucar, Banyuwangi, Jawa Timur, mampu memilah 12 ton sampah sehari. Dari usaha tersebut, sampah yang masuk ke Tempat Pembuangan Akhir Patoman bisa berkurang hingga 60 persen.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·4 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS — Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Tembokrejo di Kecamatan Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur, mampu memilah 12 ton sampah sehari. Dari usaha tersebut, sampah yang masuk ke Tempat Pembuangan Akhir Patoman di kawasan itu bisa berkurang hingga 60 persen.
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi berharap tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) ada di setiap desa sehingga daya tampung tempat pembuangan akhir bisa lebih terkontrol.
”Saat ini, kami mengelola sampah dari 10.000 rumah di Desa Tembokrejo. Per hari sedikitnya 12 ton sampah yang masuk ke TPST Tembokrejo kami sortir berdasarkan jenisnya. Tidak hanya organik dan anorganik, tetapi juga disortir berdasar tipe sampah anorganik,” tutur Technical Facility Officer Systemiq Putra Perdana Kusuma di Banyuwangi, Rabu (8/5/2019).
Putra mengatakan, dari 12 ton sampah yang dikumpulkan, 30 persen merupakan sampah plastik berupa saset (plastik kemasan) dan keresek (tas plastik). Selain itu, sampah juga didominasi sampah organik sisa perkebunan.
Sampah tersebut dikumpulkan dari rumah-rumah warga, dari depo (titik) pengumpulan sampah, dan juga dari sungai ataupun pesisir pantai di sekitar Kecamatan Muncar yang masuk dalam wilayah Desa Tembokrejo.
Saat ini, kami mengelola sampah dari 10.000 rumah di Desa Tembokrejo. Per hari sedikitnya 12 ton sampah yang masuk ke TPST Tembokrejo kami sortir berdasarkan jenisnya.
Khusus untuk sampah organik yang berasal dari rumah tangga, TPST Tembokrejo mengolahnya menjadi pupuk kompos. Pengolahan pupuk kompos menggunakan teknologi pengurai sampah dengan bantuan lalat tentara hitam atau black soldier fly (Hermetia illucens).
”Dari sampah organik tersebut, kami dapat memproduksi bahan kompos hingga 18 ton per bulan. Tak hanya memproduksi kompos, lalat tentara hitam yang kami gunakan untuk mengurai sampah juga bisa menjadi bahan pakan ternak karena kandungan proteinnya yang tinggi,” ujar Putra.
Ia mengatakan, tidak semua sampah bisa dipilah dan diolah. Ada sejumlah sampah yang bisa dipilah untuk kemudian diolah atau dijual kepada pengepul. Namun, ada sekitar 40 persen sampah yang tidak bisa diolah sehingga harus masuk ke tempat pembuangan akhir.
Sampah residu sebanyak 40 persen tersebut, antara lain, terdiri dari popok, pembalut, kertas yang terkena minyak, atau plastik yang sudah terlalu kotor.
”Sampah residu tersebut sangat sulit dibersihkan dan tidak laku dijual kepada pengepul. Kalaupun dibersihkan, biaya pembersihannya justru lebih besar daripada harga jual,” ungkap Putra.
Ia mengatakan, TPST ini merupakan bagian dari Project Stop Ocean Plastic yang diinisiasi oleh Systemiq. Systemiq merupakan perusahaan asing yang bergerak pada inisiasi pengolahan sampah dan inkubasi kehutanan nonkayu.
Program ini bukan semata-mata untuk mengurangi sampah, melainkan menekan jumlah sampah yang hanyut ke laut. Kegiatan yang dilakukan Systemiq tidak hanya berupa pengolahan sampah, tetapi juga pendampingan untuk mengubah gaya hidup masyarakat.
”Saat ini, masyarakat Tembokrejo yang tinggal di pesisir pantai sudah tidak lagi membuang di sungai atau di pantai. Namun, harus diakui, masih banyak sampah di sekitar pesisir Muncar karena masyarakat di hulu belum memiliki keprihatinan yang sama. Ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi kami,” ujarnya.
Rianto (48), salah satu warga Desa Tembokrejo yang tinggal di pesisir Pantai Satelit, merasakan ada perubahan di lingkungan tempat tinggalnya. Perubahan tersebut terjadi setelah warga desa sadar untuk tidak membuang sampah sembarangan.
”Lumayan ada perubahan. Sekarang di sekitar rumah lebih bersih dan nyaman sehingga lebih enak tinggal di rumah. Dulu saat masih banyak sampah, kami para nelayan harus menanggung biaya perbaikan baling-baling yang rusak karena tersangkut sampah,” katanya.
Rianto mengatakan, dirinya pernah harus mengganti baling-baling dua kali dalam sehari. Baling-baling di perahunya patah karena tersangkut sampah. Padahal, harga satu baling-baling mencapai Rp 250.000.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Banyuwangi Husnul Chotimah menyebutkan, produksi sampah di Banyuwangi mencapai 1.100 ton per hari. Dari total sampah tersebut, hanya 295 ton yang tertangani dan dapat diangkut ke tempat pembuangan akhir.
”Dari total 1.100 ton produksi sampah per hari, 40 persen merupakan sampah anorganik, termasuk sampah plastik. Imbauan bupati tentang penggunaan botol minum pribadi dan surat edaran pengurangan penggunaan kantong plastik merupakan upaya untuk menekan banyaknya sampah plastik,” kata Husnul.
Husnul mengatakan, upaya tersebut diharapkan juga dapat menekan laju produksi sampah di Banyuwangi. TPA milik Kabupaten Banyuwangi di Bulusan sudah melebihi kapasitas.
Saat ini, Banyuwangi memiliki TPA sementara di Desa Patoman, Kecamatan Blimbingsari. Namun, TPA tersebut diperkirakan hanya mampu menampung sampah Banyuwangi hingga satu tahun ke depan.
”Saat ini, Banyuwangi sedang merancang pembangunan TPA di lahan milik pemda Banyuwangi seluas 10 hektar di Desa Sidowangi, Kecamatan Wongsorejo. Nantinya TPA baru akan menggunakan sistem sanitary landfill sehingga sampah yang ditumpuk dalam cekungan akan ditimbun dan dipadatkan dengan tanah setiap hari,” kata Husnul.
Penerapan TPST di setiap desa diharapkan juga dapat menekan laju pembuangan sampah ke TPA. Namun, upaya tersebut tidak mudah karena dibutuhkan biaya dan tenaga kerja yang bersedia mengolah sampah tiap hari.