JAKARTA, KOMPAS — Rencana revisi aturan mengenai konsep hunian berimbang masih belum disepakati semua pihak. Pemerintah ingin agar revisi itu tidak keluar dari koridor perundangan sekaligus dapat mendorong pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasian rendah.
Rencana untuk merevisi konsep hunian berimbang telah dibicarakan sejak tahun lalu. Hal yang hendak direvisi adalah mengenai pembangunan hunian berimbang. Menurut rencana, pengembang rumah komersial akan diperbolehkan melaksanakan konsep hunian berimbang tidak dalam satu kabupaten atau kota, bahkan diperbolehkan beda provinsi.
Oleh karena itu, aturan yang hendak direvisi adalah Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 7 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang. Dalam Pasal 9A Ayat 2 disebutkan, rasio hunian berimbang adalah 1:2:3, yakni untuk 1 rumah mewah, pengembang mesti membangun 2 rumah menengah dan 3 rumah sederhana.
Hingga kini ketentuan hunian berimbang dalam satu hamparan itu belum disepakati para pemangku kepentingan.
Meski demikian, menurut Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Khalawi Abdul Hamid, hingga saat ini, masalah mengenai satu hamparan itu belum disepakati dengan para pemangku kepentingan. Mereka adalah asosiasi perumahan, kementerian dan lembaga, akademisi, perbankan, pemerintah daerah, serta para pakar perumahan.
”Kita tidak bisa keluar dari koridor Undang-Undang (UU) Perumahan dan Kawasan Permukiman dan UU Rumah Susun. Tetapi, sedang dicari solusi yang bisa disepakati bersama,” kata Khalawi, Rabu (8/5/2019), di Jakarta.
Khalawi mengatakan, revisi Permenpera itu mesti diselaraskan dengan UU Perumahan dan Kawasan Permukiman. Padahal, pada Pasal 34 Ayat 2 undang-undang itu disebutkan, hunian berimbang dilakukan dalam satu hamparan. Kemudian, di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman disebutkan konsep hunian berimbang mesti diwujudkan pengembang dalam satu hamparan dalam satu kabupaten atau kota, kecuali DKI Jakarta dalam satu provinsi.
Menurut Khalawi, pemerintah tidak bermaksud mengkaji ulang UU Perumahan dan Kawasan Permukiman. Oleh karena itu, kini tengah dicari kemungkinan revisi agar hunian berimbang dapat dilaksanakan dalam satu hamparan dalam satu provinsi atau kabupaten terdekat. Hal ini diperlukan khususnya untuk wilayah Jabodetabekjur.
Bagi pemerintah, lanjut Khalawi, revisi ini dilaksanakan agar pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah dapat lebih cepat. Dengan demikian, angka kekurangan rumah dapat diatasi. ”Pembahasannya agak lama tidak apa-apa asal bisa dilaksanakan bersama,” ujar Khalawi.
Konsep hunian berimbang dilakukan agar ada keadilan bagi semua lapisan masyarakat dalam memanfaatkan prasarana dan utilitas.
Secara terpisah, pengamat perumahan dan permukiman Tjuk Kuswartojo berpandangan, konsep hunian berimbang dilakukan agar ada keadilan bagi semua lapisan masyarakat dalam memanfaatkan prasarana dan utilitas. Selain itu, ada ide untuk membuat semacam masyarakat yang lebih tercampur (mixed society). Meski demikian, selama ini konsep itu tidak mudah dilaksanakan pengembang perumahan skala kecil.
Melihat hal itu, menurut Tjuk, pemerintah semestinya tidak perlu terpaku pada konsep hunian berimbang dalam satu hamparan. Seperti dilaksanakan di Malaysia, misalnya, pengembang rumah mewah baru diberi izin pemerintah ketika sudah membangun rumah menengah atau sederhana. Lokasinya bisa diatur pemerintah dan itu bisa di mana saja.
”Menurut saya, menginterpretasi undang-undang yang keliru. Seharusnya peranan Kementerian PUPR itu membina pemerintah-pemerintah daerah, bukan menyerahkan semua kepada pengembang,” kata Tjuk.