JAKARTA, KOMPAS—Bibit siklon yang terbentuk di Laut Banda pada Selasa (7/5/2019) malam menguat dan bergerak ke arah Timor Leste. Pusaran angin ini dikhawatirkan berkembang menjadi siklon tropis dan menyebabkan cuaca buruk di wilayah Indonesia timur.
Berdasarkan pantauan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Rabu (8/5/2019) sore, bibit siklon tropis dengan kode 93 S masih berada di Laut Banda sekitar Maluku Tenggara Barat, tepatnya di 6,6 derajat Lintang Selatan 129 derajat Bujur Timur. Bibit siklon itu bergerak ke barat daya dengan kecepatan 2 knot atau 4 kilometer (km) per jam.
Deputi Kepala Bidang Meteorologi Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) R Mulyono Prabowo mengatakan, bibit siklon ini berpotensi jadi siklon tropis. Saat ini kecepatan angin maksimum di pusat bibit badai mencapai 30 knot atau 55 km per jam dengan tekanan minimum hingga 1000 hPa.
Mulyono memperingatkan, bibit siklon tropis akan mengakibatkan kondisi cuaca buruk di sejumlah daerah di Indonesia, yakni hujan dengan intensitas sedang - lebat untuk wilayah Maluku bagian selatan, dan Nusa Tenggara Timur bagian timur. Adapun angin dengan kecepatan di atas 25 knot atau 48 km/jam berpeluang terjadi di NTT, Maluku, dan Papua bagian selatan.
Bibit siklon ini juga akan memicu gelombang setinggi 1,25 - 2,5 meter di Perairan selatan Ambon, selatan Kepulauan Kei - Kepulauan Aru, utara Kepulauan Tanimbar, Laut Arafuru bagian timur, dan barat Yos Sudarso. Gelombang dengan ketinggian 2,5 - 4 m berpeluang terjadi di Laut Banda bagian utara, Kepulauan Babar-Tanimbar, dan Laut Arafuru bagian tengah. Adapun gelombang dengan ketinggian 4 - 6 m berpeluang terjadi di Laut Banda bagian selatan, Kepukauan Sermata - Kepulauan Letti, dan Laut Arafuru bagian barat.
Fenomena langka
Peneliti iklim yang juga Kepala Subbidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto mengatakan, terbentuknya bibit siklon ini karena suhu perairan di Laut Aru sekitar Tual hingga Papua selatan lebih hangat dari biasanya. "Fenomena ini di luar kebiasaannya," katanya.
Terbentuknya bibit siklon ini karena suhu perairan di Laut Aru sekitar Tual hingga Papua selatan lebih hangat dari biasanya.
Keberadaan siklon tropis di wilayah Indonesia, menurut Siswanto, juga amat jarang terjadi. Lazimnya, badai ataupun siklon tropis terbentuk di garis lintang 10-20 derajat, kemudian bergerak menjauhi khatulistiwa karena terpengaruh gaya coriolis, yaitu gaya semu yang disebabkan perputaran rotasi bumi.
Gaya coriolis itu menyebabkan gerak angin dari belahan bumi utara berbelok ke kanan. Sebaliknya, angin berbelok ke kiri dari bumi selatan. Hal itu menyebabkan selama ini wilayah Indonesia relatif aman dari badai atau siklon tropis.
Menurut Siswanto, kajian berdasarkan data 110 tahun, bibit siklon yang terbentuk di bawah garis lintang 10 derajat hanya 0,63 persen. "Kalau bibit siklon itu bisa jadi siklon, berarti ini kali yang kedua setelah siklon tropis Kirilly di sekitar Kepulauan Kei pada 2009," ujarnya.
Catatan Kompas menunjukkan, saat siklon tropis Kirrily terbentuk di perairan Kepulauan Kei, Maluku pada 27 April 2009 terjadi hujan lebat dan storm surge. Puluhan rumah rusak dan terendam, jalan rusak, dan gelombang tinggi terjadi.
Sejumlah kajian menunjukkan, perilaku siklon tropis telah berubah, terutama terjadinya penguatan intensitas. Dari data 1960-2010, tren pembentukan siklon tropis kategori 3 di Samudra Hindia bagian selatan naik signifikan, jumlah dan durasi hidup. Siklon tropis kategori 3 ini kuat dan merusak.
Selain itu, terjadi kenaikan frekuensi kejadian, yaitu bertambah satu siklon tropis per 10 tahun. Durasi hidupnya bertambah dua hari per 10 tahun atau 5 jam per tahun. Menurut Siswanto, badai tropis di Samudra Hindia bagian selatan kebanyakan bermetamorfosis jadi badai yang menguat intensitasnya.