Dua Migran Ilegal Hilang dan Satu Tewas di Perairan Batam
Jalur pelintasan pekerja migran ilegal di perairan Batam, Kepulauan Riau, kembali menelan korban. Tiga orang hilang dan satu tewas setelah perahu yang mereka tumpangi karam di pesisir Nongsa, Minggu (5/5/2019) malam.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
BINTAN, KOMPAS — Jalur pelintasan pekerja migran ilegal di perairan Batam, Kepulauan Riau, kembali menelan korban. Tiga orang hilang dan satu tewas setelah perahu yang mereka tumpangi karam di pesisir Nongsa, Minggu (5/5/2019) malam.
Wilayah itu sejak lama dikenal sebagai jalur pelintasan pekerja migran ilegal. Kawasan pesisir Nongsa, juga Tanjung Bemban, kerap digunakan sebagai lokasi keberangkatan dan kepulangan pekerja karena lokasinya yang sepi dan minim pengawasan.
Perahu yang tenggelam diketahui berisi delapan pekerja migran ilegal dan dua pengemudi. Dua migran hilang dan satu imigran lain ditemukan tewas, sedangkan satu pengemudi hilang.
Kepala Seksi Operasi Badan SAR Nasional (Basarnas) Tanjung Pinang Eko Suprianto, Kamis (9/5/2019), mengatakan, informasi tenggelamnya kapal pengangkut pekerja migran tersebut baru diketahui pada Selasa lalu setelah sekelompok nelayan tanpa sengaja menemukan tiga korban selamat di Teluk Sebong, Bintan. Selanjutnya, tim gabungan berhasil menemukan empat korban lain. Tiga orang ditemukan selamat dan satu orang tewas.
Perahu fiber tanpa atap dengan mesin tunggal itu diketahui berangkat dari Sei Rengit, Johor Bahru, Malaysia, menuju Batam pada malam hari untuk menghindari patroli aparat. Untuk menempuh jarak itu lebih kurang dibutuhkan waktu empat jam pelayaran.
Di tengah cuaca buruk, beberapa kilometer sebelum tiba di Nongsa, bagian belakang perahu itu dihantam ombak tinggi. Tak berapa lama, perahu karam karena terlalu banyak kemasukan air. Dua pengemudi dan delapan penumpang diketahui berasal dari Aceh.
Hingga hari ketiga pencarian, ketiga korban hilang belum ditemukan. Saat ini, satu pengemudi perahu diserahkan ke Direktorat Polisi Air dan Udara Polda Kepulauan Riau. Adapun pekerja migran yang selamat sementara ditampung di Pos Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (P4TKI) Batam.
Gelombang migran
Kepala Seksi Operasi Pangkalan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) Tanjung Uban Samsul Nizar mengatakan, gelombang kepulangan pekerja migran ilegal mencapai puncaknya menjelang hari raya Idul Fitri. Pada periode itu, sejumlah perahu fiber semakin sering lalu lalang di sekitar perairan Batam untuk mengantar pekerja migran ilegal ke pantai-pantai tak bertuan.
”Ini kejadian pertama yang terjadi pada 2019. Namun, sebelumnya, hampir setiap tahun ada peristiwa perahu TKI ilegal tenggelam di perairan Batam. Kami akan memperketat pengawasan agar kejadian serupa tidak berulang lagi,” kata Samsul.
Ini kejadian pertama yang terjadi pada 2019. Namun, sebelumnya, hampir setiap tahun ada peristiwa perahu TKI ilegal tenggelam di perairan Batam.
Kecelakaan perahu pengangkut pekerja migran ilegal di perairan Batam juga pernah terjadi pada 2016. Samsul mengatakan, saat itu perahu pompong yang mengangkut 98 pekerja migran ilegal karam dan menewaskan 34 korban.
Anggota KPLP, Kapten Kapal Negara Rantos Darmawan, mengatakan, patroli untuk mengawasi pelintasan pekerja migral ilegal sulit dilakukan. Mereka sering mengelabui petugas dengan cara menggunakan perahu fiber ukuran kecil.
”Tidak mungkin kita memeriksa semua perahu fiber yang melintas di perairan Batam. Jumlahnya terlalu banyak dan sulit dibedakan dengan kapal para pemancing,” kata Darmawan.
Para pekerja migran ilegal tidak bisa keluar dari pintu keluar resmi Malaysia. Oleh karena itu, biasanya mereka menuju Batam melalui rute tidak resmi Johor-Batam di Sei Rengit. Di sana, mereka bisa dengan mudah menyewa perahu fiber bermesin ganda yang bersedia mengantar ke pantai tak bertuan di Batam.
Perahu yang lazimnya hanya dipakai paling jauh 1,5 kilometer dari pantai itu sangat berbahaya jika digunakan melintasi Selat Singapura. Ukuran perahu yang kecil membuatnya mudah terbalik dan konstruksinya yang tanpa atap memudahkan air masuk dan membuat karam.
Jika beruntung dari sergapan ombak, masih ada tantangan lain. Sekitar 100 meter dari bibir pantai, awak perahu biasanya menyuruh penumpang untuk berenang mencapai tepian agar mereka bisa lepas dari sergapan jika seandainya ada aparat bersiaga.
Peristiwa itu pernah terjadi di pesisir Nongsa pada 2017. Waktu itu, 70 pekerja migran ilegal diturunkun 100 meter dari pantai. Patroli polisi yang melintas melihat mereka timbul tenggelam di tengah deburan ombak pantai. Untungnya, semua bisa diselamatkan.
”Saya sedih sekaligus malu kalau terlibat dalam operasi pencarian TKI yang tenggelam. Sedih karena mereka yang meninggal itu saudara saya. Malu karena negara tetangga hafal dengan kelakuan kita yang sering melanggar hukum dan mengakibatkan kecelakaan,” kata Darmawan.
Saya sedih sekaligus malu kalau terlibat dalam operasi pencarian TKI yang tenggelam. Sedih karena mereka yang meninggal itu saudara saya. Malu karena negara tetangga hafal dengan kelakuan kita yang sering melanggar hukum dan mengakibatkan kecelakaan.