Para petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang sakit dan meninggal adalah tragedi memilukan karena terjadi dalam peristiwa yang disebut pesta demokrasi yang seharusnya penuh kegembiraan. Mereka bukan sekadar petugas, melainkan pengawal suara hati nurani rakyat. Pemahaman mereka mungkin belum sampai pada tataran berabstraksi bahwa pencoblosan adalah manifestasi pemberian mandat kedaulatan rakyat kepada para kandidat petinggi negara.
Namun, karena mereka adalah bagian dari masyarakat akar rumput, mata hati dan batin mereka mampu menyaksikan ekspresi serta getaran harapan para pemilih terhadap pemilu sebagai cara mengubah nasib atau meningkatkan kesejahteraan. Persepsi tersebut memberikan motivasi yang ampuh sehingga mereka bekerja tanpa lelah.
Kepenatan mereka bukan hanya besaran pekerjaan yang melebihi ambang batas daya pikul; derita masih harus ditambah beban psikologis berupa fitnah, cercaan, tuduhan, umpatan, dan sejenisnya akibat limbah kontestasi politik yang sarat dengan nafsu kemenangan di luar takaran. Kontestasi yang seharusnya mengutamakan sportivitas menjadikan Pemilu sekadar pertarungan kekuasaan. Lawan politik yang sejatinya “teman” berkompetisi menjadi musuh yang harus dihabisi. Pemilu tanpa pakem yang rusak-rusakan mulai dari hulu sampai hilir, memproduksi atmosfer politik yang menebarkan rasa permusuhan, membuat petugas di lapangan sasaran empuk petualang politik yang menghalalkan segala cara.
Kematian mereka manifestasi kegigihan semangat perjuangan mengamankan suara rakyat dari berbagai ancaman, terutama upaya menggagalkan dan medelegitimasi Pemilu serta perangkat penyelenggaranya. Berkat kerja keras dan dedikasi, tingkat kepercayaan publik terhadap penyelenggara Pemilu mencapai sekitar 70 persen sampai 90 persen, sehingga Pemilu sangat kukuh legitimasinya. Pengorbanan petugas serta sanak keluarganya yang ditinggalkan tidak boleh di sia-siakan. Pengabdian mereka harus membakar semangat para politisi dalam menyempurnakan aturan Pemilu, juga keseluruhan regulasi aturan yang berkenaan dengan tatanan keuasaan pemerintahan.
Salah satu tantangan utama menyempurnakan sistem Pemilu yang morat-marit adalah pageblug kebohongan yang telah menjalar menjadi fenomena global. Gejala ini tidak mudah ditaklukkan mengingat fenomena itu mempunyai akar sejarah yang panjang. Salah satu rujukan memahami serta mendapatkan perspektif untuk menjinakkan daya rusak hoaks adalah diagnosis Thomas Carothers, ”A Good Democracy is Hard to Find” (Foreign Affairs, May/June, 2019).
Penjelasannya dimulai mempertanyakan mengapa kemajuan demokrasi berjalan sangat panjang dan lamban, tetapi amat rentan hingga mudah jatuh berkeping-keping. Pertanyaan yang lebih operasional: mengapa terjadi resesi demokrasi? Seberapa buruk resesi tersebut dan akan mengarah ke mana demokrasi ke depan?
Kajian penelusuran historis perkembangan demokrasi di Eropa Barat sejak awal abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-20 menyimpulkan daya lenting demokrasi di kawasan itu karena beberapa faktor. Pertama, peranan Amerika mengonstruksi tatanan ekonomi, kekuatan militer, meningkatkan kemakmuran serta perdamaian di Eropa. Kedua, keberhasilan integrasi Eropa, dan, ketiga, keberhasilan mengonstruksi sistem sosial demokrat yang mengatasi krisis ekonomi, ketimpangan serta pembelahan sosial yang semakin menyempit. Meskipun secara signifikan membantu memahami demokrasi saat ini, perspektif historis belum mampu menjelaskan secara gamblang arah demokrasi ke depan.
Tawaran lain ialah studi Sophia Rosenfeld dalam Democracy and Truth:: A Short History. Ia mendiagnosis demokrasi Amerika dalam perspektif historis serta membahas relasi antara demokrasi dan kebohongan. Temuannya, demokrasi modern dibentuk lewat interaksi antara praktik demokrasi dan kebohongan selama 200 tahun. Pakemnya, kebenaran dalam demokrasi adalah lawan dari kebohongan dan kekeliruan terhadap dogma yang sesat serta informasi yang salah.
Namun, demokrasi adalah medan pertarungan kepentingan subyektif, sehingga kebohongan serta kecurangan digunakan sebagai legitimasi politik. Kebenaran tidak diperhitungkan sebagai nilai-nilai mulia, justru dusta dapat menjustifikasi konsensus politik (Hannah Arendt, Lying in Politics, 1971).
Akibatnya, kebenaran sangat rentan dalam praktik demokrasi. Persoalan menjadi lebih rumit karena berkelindannya kebenaran abadi (dogma), kebenaran logika, dan kebenaran empirik. Kebohongan menjadi ancaman yang membunuh demokrasi bila rakyat dihasut dan dicekoki kebohongan melalui retorika dan demagogi politik. Kutipannya: ”... hence the particular dangers associated with demagogous’ frequent false claim of illegitimacy or cheating when the vote count goes against them” (p. 165).
Pemilu sebagai manifestasi demokrasi tak pernah bebas dari kebohongan dan kecurangan. Terlebih bila kompetisi politik menjadi pertarungan menang-kalah disertai politik identitas, kebohongan berkorelasi positif dengan loyalitas kelompok. Maka, penataan regulasi tentang Pemilu harus bermodalkan niat politik mulia yang kuat para politisi untuk melepaskan interes politik sesaat dan golongan.
Tekad sangat diperlukan mengingat para elite parpol sesungguhnya sudah sangat paham karut-marut peraturan perundangan tentang Pemilu. Partisipasi publik mutlak dibutuhkan guna memperkaya perdebatan yang konstruktif, mengawasi serta memberikan tekanan untuk mencegah penyusunan regulasi tidak menjadi pasar transaksi kepentingan kekuasaan.