LIVERPOOL, RABU — Laga kedua semifinal Liga Champions antara Liverpool dan Barcelona di Stadion Anfield, Rabu (8/5/2019) dini hari WIB, bukan sekadar laga sepak bola. Ini merupakan kisah mengenai peran determinasi, optimisme, dan kepercayaan diri melawan kemustahilan. Dalam 90 menit, Liverpool sukses menginspirasi dunia.
Kisah ini berawal ketika Liverpool takluk 0-3 di Stadion Camp Nou, kandang Barca, pekan lalu. Perjalanan Liverpool dianggap sudah selesai karena mereka harus membalas empat gol tanpa balas pada laga kedua jika ingin lolos ke final. Misi yang dianggap mustahil karena Barca terlalu tangguh dan mereka juga punya Lionel Messi.
Sebaliknya Liverpool sedang dalam kondisi yang mengenaskan karena tampil tanpa dua penyerang utamanya, Mohamed Salah dan Roberto Firmino, serta gelandang Naby Keita yang masih cedera. Fisik dan mental para pemain juga terkuras di Liga Inggris karena Liverpool masih berebut gelar juara Liga Inggris dengan Manchester City.
Meski sudah terlihat tanpa harapan, Liverpool masih bisa menciptakan keajaiban. Militansi para pemain dan suntikan dari para pendukung membuat Liverpool mampu menggulung Barca 4-0. Target tercapai dan mereka melangkah ke final yang akan berlangsung di Stadion Wanda Metropolitano, Madrid, Spanyol, Minggu (2/6/2019) dini hari WIB. Sementara itu, Barca hanya bisa gigit jari.
Banyak hal yang membuat keajaiban itu bisa terjadi, salah satunya faktor Stadion Anfield. Di dalam stadion, pemain dan para pendukung menyatu dan melahirkan optimisme. Semua bangku stadion terisi penuh dan hanya tampak lautan manusia berwarna merah. Sepanjang laga fans tidak berhenti bernyanyi.
Aura magis di dalam stadion itu kerap menjadi hal yang sulit dilupakan para pemain. Tidak mengherankan jika mantan pemain Liverpool, Steven Gerrard, pernah berkata, ”Jika saya mati, jangan bawa saya ke rumah sakit. Bawa saya ke Anfield. Saya lahir di sana dan akan mati di sana.”
Faktor lainnya adalah kekompakan dan mental para pemain itu sendiri. Mereka menganggap klub sebagai sebuah keluarga besar yang harus saling menguatkan. Salah memberikan contoh dengan hadir ke stadion dengan mengenakan kaus hitam bertuliskan ”Never Give Up” atau ”Jangan Menyerah”.
Sikap pantang menyerah itu benar-benar dipraktikkan skuad Liverpool begitu wasit meniup peluit tanda laga dimulai. Mereka berusaha menguasai bola selama mungkin dan menyerang secepat mungkin. Jika bola terlepas dan dikuasai pemain Barca, terutama Messi, bahaya selalu mengancam.
Asa mulai terlihat ketika Divock Origi, pemain yang menggantikan peran Firmino, mampu mencetak gol ketika laga baru berjalan tujuh menit. Meski demikian, rasa cemas di kubu Liverpool muncul lagi saat sang kapten, Jordan Henderson, tersungkur dan kesakitan. Lalu, giliran bek kiri Andrew Robertson yang meringis. Liverpool seolah tak pernah kehabisan masalah.
Pelatih Liverpool Juergen Klopp pun memutuskan untuk mengganti Robertson dengan Georginio Wijnaldum pada babak kedua. Keputusannya itu sangat tepat karena Wijnaldum mencetak dua gol pada menit ke-54 dan ke-56.
Saya sangat marah karena pelatih menjadikan saya pemain cadangan. Saya hanya ingin membantu tim dan saya senang dengan kedua gol saya (Wijnaldum).
Puncak keajaiban di Anfield terjadi ketika Origi mencetak gol terakhir pada menit ke-79 setelah mendapat umpan dari tendangan pojok yang dilakukan Trent-Alexander Arnold. Pemain berusia 20 tahun itu menendang bola dengan cepat saat para pemain Barca lengah. ”Itu semua karena insting saja,” ujar Alexander-Arnold.
Meski masih muda, pemuda kelahiran Liverpool itu sudah menjadi inspirasi lainnya dari laga tersebut, terutama bagi anak-anak di kota Liverpool. Semasa kecil, Alexander-Arnold sempat menjadi petugas pemungut bola di Anfield. Kegeniusannya dalam memberikan umpan kepada Origi semakin mengukuhkan statusnya sebagai pahlawan lokal.
Misi Klopp
Jauh sebelum keajaiban itu terjadi, Klopp sebetulnya sudah merencanakannya. Setidaknya ia sejak awal berusaha memperbaiki mental para pemain dan melibatkan para fan lebih jauh. Pemain dan fans menjadi dua hal yang tidak bisa dipisahkan untuk menciptakan sebuah keajaiban.
”Pesan saya kepada pendukung Liverpool? Kita harus segera berubah dari orang yang selalu ragu menjadi orang yang selalu percaya. Mulai sekarang,” ujar Klopp seperti dikutip Daily Mirror ketika ia baru bergabung dengan Liverpool pada 2015.
Optimisme yang sama juga menular kepada para pemain. ”Sebelum laga saya mengatakan kepada pemain bahwa menyingkirkan Barca adalah hal yang mustahil. Tetapi, karena kami Liverpool, ini tidak lagi mustahil,” kata Klopp.
Mantan Pelatih Manchester United Jose Mourinho pun sampai menilai bahwa kunci utama keberhasilan Liverpool saat ini adalah Klopp. ”Semua ini tentang Klopp. Kemenangan mereka adalah refleksi dari kepribadiannya, seperti sikap pantang menyerah dan semangat juang. Pemainnya pun akhirnya mau memberikan segalanya,” ujar Mourinho.
Tugas Klopp belum selesai. Tantangan berat di final masih menanti. Selain itu, optimisme mereka dalam perburuan gelar juara Liga Inggris juga sedang diuji. (AFP/REUTERS)