JAKARTA, KOMPAS - Meski Dewan Perwakilan Rakyat bertekad menuntaskan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada akhir September mendatang, pembahasan RKUHP tersebut diharapkan tak terburu-buru. Pasalnya, masih ada sejumlah pasal di RKUHP yang kontroversial di masyarakat.
RKUHP tercatat sebagai salah satu rancangan undang-undang penting dan lama yang dibahas di DPR, khususnya dalam Program Legislasi Nasional 2014-2019. Pembahasan RKUHP diperpanjang hingga 16 kali masa sidang atau sekitar empat tahun sejak 2015.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, Rabu (8/5/2019), di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, mengatakan, komitmen menyelesaikan RKUHP dalam sisa periode keanggotaan DPR sudah disepakati bersama sebelum kampanye Pemilu 2019.
Meski demikian, diakui Arsul, adanya hambatan dari kesepakatan antarfraksi yang sulit dicapai terhadap sejumlah poin di RKUHP. Salah satu poin krusial yang belum dapat disepakati antara lain pencantuman bab terkait tindak pidana khusus, seperti korupsi dan terorisme.
”Target kami, RKUHP selesai sebelum 30 September 2019,” kata Arsul.
Sebelumnya, Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, RKUHP adalah salah satu dari sekitar 20 RUU yang ditargetkan tuntas dibahas dan disahkan dalam periode 2014-2019. ”Berdasarkan pengalaman 2014, kawan-kawan yang tidak lanjut tetap akan bersemangat. Dulu, RUU juga banyak kami selesaikan di akhir 2014,” kata Bambang.
Buka pembahasan
Terkait hal itu, kelompok masyarakat Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta DPR agar tak terburu-buru menyelesaikan KUHP sebelum beberapa masalah yang dirasa krusial terselesaikan. Berdasarkan draf RKUHP terakhir pada 9 Juli 2018, Aliansi menemukan 18 poin masalah belum selesai.
Sejumlah poin itu antara lain pidana mati yang seharusnya dihapuskan, kriminalisasi alat kontrasepsi yang bertentangan dengan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS, kriminalisasi aborsi yang belum sesuai dengan UU Kesehatan, dan pencantuman bab tindak pidana korupsi yang akan menimbulkan duplikasi rumusan. Untuk itu, Aliansi meminta pemerintah dan DPR membuka semua perkembangan pembahasan RKUHP, termasuk menggelar pembahasan RKUHP secara terbuka bagi publik.
Hal senada diungkapkan Maidina Rahmawati dari Institute for Criminal Justice Reform. Ia meminta pemerintah dan DPR tidak terburu-buru mengesahkan RKUHP karena masih banyak masalah. ”Dari awal 2018 hingga 9 Juli 2018, Aliansi mencatat ada sembilan rapat internal pemerintah yang tertutup dan tak dapat diakses publik,” kata Maidina.