Kinerja DPRD DKI Jakarta perlu dibenahi di periode mendatang. Kehadiran anggota Dewan serta efektivitas proses legislasi mendesak ditingkatkan demi hasil akhir yang lebih baik.
Oleh
Helena F Nababan/Dhanang David Aritonang
·4 menit baca
Kinerja DPRD DKI Jakarta perlu dibenahi di periode mendatang. Kehadiran anggota Dewan serta efektivitas proses legislasi mendesak ditingkatkan demi hasil akhir yang lebih baik.
JAKARTA, KOMPAS — Hingga 8 Mei 2019, perhitungan suara calon anggota DPRD DKI Jakarta baru 8,9 persen. Namun, peta sementara partai di DPRD DKI Jakarta 2019-2024 sudah tergambarkan. Partai politik mesti menyiapkan upaya untuk meningkatkan kinerja DPRD DKI Jakarta.
Pada situs resmi Komisi Pemilihan Umum sampai dengan pukul 20.00, penghitungan suara untuk DPRD DKI Jakarta memunculkan tiga partai politik yang meraup suara terbanyak, yakni PDI-P, Partai Gerindra, dan PKS. Perolehan suara ketiga parpol itu jauh di atas parpol lain.
Ketiga parpol itu juga menduduki kursi terbanyak di DPRD DKI Jakarta saat ini, yakni PDI-P dengan 28 kursi, Partai Gerindra yang memiliki 15 kursi, dan PKS 11 kursi.
Sementara itu, dari laman resmi DPRD DKI Jakarta pada 2015, hanya lima peraturan daerah yang dihasilkan. Pada 2016 hanya dua peraturan daerah disahkan. Tahun berikutnya, 9 dari 32 peraturan daerah yang terbit. Tahun lalu, DPRD mengesahkan 7 peraturan daerah dari target 45 peraturan daerah. Menjelang akhir semester pertama 2019, belum satu pun peraturan daerah terbit.
Trubus Rahardiansyah, pengamat kebijakan publik, menilai, kinerja Dewan periode ini buruk, antara lain dilihat dari produk hukum yang dihasilkan. Kinerja buruk terjadi karena anggota yang hadir setiap rapat sangat sedikit sehingga sering tidak mencapai kuorum.
Kondisi itu membutuhkan pembenahan, antara lain sistem kehadiran yang kini memakai sistem manual berupa tanda tangan menjadi sistem online. Perubahan ini membuat publik tahu anggota Dewan yang rajin.
Trubus menyatakan, pekerjaan yang mesti dikerjakan selanjutnya adalah peran dan kepemimpinan ketua DPRD dan ketua-ketua fraksi yang mesti kuat. Mereka semestinya menjadi pihak yang bisa mengingatkan, menegur, dan memberikan sanksi kepada anggotanya, tidak hanya menegur secara konvensional seperti sekarang ini. Itu demi kinerja yang lebih baik.
Masyarakat pun seharusnya kritis dan terus mempertanyakan program yang seharusnya untuk kepentingan umum tetapi tidak terwujud. Misalnya, penanganan banjir, perawatan bus-bus Transjakarta, hingga pembangunan rusun dan tanggul.
Gembong Warsono, Ketua Fraksi PDI-P DPRD DKI Jakarta, berterima kasih atas masukan dan kritikan itu. Ia berjanji PDI-P akan bekerja keras, tidak hanya mengkritisi eksekutif, tetapi juga mengawasi pelaksanaan program kerja pemerintah. Itu karena masih banyak program yang belum berwujud.
Wakil Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta Syarif menyatakan, sebelum menempatkan anggota di komisi, Gerindra akan memetakan kemampuan anggota sesuai hasil psikotes. Hal itu supaya kemampuan anggota pas dengan penempatan komisi.
Adapun PSI berencana menjadi oposisi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
”Tentunya kami akan menjadi oposisi yang konstruktif karena kritik yang kami sampaikan sifatnya akan membangun,” ucap Ketua DPW PSI DKI Jakarta Michael Victor Sianipar.
Koalisi lebih cair
Sejumlah fraksi di DPRD DKI Jakarta mengungkapkan, koalisi di tingkat provinsi akan lebih cair dibandingkan dengan di tingkat nasional.
Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD DKI Jakarta Asraf Ali mengatakan, koalisi di tingkat DPRD akan lebih cair dan berjalan situasional. Partai Golkar masih menunggu arahan dari dewan pimpinan pusat terkait dengan kemungkinan koalisi di tingkat wilayah.
”Pada dasarnya, Partai Golkar siap berkolaborasi dengan fraksi lain di DPRD DKI, apalagi kami juga memiliki komitmen untuk memajukan Jakarta. Saya rasa semua fraksi memiliki pandangan yang sama terkait dengan hal ini,” ucapnya saat dihubungi dari Jakarta.
Asraf mengatakan, saat ini fraksinya masih menunggu komposisi kursi di DPRD. Saat ini, penghitungan suara di tingkat provinsi belum rampung dan menunggu hasil resmi KPU.
Syarif mengatakan, koalisi di DPRD akan lebih fleksibel. Menurut dia, meski di tingkat nasional parpol terbagi menjadi dua kubu, hal itu belum tentu berlaku di tingkat daerah.
”Dalam kerja-kerja politik di parlemen, setiap fraksi harus saling bersinergi dalam rangka membangun program untuk kesejahteraan rakyat,” katanya.
Syarif memastikan Gerindra tetap masuk jajaran pimpinan DPRD. ”Struktur DPRD terdiri dari satu ketua dan empat wakil. Kami sudah mengamankan posisi wakil itu. Selanjutnya, kami akan terus mendukung program-program yang dijalankan gubernur, khususnya untuk memberikan perhatian kepada masyarakat marjinal yang ada di Jakarta,” tuturnya.
Gembong Warsono juga mengatakan, fraksinya masih menunggu arahan dari DPP PDI-P terkait dengan proses koalisi di tingkat DPRD. Menurut Gembong, pasca-pelantikan anggota DPRD yang baru, arah koalisi ini akan mulai terlihat.
”Kalau soal koalisi, kami masih menunggu arahan pemerintah pusat. Namun, kalau kolaborasi di tingkat daerah, sudah menjadi domain anggota di tiap wilayah,” katanya.
Berdasarkan perolehan suara sementara, PDI-P masih menjadi parpol yang mendapat suara tertinggi di DPRD DKI Jakarta. Menurut dia, awalnya PDI-P menargetkan untuk mendapat 30 kursi DPRD, tetapi hal itu sulit tercapai.
”PDI-P memang memiliki basis suara sendiri di Jakarta. Namun, karena jumlah swing voter di Jakarta cukup banyak, suara-suara partai terpecah ke parpol baru,” ujarnya.