Jalan tol sudah menjadi sebuah industri. Siapa pun dapat masuk, termasuk dari luar negeri. Meskipun saat ini pemainnya relatif masih ”itu-itu” saja, industri ini terus bergerak sejalan dengan masih besarnya kebutuhan infrastruktur yang mendukung konektivitas.
Biaya transportasi darat di Indonesia tergolong tinggi, yakni mencapai 24 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sebagai perbandingan, biaya transportasi di Vietnam 20,9 persen dari PDB, sementara Thailand 15 persen PDB.
Salah satu penyebabnya adalah keterbatasan infrastruktur yang tersedia di Indonesia. Ongkos logistik menjadi tinggi dengan jarak tempuh per 100 kilometer (km) di koridor utama yang rata-rata ditempuh dalam waktu 2,7 jam. Bandingkan dengan Vietnam, yakni selama 2 jam, atau Thailand yang sudah kurang dari 1,5 jam.
Oleh karena itu, pembangunan jalan tol secara besar-besaran empat tahun terakhir ini patut diapresiasi. Total tol yang telah beroperasi menurut data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat saat ini 1.714 km. Badan Pengatur Jalan Tol mencatat, ada 949 km jalan tol yang beroperasi sejak tahun 2015 sampai dengan April 2019.
Terbitnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum membuat proses pembebasan lahan lebih cepat. Di sisi lain, kemauan politik ikut mendorong banyak pihak terlibat aktif dalam proses itu.
Meski demikian, hal itu bukan satu-satunya faktor pendorong. Ketika ruang fiskal sempit, pemerintah membuat skema talangan tahun 2016. Ketika pemerintah tidak bisa segera membebaskan lahan karena dana terbatas, investor tidak bisa membangun karena lahan belum bebas. Dengan skema talangan, dana investor untuk konstruksi digunakan lebih dulu untuk membebaskan lahan untuk kemudian diganti pemerintah. Periode penggantian yang dijanjikan adalah dua bulan setelah talangan tersalur.
Pemerintah juga membuat regulasi tentang pendanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Pemerintah juga membentuk Badan Layanan Umum Lembaga Manajemen Aset Negara.
Waktu itu, investor atau badan usaha setuju karena mekanisme itu lebih pasti dibandingkan dengan jika menunggu anggaran pemerintah. Dengan tanah yang sudah bebas, jalan tol bisa segera dibangun dan dioperasikan sehingga dapat mendatangkan pendapatan.
Meski demikian, selain mengganti pokok talangan, pemerintah hanya mengganti biaya dana, yakni sebesar suku bunga acuan Bank Indonesia. Sementara kebanyakan dana badan usaha merupakan kredit dari bank. Artinya, badan usaha tetap harus menanggung selisih bunga komersial dengan biaya dana yang diganti.
Dalam perjalanannya, pada pertengahan 2017, keluhan mulai muncul dari badan usaha. Pengembalian talangan dinilai lambat, sementara badan usaha mesti membayar bunga yang setiap hari bertambah. Dua tahun kemudian, keluhan serupa masih muncul. Masalahnya masih sama.
Ada badan usaha yang menyebut mesti menanggung bunga sampai Rp 200 juta per hari, ada yang Rp 1 miliar per hari. Semakin lambat pengembalian, semakin besar bunga yang ditanggung. Harapan awal untuk mempercepat pembangunan jalan tol malah berbalik merugikan badan usaha atau investor.
Saat ini dan ke depan, jalan tol akan terus dibangun, baik di Jawa, Sumatera, Kalimantan, maupun Sulawesi. Bagi pemerintah, terbangunnya infrastruktur akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Bagi investor atau badan usaha, pembangunan tol memerlukan kepastian regulasi.
Lancar tidaknya pembangunan memerlukan komitmen kerja sama. Agar semua saling diuntungkan, bukan dikorbankan.