Pemindahan Ibu Kota Jangan Sampai Merusak Lingkungan Setempat
Rencana pemindahan ibu kota Indonesia ke Pulau Kalimantan diharapkan tidak merusak ekosistem lahan gambut yang ada di daerah tersebut. Jika hal itu terjadi, daerah resapan air berkurang dan bencana banjir mengintai ibu kota baru.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemindahan ibu kota Indonesia ke Pulau Kalimantan diharapkan tidak merusak ekosistem lahan gambut yang ada di daerah tersebut. Jika hal itu terjadi, daerah resapan air berkurang dan bencana banjir serta terjadi penurunan muka tanah mengintai ibu kota baru.
Pengampanye Energi dan Urban Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Dwi Sawung, mengatakan, sebagian besar lahan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, dikelilingi lahan gambut yang berfungsi menyerap air dan menahan emisi gas karbon. Menurut dia, pemerintah pusat perlu memperhatikan hal itu jika ingin menjadikan Palangkaraya sebagai salah satu kandidat ibu kota baru.
”Jika pembangunan ibu kota di Kalimantan, khususnya Kalimantan Tengah, berjalan masif, hal tersebut berpotensi merusak ekosistem lahan gambut. Akibatnya, daerah penyerapan air jadi berkurang dan emisi gas karbon meningkat,” ujarnya kepada Kompas, Kamis (9/5/2019).
Menurut Dwi, jika daerah resapan air berkurang, potensi banjir akan meningkat di Palangkaraya. Selain itu, kontur lahan gambut yang tidak stabil juga dapat menimbulkan penurunan muka tanah di daerah tersebut.
”Akan timbul masalah baru yang sama seperti di Jakarta, yaitu banjir dan penurunan muka tanah. Selain itu, daerah Kalimantan juga rentan kebakaran hutan dan belum tentu ibu kota baru tersebut jadi bebas polusi,” ujarnya.
Berdasarkan pemberitaan Kompas, Kamis (9/5/2019), pendiri Himpunan Gambut Indonesia (HGI), Bambang Setiadi, menjelaskan, Kalteng memiliki luas wilayah 153.559 kilometer persegi. Sebanyak 52,2 persen dari luas itu merupakan hutan yang didominasi lahan gambut tropika.
”Ibu kota yang baru itu akan dibangun di atas lahan gambut yang luasnya 2,5 juta hingga 3 juta hektar,” ucapnya.
Akan timbul masalah baru yang sama seperti di Jakarta, yaitu banjir dan penurunan muka tanah. Kalimantan juga rentan kebakaran hutan dan belum tentu ibu kota baru tersebut jadi bebas polusi.
Setiadi mempertanyakan kemungkinan membangun ibu kota di atas lahan gambut karena komposisi lahan tersebut terdiri dari 90 persen air. ”Seingat saya, tidak ada referensi untuk ibu kota suatu negara dibangun di atas lahan gambut,” katanya.
Setiadi mengatakan, satu-satunya kota yang dibangun di atas lahan gambut ialah Wageningen, Belanda. Komposisi lahan gambutnya pun didominasi lumut, tidak seperti gambut tropika yang didominasi tumpukan bahan tanaman.
Secara terpisah, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro berjanji, ibu kota baru tidak akan dibangun di atas lahan gambut. Menurut dia, pemindahan ibu kota tidak akan membuat masalah yang ada di Jakarta jadi pindah ke daerah baru.
”Tentunya akan kita bangun di lahan yang tidak bermasalah. Kami pun belajar dari kekurangan dan kesalahan dalam mengelola kota-kota di Indonesia dan mempelajari keberhasilan pemindahan ibu kota dari negara lain,” katanya seusai Pembukaan Musrenbangnas 2019 di Jakarta, Kamis.
Bambang menyebutkan, pemindahan ibu kota ini telah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Menurut dia, pemindahan ibu kota ini memiliki urgensi untuk mengurangi beban Jakarta dan menjadikannya sebagai kota bisnis keuangan berskala regional Asia Tenggara ataupun internasional.
”Kita juga harus memberikan kesempatan daerah di luar Jawa agar bisa berkembang lebih cepat dan pemerataan harus berjalan,” ucapnya.
Kami pun belajar dari kekurangan dan kesalahan dalam mengelola kota-kota di Indonesia dan mempelajari keberhasilan pemindahan ibu kota dari negara lain.
Guru Besar IPDN Djohermansyah Djohan mengatakan, pembangunan ibu kota di atas lahan gambut bisa memakan ongkos yang sangat besar. Saat ini, pemerintah memperkirakan biaya pemindahan ibu kota bisa mencapai Rp 466 triliun.
”Pembangunan ibu kota letaknya tidak perlu di tengah Indonesia, bisa mencari tempat lain lagi. Harus dilihat dari faktor lingkungan, aspek sosiologis, ekonomi, dan budayanya,” ujarnya.
Masalah Jakarta
Ketua Fraksi PDI-P DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono mengatakan, meski ibu kota dipindahkan, masalah banjir, kemacetan, dan polusi akan tetap menjadi pekerjaan rumah Pemprov DKI Jakarta. Menurut dia, pembangunan memang akan lebih merata dan mengurangi beban Jakarta sebagai kota administratif.
”Oleh sebab itu, Pemprov DKI masih harus menyelesaikan masalah-masalah dasar yang ada karena pemindahan ibu kota tidak serta-merta menyelesaikan masalah tersebut,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Sementara itu, Wakil Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta Syarif meragukan pemindahan ibu kota ini akan berjalan total. Menurut dia, wacana pemindahan ibu kota sudah ada sejak beberapa tahun lalu.
”Kita akan tunggu realisasinya, tetapi menurut saya masih belum ada urgensinya jika ibu kota dipindahkan dari Jakarta. Sebaiknya, fokus saat ini memperbaiki masalah yang ada di Jakarta,” ucapnya.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berkomitmen, jika ibu kota dipindahkan, pembangunan di DKI harus tetap berjalan. Ia mengatakan, pemprov sudah memperkirakan biaya pembangunan di Jakarta sebesar Rp 571 triliun untuk 10 tahun ke depan.