Pejabat teras urusan jalan di Kota Tangerang, Banten, punya julukan khusus untuk truk bertonase berat yang memuat material tanah dan pasir. Mereka menyebutnya transformers. Istilah ini merujuk judul film buatan AS, Transformers, yang merupakan robot alien yang bisa menyamarkan diri menjadi peralatan mesin, salah satunya truk.
Dua hari lalu, puluhan masyarakat Batuceper, Tangerang, mengobarkan perang terhadap transformers. Spanduk berisi larangan melintas tertancap di pertigaan Jalan Halim Perdana Kusuma. Jika diteruskan, jalan ini tembus ke Jalan Daan Mogot: jalan utama Kota Tangerang yang sekaligus rute menuju Ibu Kota.
Pak ogah yang sedang beroperasi di pertigaan itu, Hendrik (33), menyatakan, warga sempat menahan satu transformers. Truk itu ditengarai sering ugal-ugalan. Ternyata sopir yang ditangkap merupakan sopir aplusan.
“Sempat mau digebukin warga, tetapi dilarang polisi,” katanya, Kamis (9/5/2019).
Saat kami berbincang, tiga transformers warna putih melaju ke arah Daan Mogot. Kecepatannya kurang lebih 40 kilometer per jam.
“Belok kanan woi!” kata Hendrik berteriak. Tiga sopir truk yang melaju tanpa beban itu tidak menghiraukan Hendrik.
Boru Sitorus (48), pengontrak di Jalan Halim Perdana Kusuma menerangkan, muatan transformers sering tercecer. Tanah yang tercecer itu berubah jadi debu di siang yang terik. Jika hujan, jalan menjadi becek.
Protes warga ini direspons pemerintah. Polisi bersama Dinas Perhubungan Kota Tangerang merazia truk yang melanggar Peraturan Wali Kota (Perwal) Tangerang Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pengaturan Pembatasan Jam Operasional Angkutan Tanah dan Pasir. Dalam aturan itu disebutkan, truk bermuatan tanah dan pasir hanya diizinkan melintas pukul 22.00-05.00 di jalan protokol Kota Tangerang.
Kepala Satuan Lalu Lintas Polres Metro Tangerang Kota Ajun Komisaris Besar Polisi Juang Andi Priyanto menegaskan, protes warga menjadi satu alasan kuat Perwal tahun 2012 itu kembali ditegakkan. Dalam tiga hari terakhir, sudah lebih dari 50 transformers kena tilang.
Guru Besar Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syamsuddin Haris berpendapat, aksi warga itu merupakan bentuk protes atas kesewenang-wenangan pemodal. Pemodal dalam hal ini merupakan pemilik truk atau orang yang menggaji sopir truk.
Dalam sejarahnya, Tangerang merupakan kantong-kantong para revolusioner. Hal itu tergambar dari skripsi mahasiswa Universitas Indonesia Herwin Sumada berjudul Tangerang 1945-1946. Skripsi ini ditulis tahun 1985 dan diuji oleh sejarawan kondang Onghokham (1933-2007).
Skripsi yang ditulis dengan mesin ketik itu menjelaskan, berita kekalahan Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan dengan cepat menyebar ke seantero negeri. Di Tangerang, berita itu disambut dengan penuh semangat.
Dengan cepat, warga membentuk kelompok sesuai selera masing-masing. Ada tiga kelompok yang mengemuka, yaitu Kelompok Birokrat, Banteng Merah, dan Sangiang.
Kelompok Birokrat merupakan pegawai negeri yang dulunya bekerja dengan Belanda dan Jepang. Pasca-merdeka, mereka menjadi pendukung penuh republik.
Banteng Merah dipimpin Deos, jebolan Asrama Menteng 31 Jakarta. Puluhan ribu massa Banteng Merah turut memenuhi Lapangan Ikada pada perayaan satu bulan proklamasi. Kelompok ini juga menyerang sisa pasukan Jepang di Bogor. Salah satu pimpinan Banteng Merah tewas dalam penyerangan itu.
Kelompok terakhir, Sangiang, merupakan sempalan Banteng Merah yang condong ke Islam. Sangiang dipimpin oleh Haji Achmad Chairun, tokoh pergerakan Tangerang tahun 1920-an. Mereka dikenal memiliki ilmu kebatinan yang mumpuni.
Puluhan tahun berlalu. Sejarah itu barangkali tak pernah hinggap di kepala para sopir transformers. Yang mereka tahu, sikap warga Tangerang berlebihan.
“Sopir ini juga rakyat, makan nasi juga, punya anak bini juga, mengapa kalian menganggap kami seolah orang asing?” kata Hardi (45), sopir truk yang tertahan di Stadion Benteng, kemarin.