Rusia Kecam AS yang Mencederai Kesepakatan Nuklir 2015
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
MOSKWA, KAMIS – Rusia mengecam sikap Amerika Serikat yang secara sepihak mundur dari kesepakatan nuklir 2015, dan kembali mengenakan sanksi ekonomi pada Iran. Rusia menilai, sikap AS itu mendorong ketidaktaatan Teheran pada kesepakatan tersebut.
“Presiden Rusia Vladimir Putin berulang kali berbicara mengenai konsekuensi dari keputusan yang diambil Washington (untuk keluar dari Kesepakatan Nuklir 2015). Sekarang, kita melihat konsekuensi itu mulai terjadi,” kata Juru Bicara Kremlin, Dmitry Peskov, Rabu (8/5/2019)
Sebagaimana diketahui, kesepakatan nuklir Iran ditandatangani oleh Teheran dengan kelompok negara P5+1 (AS, Inggris, China, Perancis, Rusia, dan Jerman). Dalam kesepakatan itu, Iran sepakat untuk mereduksi fasilitas nuklir mereka dan sebagai kompensasi, sanksi internasional yang mencederai ekonomi Iran akan dikurangi.
Namun, pada 8 Mei 2018 lalu, Presiden AS Donald Trump - secara sepihak - memutuskan AS keluar dari kesepakatan itu. Tak hanya itu, AS pun memberlakukan lagi sanksi bagi Iran, termasuk memberi sanksi pada negara-negara yang menjalin kerja sama ekonomi dengan Teheran. AS sempat memberi kelonggaran kepada beberapa mitranya untuk tetap mengimpor minyak dari Iran, namun belakangan, kelonggaran itu ditiadakan.
Sikap Iran
Menyikapi itu, Iran mendesak negara-negara Eropa yang turut menandatangani kesepatakatan nuklir 2015 untuk tetap berada dalam kesepakatan itu, termasuk melindungi Iran dari sanksi internasional. Iran pun berniat mencabut sebagian komitmennya dalam kesepakatan itu, bila negara-negara penandatangan kesepakatan tidam mampu melindungi Iran dari sanksi internasional.
Rusia menilai, keputusan Iran untuk tidak taat pada Kesepakatan Nuklit 2015 disebabkan oleh langkah AS.
Ketika berada di Moskwa, Rabu, Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif memastikan, Iran dapat menjamin keberlangsungan Kesepakatan Nuklir 2015, apabila negara Eropa yang menandatangani kesepakatan itu memenuhi kewajiban mereka. Ia menuduh Eropa belum menjalankan kewajiban itu.
“Rusia dan China sudah memenuhi kewajiban mereka. Tetapi, pihak lain, termasuk Eropa, belum menghormati komitmen mereka. Oleh karena itu, langkah Iran untuk keluar dari sejumlah aspek Kesepatakan Nuklir 2015 itu sah,” kata Zarif.
Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran, Rabu, mengirim surat kepada negara yang menandatangani Kesepakatan Nuklir 2015. Dalam surat itu, Iran mengatakan akan mundur dari komitmen yang dijanjikan pada kesepakatan itu. Beberapa di antaranya akan dilaksanakan segera, dan lainnya setelah 60 hari, jika tidak ada dampak positif pada ekonomi Iran. Teheran juga mengancam akan meningkatkan cadangan uranium yang dapat digunakan untuk senjata nuklir.
Di sisi lain, AS telah melarang semua negara membeli minyak dari Iran. “Teheran dapat mengharapkan tindakan (sanksi) lebih lanjut, kecuali ia mengubah perilakunya secara fundamental,” kata Presiden AS Donald Trump, menanggapi rencana Iran untuk keluar dari Kesepatakan Nuklir 2015.
Ia menambahkan, kebijakan AS tidak bertujuan untuk melukai siapa pun. “Kami hanya tidak ingin mereka memiliki senjata nuklir,” ujar Trump.
Tantangan Eropa
Kesepakatan Nuklir 2015 mensyaratkan agar negara yang menandatangani mengambil tindakan untuk mendukung peningkatan ekonomi Iran. Namun, perusahaan Eropa dilaporkan takut terkena sanksi AS apabila berbisnis di Iran.
“Perusahaan Eropa takut dengan apa yang disebut sebagai sanksi sekunder AS,” kata Pengacara Anahita Thoms yang berbasis di Jerman. Ia merujuk kepada hukuman AS yang berlaku kepada organisasi non AS yang terlibat dalam bagian tertentu dari ekonomi Iran.
Pada April 2019, dilaporkan bahwa bank asal Italia, UniCredit, dan bank asal Inggris, Standard Chartered, masing-masing didenda lebih dari 1 miliar dollar AS karena bertentangan dengan penerapan sanksi AS terhadap Iran. Sejak tahun lalu, sanksi AS terhadap Iran melebar dari industri minyak, ke pengiriman dan penerbangan, serta penyumbatan dalam proses transaksi keuangan.
“Sanksi sekunder ini membuat lembaga Eropa tidak mungkin berdagang di Iran, bahkan jiga mereka tidak memiliki hubungan perbankan dengan AS,” tambah Pengacara Olivier Dorgans yang berbasis di Perancis. (REUTERS/AFP)