Sembilan undang-undang harus direvisi untuk bisa merealisasikan rencana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta. Jika tidak, pemindahan akan menabrak undang-undang.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sembilan undang-undang harus direvisi untuk bisa merealisasikan rencana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta. Jika tidak, pemindahan akan menabrak undang-undang. Revisi undang-undang seperti diketahui tak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi harus melibatkan DPR sehingga butuh waktu tidak sedikit untuk merealisasikannya.
Kesembilan undang-undang yang harus direvisi itu berdasarkan kajian Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri yang dipaparkan saat diskusi bertajuk ”Dukungan Regulasi Otonomi Daerah dalam Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara”, di Jakarta, Kamis (9/5/2019).
Hadir sebagai pembicara dalam diskusi itu Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan, Pelaksana Tugas Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik, Guru Besar Ilmu Administrasi Publik Universitas Indonesia Irfan Ridwan Maksum, Guru Besar Ilmu Administrasi Pemerintahan Daerah Universitas Brawijaya Bambang Supriyono, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin Budi Suryadi, serta mantan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Soni Sumarsono.
”Kalau sudah ada undang-undang, baru semua bisa gerak. Kalau tak ada undang-undang, ya, mana dasar hukumnya? Jadi, jangan pandang pemindahan ibu kota negara ini secara sederhana,” ujar Djohermansyah.
Sementara merevisi undang-undang bukan pekerjaan mudah. ”Bikin naskah akademik dan materi undang-undang itu satu tahun saja belum tentu selesai di internal pemerintah, belum lagi ada harmonisasi,” lanjutnya.
Setelah itu, pemerintah harus membahasnya dengan DPR. Sementara pembahasan di DPR bisa memakan waktu lama. ”Apalagi pascapemilu, ini bisa tidak mudah. Maka, penting, buka komunikasi dengan DPR mulai sekarang,” ujar Djohermansyah.
Sementara itu, Soni Sumarsono mengusulkan kepada pemerintah untuk segera membentuk tim khusus yang beranggotakan para pakar dari beragam bidang keilmuan serta lintas sektoral untuk meninjau lebih dalam hal-hal yang dibutuhkan dalam perpindahan ibu kota negara.
”Harus ada satuan tugas, komisi, atau unit khusus untuk bisa menyiapkan perspektif masing-masing yang berguna dalam penyesuaian dan penyempurnaan regulasi nanti,” kata Soni.
Menurut Akmal Malik, hal prinsip lain yang tak boleh dilupakan adalah kedudukan DKI Jakarta setelah tidak lagi menjadi ibu kota negara. DKI Jakarta tak bisa disamaratakan dengan provinsi lain karena sudah menjadi pusat perdagangan dan bisnis. Oleh karena itu, yang paling tepat adalah memberlakukan provinsi otonomi khusus untuk DKI Jakarta.
”Kita belum pernah punya undang-undang yang mengatur itu. Jadi, regulasi terkait posisi Jakarta ini juga akan kami pikirkan,” ucap Akmal.
Selain itu, ibu kota negara yang baru, lanjut Akmal, sebaiknya tidak berstatus otonomi, tetapi cukup kota administratif. Dengan demikian, di sana tak perlu lagi ada pemilihan kepala daerah dan wali kotanya akan dipilih langsung oleh pemerintah pusat atau presiden.
”Kalau tetap menjadikan ibu kota negara sebagai daerah otonom, ada posisi resisten tinggi pada posisi ibu kota negara. Artinya, tak tertutup kemungkinan presiden berbeda dengan pilihan rakyat di situ,” ujar Akmal.
Dalam diskusi itu, Irfan Ridwan Maksum juga menyampaikan, dalam membangun ibu kota negara kelak, pemerintah harus lebih berhati-hati dalam mengatur tata ruang kota. Sebab, jika hal itu tidak diatur secara matang, dampaknya bisa sama seperti kondisi Jakarta saat ini.
”Harus ada aturan main yang jelas dalam menata bangunan dan jumlah penduduk. Jadi, ibu kota negara itu jangan padat, tetapi yang penting ada daerah penyangganya yang memberi dukungan-dukungan untuk kebutuhan penduduk di daerah itu, misalnya pertanian, peternakan, perikanan,” tutur Irfan.