Tangan-tangan Asing di Balik Tergulingnya Presiden Omar al-Bashir
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
Pada akhir pekan di awal April 2019, sejumlah jenderal Sudan tiba di Kairo, Mesir. Mereka punya satu misi: mencari dukungan untuk menggulingkan Presiden Sudan Omar al-Bashir.
Sejumlah pejabat Mesir menyebut delegasi itu dipimpin Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Nasional Sudan Letnan Jenderal Jalal el-Din el-Sheikh. Delegasi itu bertemu dengan perwakilan Pemerintah Mesir untuk menanyakan apa reaksi negara itu jika militer menyingkirkan Bashir. Mereka juga mencari tahu apakah Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) akan membantu pendanaan Sudan selepas Bashir digulingkan.
Selain itu, trio Abu Dhabi-Kairo-Riyadh diketahui secara diam-diam mengontak militer Sudan sejak beberapa bulan sebelum lawatan Sheikh. Sejumlah pejabat Mesir menyebut Kairo, dengan persetujuan Abu Dhabi dan Riyadh, mengontak Jenderal Abdel Fatah Burhan. Mantan inspektur jenderal militer Sudan itu dipilih karena diketahui tidak dekat dengan kelompok Islamis seperti komandan militer lain di era pemerintahan Bashir.
Jenderal Burhan juga dipilih karena, bersama Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo, mengoordinasikan pengerahan pasukan Sudan ke Yaman. Prajurit Sudan ke Yaman di bawah komando koalisi pimpinan Arab Saudi untuk melawan pemberontak Houthi.
Dukungan Sudan untuk operasi militer di Yaman dibalas dengan kucuran dana oleh UEA dan Arab Saudi ke Khartoum. Delegasi pimpinan Sheikh ingin memastikan kucuran dana itu terus ada jika Bashir terguling.
Kecemasan
Sebelum lawatan itu, sebenarnya Abu Dhabi-Kairo-Riyadh mendukung Bashir. Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi menyambut Bashir di Kairo dalam lawatan pada Januari 2019. Bahkan, kepolisian Mesir mencegah unjuk rasa untuk memprotes Bashir di Kairo.
Meskipun demikian, Abu Dhabi-Kairo-Riyadh tidak bisa menutupi kecemasan atas perkembangan di Sudan. Sebab, ada rangkaian unjuk rasa yang melanda Sudan dan Aljazair. Arab Saudi-UEA-Mesir masih trauma dengan Musim Semi Arab 2011 yang memicu sejumlah perubahan kekuasaan di Arab dan Afrika Utara. Kala itu, Bashir di Sudan dan Abdelaziz Bouteflika di Aljazair masih selamat dan bisa terus berkuasa.
Namun, setelah serangkaian unjuk rasa tanpa henti, Bouteflika akhirnya mengundurkan diri pada 2 April 2019. Pengunduran itu membuat pengunjuk rasa di Sudan semakin bersemangat. Bahkan, mereka sampai berani berunjuk rasa di markas besar tentara Sudan, kekuatan utama penopang pemerintahan Bashir.
Selain itu, trio Mesir-UEA-Arab Saudi juga sudah lama melihat Bashir sebagai masalah. Hal ini tidak terlepas dari kedekatan Bashir dengan kelompok-kelompok Islamis dan bergesernya loyalitas Bashir kepada Turki dan Qatar. Dua negara ini merupakan rival Mesir-UEA-Arab Saudi di kawasan.
Arab Saudi dan UEA melihat kelompok Ikhwanul Muslimin serta kelompok-kelompok afiliasi dan cabang mereka di kawasan sebagai ancaman bagi kekuasaan monarki mereka. Kelompok-kelompok itu juga dianggap sebagai proksi Turki dan Qatar. Arab Saudi dan UEA sangat mendukung penggulingan Muhammad Mursi dari kursi Presiden Mesir tahun 2013.
”Keprihatinan utama Mesir adalah kelompok-kelompok Islamis,” kata Attia Essawi, pakar isu-isu Afrika dari Mesir pada lembaga Al-Ahram Center for Political and Strategic Studies di Kairo.
Kontak rahasia
Sementara di tengah unjuk rasa yang saat itu sedang memanas di Khartoum, Sheikh diam-diam terbang ke Kairo. Selepas lawatan itu, Kairo mengontak Burhan dan Dagalo. Mereka diketahui menjadi salah satu penyebab militer Sudan tidak bertindak keras terhadap pengunjuk rasa meski Bashir menginginkan itu.
Selepas kontak diam-diam antara Burhan dan Dagalo dengan Kairo, Menteri Pertahanan Sudan Jenderal Awad ibn Ouf dan pelaksana tugas Ketua Partai Kongres Nasional Ahmed Harun menemui Bashir. Mereka menyampaikan pesan Abu Dhabi-Kairo-Riyadh yang menawarkan agar Bashir mundur, lalu mengungsi ke Arab Saudi. Sejumlah pejabat Sudan menyebut saat itu Bashir marah dan menolak tawaran tersebut.
Selepas penolakan itu, pada 10 April 2019 pagi, militer mengubah pengawal kepresidenan dan memutus komunikasi Bashir dengan pihak di luar Istana. Tindakan itu membuat Bashir terkejut. Apalagi, Burhan dan dua jenderal lain mendatangi Bashir untuk menyampaikan bahwa Bashir akan ditahan di Istana Kepresidenan. Meskipun demikian, militer menjamin Bashir tidak akan diserahkan ke Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) yang memburunya karena diduga terlibat kejahatan perang.
Selepas pertemuan itu, Burhan dan sejumlah jenderal mengumumkan kudeta. Pengumuman itu dilanjutkan dengan pernyataan era Bashir telah berakhir di Sudan.
Kairo menindaklanjuti pengumuman itu dengan meminta Liga Arab untuk tidak membekukan keanggotaan Sudan. Sementara Abu Dhabi dan Riyadh menjanjikan 3 miliar dollar AS untuk mendukung Dewan Pemerintahan Transisi yang kini dipimpin Burhan. (AP)