Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara terus mengembangkan budidaya udang jerbung (”Penaeus merguiensis”). Sebagai spesies lokal, udang jerbung punya potensi serta nantinya diharapkan jadi alternatif dari udang vaname dan windu.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JEPARA, KOMPAS — Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara terus mengembangkan budidaya Penaeus merguiensis atau udang jerbung. Sebagai spesies lokal, udang jerbung punya potensial serta nantinya diharapkan jadi alternatif dari udang vaname dan windu.
Ketua Kelompok Kerja National Shrimp Broodstock Center (NSBC) Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara Abidin Nur, Kamis (9/5/2019), mengatakan, siklus reproduksi udang jerbung lebih cepat dari udang windu. Tingkat perkawinannya juga tinggi.
”Jika udang windu siklus reproduksinya memerlukan satu tahun, udang jerbung yang berusia di atas enam bulan sudah bisa menjadi induk. Kita harus mengembangkan ini karena selama ini ekspor jerbung dari Indonesia berasal dari tangkapan laut, bukan budidaya,” ujarnya.
Abidin menambahkan, pengembangan udang jerbung ini dilakukan agar ke depan petani memiliki alternatif selain udang windu dan vaname. Apalagi, pusat induk udang yang terkenal aktif ini ada di banyak perairan Indonesia. Salah satu daerah terbaik adalah Laut Arafuru.
Adapun BBPBAP Jepara mulai mengembangkan jerbung pada 2017 dengan mengambil induk alam dari Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, dan Kabupaten Pati, Jawa Tengah. ”Hingga April 2019, kami sudah produksi 20 juta ekor, 12 juta di antaranya dari indukan buatan,” katanya.
Jika udang windu siklus reproduksinya memerlukan satu tahun, udang jerbung yang berusia di atas enam bulan sudah bisa menjadi induk. Kita harus mengembangkan ini karena selama ini ekspor jerbung dari Indonesia berasal dari tangkapan laut, bukan budidaya.
Abidin menambahkan, induk buatan (bukan lagi dari alam) penting untuk mengontrol spesies tersebut aman dari penyakit. Adapun berdasarkan pengalaman selama ini, ujarnya, udang jerbung cenderung lebih tahan dari penyakit ketimbang udang windu.
Pelaksana pembesaran calon induk udang NSBC, Amri Yudhistira, menuturkan, pada pembesaran calon induk udang jerbung di tambak terbuka, sejumlah pengamanan dilakukan. Pengamanan, di antaranya, dilakukan dengan jaring penghalau burung dan saringan pada saluran air.
Hal tersebut untuk mencegah masuknya penyakit pada calon induk. ”Sebab, yang jelas penyakit bisa masuk dari air yang tidak tersaring. Selain itu, kami juga menghindarkan agar binatang-binatang, seperti kepiting, tidak masuk ke sistem kami,” kata Amri.
Masih perlu dipelajari
Amri mengakui, masih banyak yang perlu dipelajari agar pengembangan udang jerbung ini berjalan optimal. Salah satunya belum didapat adalah takaran pakan yang pas untuk mencapai berat tertentu. Hal itu penting karena dalam budidaya, pakan memakan biaya paling besar.
”Hal itu masih kami cari. Namun, yang jelas, potensi jerbung ini bagus. Bagaimanapun, kita memerlukan spesies alternatif selain udang windu dan vaname. Apalagi indukan vaname harus impor. Sementara jerbung asli perairan kita dan jumlahnya banyak,” katanya.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Kepala Bidang Uji Terap dan Dukungan Teknik BBPBAP Jepara Moh Arifin mengatakan, udang jerbung dikembangkan guna mengoptimalkan spesies lokal. Selain itu, potensi alam Indonesia yang besar juga menjadi pertimbangan pengembangan itu.
”Memang hingga saat ini masih diuji dan belum benar-benar aplikatif ke masyarakat, tetapi diharapkan 2020 sudah terlaksana. Selain itu, sebagaimana fungsi balai, setelah melakukan pembenihan, kami lakukan restocking (pemulihan stok) ke laut,” kata Arifin.