Di Forum DK PBB, Indonesia Serukan Penghentian Pemukiman Ilegal Israel
Oleh
MH SAMSUL HADI DAN PASCAL S BIN SAJU
·5 menit baca
NEW YORK, KAMIS — Indonesia menyerukan penghentian pembangunan permukiman Yahudi yang terus dikerjakan oleh Israel di wilayah pendudukan Palestina. Indonesia juga mengajak negara-negara lain untuk terus mengupayakan berdirinya negara Palestina sehingga Palestina berdiri tegak sejajar dengan negara-negara lain di dunia.
Seruan itu disampaikan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi dalam sidang Dewan Keamanan (DK) PBB di Markas Besar PBB di New York, Kamis (9/5/2019). Sidang dalam format arria formula bertema ”Pemukiman dan Pemukim Ilegal Israel: Inti dari Pendudukan, Krisis Perlindungan, dan Penghalang terhadap Perdamaian” itu diselenggarakan Indonesia bersama dengan dua anggota DK PBB lainnya, Kuwait dan Afrika Selatan.
Digelar dalam format arria formula, pertemuan itu menghadirkan sejumlah narasumber terkemuka, yaitu aktivis gerakan perlawanan damai Palestina, Mohammed Khatib, yang menyampaikan pandangannya melalui pesan video; ahli hukum internasional Universitas Ohio, Profesor John Quigley; pengacara dan aktivis HAM Emily Schaeffer Omer-Man; dan Ketua Institut Arab-America James Zogbi. Hadir pula Menlu Palestina Riad Malki.
”Terus berlangsungnya pembangunan permukiman ilegal oleh Israel di wilayah pendudukan Palestina tidak dapat diterima. Saya ulangi lagi, tidak dapat diterima,” kata Retno tegas di hadapan anggota DK PBB saat memimpin pertemuan itu seperti tertuang dalam pernyataan yang dirilis Kementerian Luar Negeri RI. ”Ini merupakan pelanggaran nyata dan terang-terangan terhadap hukum internasional dan berbagai resolusi Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB.”
”Sebab, tanpa diragukan, pemukiman ilegal (Israel) itu merupakan inti pendudukan Israel. Masalah ini berada di jantung krisis perlindungan rakyat Palestina dan hambatan nyata bagi proses perdamaian,” kata Retno.
Sikap Indonesia yang disampaikan Retno itu merupakan pernyataan tegas dan keras Indonesia pertama terkait dengan isu konflik Palestina-Israel sejak Indonesia memimpin DK PBB mulai awal Mei ini. Setelah menjadi anggota tidak tetap DK PBB periode 2019-2020, Indonesia telah menegaskan untuk menjadikan isu Palestina merupakan perjuangan utama diplomasi Indonesia di DK PBB.
Belum diketahui apakah langkah di pertemuan informal terkait dengan isu Palestina ini akan ditindaklanjuti dengan upaya Indonesia menggalang dukungan agar DK PBB mengeluarkan resolusi penghentian pembangunan permukiman Yahudi di wilayah pendudukan Palestina. Hal itu akan membutuhkan upaya diplomasi yang sangat keras. Dibutuhkan dukungan sembilan dari 15 negara anggota DK PBB agar sebuah rancangan resolusi dibahas dan divoting di sidang DK PBB.
Belum diketahui, apakah langkah di pertemuan informal ini akan ditindaklanjuti dengan upaya Indonesia menggalang dukungan agar DK PBB mengeluarkan resolusi penghentian pembangunan permukiman Yahudi di wilayah pendudukan Palestina.
Selain itu, upaya menggalang dukungan agar DK PBB mengeluarkan resolusi penghentian pembangunan permukiman Yahudi hampir pasti akan diveto Amerika Serikat, mitra utama Israel. Era pemerintahan Presiden Donald Trump, yang saat memimpin AS, disebut-sebut paling pro Israel sejak Israel berdiri tahun 1948. Meski kemungkinan besar akan digagalkan lewat veto AS, upaya Indonesia akan dicatat sebagai tekanan diplomatik terhadap AS, sekaligus memperlihatkan perjuangan yang all-out untuk membela Palestina.
Tiga alasan
Dalam pernyataannya, Retno menegaskan, penolakan Indonesia terhadap pembangunan permukiman ilegal Israel di wilayah pendudukan Palestina didasarkan pada tiga alasan. Pertama, permukiman ilegal itu menjadi penghambat terwujudnya solusi dua negara.
”Masa depan berdirinya negara Palestina terhambat setiap hari oleh permukiman-permukiman ilegal ini. Permukiman-permukiman ini dimaksudnya untuk secara paksa mengubah komposisi demografis, karakter, dan status wilayah pendudukan Palestina,” kata Retno.
Ia memaparkan, hingga saat ini luas dan kapasitas permukiman ilegal Yahudi telah berlipat-lipat, dari untuk sekitar 110.000 warga pada September 1993 saat Kesepakatan Damai Oslo ditandatangani hingga menjadi 620.000 warga pada akhir 2017.
”Permukiman-permukiman ini jelas merupakan aneksasi de-facto. Permukiman-permukiman ini merupakan salah satu hambatan utama bagi proses perdamaian,” ujar Retno.
Alasan kedua, aktivitas permukiman ilegal Yahudi itu merupakan sumber dan dalih bagi keluarnya kebijakan-kebijakan tanpa aturan dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap rakyat Palestina. ”Aktivitas-aktivitas ilegal tersebut di wilayah pendudukan Jerusalem Timur juga memicu konflik agama dan karena itu mengancam perdamaian internasional,” ujar Retno.
Alasan ketiga, lanjut Retno, permukiman ilegal Yahudi memantik siklus konflik dan kekerasan yang tiada henti. ”Isu permukiman harus menjadi perhatian penuh Dewan Keamanan. Tiadanya langkah bukanlah pilihan. Ini terkait dengan soal kredibilitas Dewan Keamanan,” kata Retno.
Isu permukiman harus menjadi perhatian penuh Dewan Keamanan. Ini terkait dengan soal kredibilitas Dewan Keamanan.
”Masyarakat internasional harus memastikan adanya pertanggungjawaban dan penghormatan terhadap hukum internasional oleh negara yang menduduki. Tekanan publik dari masyarakat internasional untuk menghentikan permukiman mutlak diperlukan,” ujar Retno.
Apartheid baru
Menlu Palestina Riad Malki dalam pernyataannya antara lain mengatakan, permukiman ilegal Yahudi menyerupai apartheid yang pernah muncul di Afrika Selatan dan Namibia. ”Bertanyalah kepada para pemimpin gerakan anti-apartheid dan mereka akan menjawab kepada anda bahwa apartheid yang sudah mereka taklukkan di Afrika Selatan dan Namibia pada hari ini berjaya di Palestina, dan harus dihentikan,” kata Malki.
Ia menjelaskan berbagai potret diskriminasi yang dialami rakyat Palestina di wilayah pendudukan. Di wilayah yang biasa disebut ”Area C” yang merupakan 60 persen Tepi Barat dan Lembah Jordania tempat sumber-sumber daya alam penting, hanya 1 persen wilayah yang boleh dibangun Palestina. Kebijakan serupa diterapkan Israel di Jerusalem Timur. Hanya 13 persen wilayah pendudukan Jerusalem Timur dijadikan zonasi bagi warga Palestina.
Selama lima dekade terakhir, kata Malki, jumlah pemukim Israel terus meningkat: dari sekitar 100.000 orang saat Kesepakatan Oslo ditandatangani menjadi lebih dari 600.000 orang saat ini.
”Mana yang akan berjaya: pemukiman ilegal atau resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB, tembok pembatas atau Mahkamah Peradilan Internasional, tindakan menarget warga sipil dan hukuman kolektif atau Konvensi Geneva, diskriminasi dan penindasan atau hak asasi manusia, kejahatan perang atau Statuta Roma?” ujar Malki.
”Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu sangat penting bagi rakyat Indonesia dan juga warga dunia.”