AMSTERDAM, KAMIS – Selang sehari sejak “keajaiban” Liverpool di Anfield, tim Inggris lainnya, Tottenham Hotspur, mengejutkan dunia dengan menyingkirkan Ajax Amsterdam di semifinal Liga Champions, Kamis (9/5/2019) dini hari WIB. Keberhasilan Spurs itu semakin menegaskan eksistensi kekuatan pikiran yang mampu menggerakkan ilusi di sepak bola.
Media internasional, Sky Sports, menyamakan keberhasilan Spurs di Amsterdam itu dengan pertunjukkan magis ala Harry Houdini, ilusionis ternama dunia. Seperti Houdini, tim asal London itu melakukan hal yang nyaris mustahil. Dalam kejapan mata, mereka lolos dari “kematian” sekaligus menaklukkan “jeruji” mengerikan bernama Arena Johan Cruyff.
Sebelum laga itu digelar, hanya segelintir orang yakin Spurs bisa mengalahkan Ajax, tim yang akhir-akhir ini menghipnotis dunia berkat permainan berani dan menawan ala total football yang diwariskan Johan Cruyff, legenda sepak bola Belanda. Di kandangnya sendiri, Spurs tidak berkutik dan dipermalukan Ajax 0-1, pekan lalu. Mereka pun datang ke Belanda dengan pincang menyusul absennya striker Harry Kane yang cedera.
Tidak heran, media-media di Inggris sempat menyebut Spurs bakal menjemput “kematiannya” di Amsterdam. Kekhawatiran itu sempat terbukti setidaknya hingga turun minum laga itu. Spurs kembali didikte pasukan belia Ajax dan tertinggal 0-2 di babak pertama. Namun, keajaiban tercipta di babak kedua menyusul pergantian taktik oleh Mauricio Pochettino, Manajer Spurs.
Tim tamu membalas dan justru berbalik unggul lewat sontekan Lucas Moura, striker Spurs, di menit 90+6 alias menit terakhir laga itu. Spurs menang 3-2 dan lolos ke final untuk menghadapi Liverpool di Madrid, 1 Juni mendatang, berkat agresivitas gol tandang. Mereka menjadi tim pertama di milenium ini yang lolos ke final Liga Champions setelah kalah lebih dulu di kandang pada pertemuan pertama semifinal.
Ironisnya, tim terakhir sebelum Spurs yang mampu melakukan hal serupa di Eropa adalah Ajax, yaitu pada 1996 silam. Itu sekaligus adalah final terakhir Ajax di kompetisi itu. “Memakai setelan (pakaian) serba hitam, Pochettino datang seperti menghadiri pemakaman. Namun, nyatanya, itu menjadi sebuah pesta. Sebaliknya, bagi Ajax, gol Moura itu bakal terus menghantui mereka selamanya,” tulis Paul Hayward, jurnalis The Telegraph.
Keberhasilan Spurs mengejar defisit tiga gol (termasuk gol agregat di laga pertama) tidaklah terlepas dari kepiawaian taktik dan keberanian Pochettino di laga itu. Seusai turun minum, ia memasukkan Fernando Llorente. Striker jangkung 1,9 meter itu merupakan trik “tipuan” Spurs untuk merusak konsentrasi bek-bek tangguh Ajax yang dikomandoi Matthijs De Ligt.
Ajax khawatir akan keunggulan postur tubuh Llorente dan ancaman bola-bola atas Spurs. Tak heran, bek-bek Ajax seperti De Ligt dan Daley Blind lebih terfokus ke Llorente dan membuat striker lincah, Moura, lebih leluasa menyerang di babak kedua. Moura, yang terbuang dari Paris Saint Germain menyusul kehadiran pemain termahal dunia, Neymar Jr, memborong tiga gol di babak kedua itu.
Meskipun demikian, Pochettino lebih memilih memuji penampilan para pemainnya ketimbang membenarkan kejelian taktiknya. Ia menyamakan para pemainnya seperti barisan pahlawan super yang melawan kemustahilan. Menurutnya, aspek mental alias keyakinan kuat lebih menentukan ketimbang hal-hal teknis di dalam laga seperti itu. “Sebelumnya, tidak ada yang percaya kami bisa melakukannya. Namun, kami yakin,” ujarnya.
Menurut bek Spurs, Danny Rose, kebangkitan mereka itu terinspirasi dari Liverpool, tim yang memukul Barca 4-0 di laga sebelumnya. “Kami menonton Liverpool malam lalu. Itu menunjukkan tidak ada hal mustahil sebelum laga benar-benar terakhir,” ujarnya.
Sebaliknya, bagi Ajax, laga itu menjadi contoh dua wajah sepak bola, yaitu keindahan sekaligus kebengisan. “Ini terasa seperti impian yang mendadak menjadi mimpi buruk. Kami begitu dekat dengan final, namun (di detik-detik terakhir) bola masuk ke gawang. Sulit untuk dipercaya,” ujar De Ligt yang terpukul seusai laga itu. (AFP/Reuters)