Untuk meredam kemungkinan buruk dari munculnya pandangan yang mengarah provokasi di ruang publik, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto membentuk tim asistensi hukum. Tim itu bertugas mengkaji narasi di ruang publik yang dianggap berpotensi menghasut munculnya tindakan melanggar hukum.
Oleh
M IKHSAN MAHAR
·4 menit baca
Menjelang hari penetapan hasil Pemilu 2019 pada 22 Mei, narasi di ruang publik dari sejumlah elite dan tokoh cenderung masih panas. Meski demikian, bersamaan juga muncul imbauan dari elite lain agar semua pihak menahan diri.
Untuk meredam kemungkinan buruk dari munculnya pandangan yang mengarah provokasi di ruang publik, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto membentuk tim asistensi hukum. Tim itu bertugas mengkaji narasi di ruang publik yang dianggap berpotensi menghasut munculnya tindakan melanggar hukum.
Tim bantuan hukum itu berjumlah 24 orang. Anggotanya merupakan pakar hukum dan para pejabat di kementerian/lembaga terkait, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kepolisian Negara RI, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika. Para pakar hukum yang menjadi bagian tim itu antara lain Muladi, Romli Atmasasmita, Mahfud MD, Indriyanto Seno Adji, dan I Gede Panca Astawa.
Selanjutnya, analisis dari tim itu akan digunakan aparat penegak hukum untuk mempertimbangkan langkah hukum.
Terkait dengan upaya tersebut, Wiranto, Senin (6/5/2019), menyatakan, media yang nyata-nyata membantu pelanggaran hukum bisa ditutup. Pernyataan tersebut dihujani kritik pegiat demokrasi karena dianggap tidak sejalan dengan kebebasan pers.
Sehari kemudian, Wiranto menjelaskan konteks pernyataannya. Dia menyampaikan, media yang dimaksud ialah media sosial yang menyebarkan konten melanggar hukum. Sementara pengawasan konten media arus utama tetap mengacu pada UU Pers, yakni ditangani Dewan Pers untuk media cetak dan daring, sedangkan televisi diawasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (Kompas, 8/5/2019).
Dalam acara Satu Meja The Forum yang bertajuk ”Antara Kebebasan Bicara dan People Power” di Kompas TV, Rabu (8/5/2019), tenaga ahli utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden, Ifdhal Kasim, menjelaskan, pembentukan tim asistensi itu merupakan respons terhadap situasi politik setelah pemungutan suara Pemilu 2019. Atas perkembangan narasi yang berkembang, pemerintah merasa perlu mengantisipasi situasi yang bakal terjadi, termasuk berasal dari wacana dan hasutan.
”Tim asistensi itu memberikan arahan kepada kementerian/lembaga teknis sehingga apa yang dilakukan kepolisian dalam mengantisipasi perkembangan politik sejalan dengan koridor hukum. Tim ini ingin menjaga demokrasi,” ujar Ifdhal dalam dialog yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo.
Selain Ifdhal, pembicara yang hadir ialah Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani, Sekjen Partai Nasdem Johnny G Plate, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah, Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria, dan Direktur Lokataru Haris Azhar.
Arsul menyambut baik pembentukan tim asistensi hukum. Menurut dia, kehadiran tim itu merupakan bentuk kehati-hatian pemerintah agar lembaga penegak hukum tidak gampang menetapkan seseorang terlibat pelanggaran hukum tanpa bantuan ahli memberikan pandangan.
”Jadi, yang harus didorong adalah agar para ahli yang merupakan akademisi di tim itu menunjukkan profesionalisme dan proporsionalitas,” katanya.
Johnny menambahkan, keputusan mengumumkan rencana pembentukan tim asistensi hukum merupakan bentuk keterbukaan pemerintah. Ia berharap kehadiran tim itu mampu memberikan respons agar masyarakat tidak berlebihan dalam memanfaatkan hak menyampaikan pendapat.
Kebebasan berekspresi
Menurut Fahri, ada kegagalan pemerintah dalam memahami esensi demokrasi yang berjalan untuk rakyat dan mementingkan keselamatan rakyat daripada negara. Pemerintah justru menganggap negara adalah segala-galanya sehingga kebebasan berekspresi diawasi dan dikontrol melalui kehadiran tim asistensi hukum itu.
Fahri menilai, kecemasan pemerintah terkait gerakan people power tidak beralasan. Fahri menekankan, masyarakat memiliki hak untuk menolak atau tidak menerima hasil pemilu sebab itu bagian kebebasan berekspresi.
”Yang penting tidak buat kekerasan, tidak bakar-bakar. Kebebasan diatur dalam Pasal 28 UUD 1945. Jadi, pemerintah jangan takut,” katanya.
Kehadiran badan baru, menurut Riza, tidak diperlukan karena pemerintah telah memiliki seluruh instrumen, mulai dari undang-undang hingga penegak hukum. Ia berpendapat, masyarakat bebas menyampaikan paham apa pun selama itu dilakukan secara bertanggung jawab.
”Di pemerintahan saat ini tidak hanya ekonomi dan penegakan hukum, tetapi demokrasi juga sangat rusak. Negara sangat arogan, tidak cuma ucapan, tetapi juga pemikiran dibatasi,” ucap Riza.
Kegaduhan yang dihasilkan sebelum dan setelah pemungutan suara Pemilu 2019 merupakan persoalan elite semata. Seluruh elite dan pimpinan bangsa seharusnya lebih memikirkan kepentingan 260 juta warga Indonesia.
Adapun Haris menyoroti, kegaduhan yang dihasilkan sebelum dan setelah pemungutan suara Pemilu 2019 merupakan persoalan elite semata. Haris mengingatkan bahwa seluruh elite dan pimpinan bangsa seharusnya lebih memikirkan kepentingan 260 juta warga Indonesia yang menghadapi persoalan sehari-hari, antara lain lapangan pekerjaan dan kebutuhan kesehatan.
”Situasi memanas karena kontestasi politik ini hanya persoalan elite. Padahal, masih banyak persoalan kehidupan dasar masyarakat yang perlu diperhatikan,” tuturnya.
Pada akhirnya, kontestasi politik menuntut warga negara menyikapi proses demokrasi dengan bijaksana. Semoga para elite di negara kita memiliki kebijaksanaan tersebut....