Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, yang kaya akan hamparan sabana merupakan surga pakan sapi, kerbau, kuda, dan kambing. Pengembangbiakan ternak secara ekstensif atau digembalakan di padang-padang untuk mencari rumput (pakan). Pengawasan hingga pemeliharaan diserahkan kepada orang-orang kepercayaan yang disebut pengadas dengan sistem bagi hasil. Untuk itu, di Tana Samawa, julukan Pulau Sumbawa, masih banyak warga yang bekerja mengadas.
Oleh
Khaerul Anwar dan Ismail Zakaria
·5 menit baca
Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, yang kaya akan hamparan sabana merupakan surga untuk menggembalakan sapi, kerbau, kuda, dan kambing. Untuk memastikan penggembalaan berlangsung baik, pengadas (gembala) memainkan peran pengawasan hingga pemeliharaan. Hijrah adalah satu dari beberapa pengadas yang menekuni profesi ini lebih dari dua dekade.
”Ooooajaaah, ooooajaaah,” teriak Hijrah (44) sambil menghadap Padang Sabana Sentra Peternakan Rakyat Doro Ncanga, Kabupaten Dompu, Pulau Sumbawa. Sejurus kemudian, empat sapi berlari kecil mendekati sumber suara. Saat ternak dekat, Hijrah menyodorkan dedaunan. Layaknya ayah yang menyuapi anak-anak, dengan penuh kasih, Hijrah memberikan makan ternak-ternak itu.
Menirukan suara sapi, begitulah ayah satu anak itu memanggil ternak peliharaannya di Doro Ncanga yang selama lima tahun terakhir menjadi tempat finis maraton ultra Kompas Tambora Challenge–Lintas Sumbawa 320K. Pertemuan dengan Hijrah terjadi di sela peliputan lomba lari ultra-trail yang berlangsung pada 1-4 Mei 2019 itu. Cara Hijrah memanggil ternak itu menunjukkan hubungan batin yang lekat antara gembala dan hewan-hewan yang harus dijaga.
Hijrah bekerja sebagai pengadas sejak lebih dari dua dekade yang lalu. Saat ini, ia menggembalakan 180 ekor ternak milik lima orang yang merupakan pejabat teras Pemerintah Kabupaten Dompu dan Pemerintah Kabupaten Bima. Ia mendapat imbalan dengan sistem bagi hasil. Dari tiga kelahiran baru, pengadas mendapat satu ternak. Biasanya sapi betina melahirkan satu anak bayi setiap tahun.
Dari sistem bagi hasil dua puluh tahun terakhir, saya jadi punya empat puluh sapi.
”Dari sistem bagi hasil dua puluh tahun terakhir, saya jadi punya empat puluh sapi, sama seperti pemilik lainnya,” ujar Hijrah tersenyum bangga.
Sapi-sapi milik pribadi dari bagi hasil merupakan modal untuk hidup keluarga Hijrah. Ternak biasanya mereka jual untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak, renovasi rumah, ataupun hajatan. Saat ini, harga sapi jantan umur setahun Rp 6 juta. Per ekor sapi dara betina umur setahun senilai Rp 4 juta. Induk sapi Rp 10 juta, sedangkan pejantan dewasa sampai Rp 15 juta.
Namun, menggembalakan ternak di Dompu bukan perkara mudah. Cuaca menjadi tantangan terbesar. Bagaimana tidak, musim hujan di Dompu hanya berjalan empat bulan, selebihnya musim kemarau yang terik, yang membuat rumput kecoklatan, pohon-pohon meranggas, dan mata air susut. Di musim kemarau yang kejam, pedet atau anak kerbau/sapi kerap mati akibat tidak mendapat pakan cukup.
Untuk menghindari kekurangan pakan, Hijrah memantau warga yang akan panen padi, jagung, dan kacang tanah. Limbah tanaman pangan itu akan dibeli dan diangkut dengan truk sebagai pakan ternak-ternaknya.
Selain cuaca, penyakit cacingan dan scabies (gatal-gatal) menjadi tantangan lain. Apabila penyakit itu menyerang, pengadas biasanya menghubungi dokter hewan di Dompu atau minta dikirimi obat dan alat suntik. ”Bila dokter hewan berhalangan datang, saya yang suntik sendiri sapi yang sakit karena sering melihat dan diajari menyuntik oleh dokter,” ujar Hijrah.
Motor peretelan
Sebagai pengadas, sudah menjadi kewajiban setiap hari mengontrol kawanan ternak yang digembalakan di so atau lar atau padang sabana. Untuk wilayah Doro Ncanga, padang sabana seluas 1.966 hektar. Ternak biasanya mulai merumput pukul 06.00 Wita dan dibawa pulang sekitar pukul 15.00 Wita.
Jauh sebelum ada kendaraan, para pengadas berkeliling padang sabana yang luas dengan menunggang kuda. Namun, kuda kian mahal dan kini harganya melampaui harga sepeda motor. Oleh karena itu, Hijrah menjadi lebih terampil bersepeda motor daripada berkuda untuk mengontrol ternak-ternak.
Sepeda motor andalan itu berupa motor bebek peretelan yang menyisakan rangka, sadel, mesin, dan roda. Meski begitu, Hijrah merasa nyaman. Kendaraan peretelan itu dianggap tahan dari perubahan medan padang sabana yang becek dan berlumpur seusai digempur hujan. Selain itu, sepeda motor itu lincah dan gesit melahap gundukan dan zig-zag di jalan setapak.
Hijrah mengatakan, sapi-sapi yang digembalakannya diberi cap di paha kiri dan kanan serta kuping. Setiap pengadas punya penanda atau cap berbeda. Cap jelas bertujuan agar ternak tidak tercampur atau tertukar dengan milik gembala lain. Meski begitu, para pengadas punya ”kesaktian” untuk memastikan mana saja ternak-ternak mereka dengan sekadar melihat dari kejauhan.
”Nah, itu sapi-sapi saya,” ujar Hijrah. Dia menunjuk kawanan sapi yang tengah merumput sekitar 100 meter dari tempatnya memantau. Bagaimana para pengadas mampu memastikan ternak mereka cukup dengan melihat karena pengalaman bertahun-tahun sehingga punya kepekaan indera yang luar biasa.
Sapi akan resah jika berada di bukan kawanannya.
Kendati punya semacam radar untuk memantau sapi-sapinya, Hijrah pernah memiliki pengalaman pahit kehilangan seekor sapi yang jatuh ke sungai dan bangkainya dimakan predator sabana. Jika sapi itu hidup, tentu sang hewan akan pergi mencari kawanan sendiri. ”Sapi akan resah jika berada di bukan kawanannya,” ujar Hijrah.
Di kalangan pengadas ada semacam kesepakatan, jika menemukan ternak bukan dari kawanan sendiri, maka akan dikembalikan. Itulah fungsi penanda atau cap tadi. Setiap pengadas biasanya hafal dengan penanda rekan-rekannya.
”Sesuai kesepakatan, kami harus jujur dan pasti bilang kepada pengadas lain misalnya, eh, sapimu ikut kelompok sapiku, silakan ambil, ya,” kata Hijrah. Kejujuran sederhana dan bersahaja seperti itu membuat pengadas termasuk Hijrah mendapat kepercayaan memelihara ternak milik orang lain.
Naluri
Hijrah paham betul perilaku ternaknya. Misalnya, sapi dan kerbau selalu melewati jalur pergi pulang yang sama meski dibuatkan rute baru. Binatang peliharaan itu juga hafal warna baju sampai deru mesin kendaraan yang dipakai pengadas. Karena itu, pengadas pantang mengganti baju selama bertugas. Mereka punya satu ”baju dinas”. Jika baju sering diganti, sapi sulit untuk mengenali pengasuhnya. ”Mau lusuh, sobek, tetap saya pakai baju dinas coklat ini,” katanya.
Selain itu, Hijrah terkadang bersikap seperti matador. Itu dilakukan saat mengejar sapi yang akan dijual ataupun dijinakkan atas permintaan pemilik. Saat sapi yang dikejar sudah didapat, ekor ternak itu akan terus dipegangi. Sapi akan kelelahan karena meronta-ronta terus. Setelah itu, Hijrah akan ”membanting” ternaknya, menduduki leher, dan memberi ikatan.
Selanjutnya, ia mengalungi si sapi dengan kayu untuk pembiasaan agar ternak ”tidak bandel”. Kalungan kayu akan dilepas saat hewan dipastikan jinak. Lagi-lagi pengalaman bertahun-tahun mengendalikan hewan peliharaan yang berbicara. Hijrah benar-benar pengadas yang tak kalah hebat dari cowboy Amerika. (KELVIN HIANUSA, AMBROSIUS HARTO)
Hijrah
Lahir: Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu, 1977
Istri: Siti Hajar (42)
Anak: Nada Jahratunnisa (Kelas VI SD Negeri 13 Kempo)