Menjelang masa giling, petani tebu di Pabrik Gula Sindanglaut, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, cemas tebu mereka digiling di pabrik lain. Selain sulit menjual tetes tebu, beban ongkos angkut tebu petani juga akan bertambah.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Menjelang masa giling, petani tebu di Pabrik Gula Sindanglaut, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, cemas tebu mereka digiling di pabrik lain. Selain sulit menjual tetes tebu, beban ongkos angkut tebu petani juga akan bertambah.
”Kalau tebu kami digiling di Pabrik Tersana Baru seperti tahun lalu, petani pasti rugi. Kami harus menambah Rp 750 per kuintal tebu untuk biaya angkut,” ujar petani tebu di PG Sindanglaut, Ade Junaedi (35), kepada Kompas pada Jumat (10/5/2019) di Cirebon.
Menurut dia, jumlah tersebut bagi petani cukup besar. Jika 1 hektar petani meraup 700 kuintal tebu, ongkos angkut ke pabrik lain mencapai Rp 525.000. Padahal, petani harus menyiapkan modal untuk membayar kredit bank.
”Tahun lalu, sebulan terakhir masa giling, tebu dialihkan dari PG Sindanglaut ke PG Tersana Baru. Saya harus keluar uang lagi,” ucap Ade, yang menggarap 5 hektar lahan tebu. PG Sindanglaut berjarak lebih dari 13 kilometer dari PG Tersana Baru. Pabrik gula tersebut milik PT PG Rajawali II, grup PT RNI (Persero).
Kalau tebu kami digiling di Pabrik Tersana Baru seperti tahun lalu, petani pasti rugi. Kami harus menambah Rp 750 per kuintal tebu untuk biaya angkut.
Selain itu, tetes tebu yang merupakan produk sampingan dari pengolahan gula dinilai sulit laku jika tempat giling berpindah. Padahal, produk yang berasal dari 3 persen pada setiap kuintal tebu itu dapat menambah pendapatan petani.
”Pembeli tetes tebu kami sudah terbiasa di PG Sindanglaut. Tahun lalu, saya terpaksa menurunkan harga tetes tebu dari Rp 1.700 per kilogram menjadi Rp 1.400 per kg karena enggak laku,” lanjut Ade. Oleh karena itu, ia berharap PT PG Rajawali II tidak mengalihkan tebu petani ke pabrik lain saat masa giling yang jatuh pada 20 Juni mendatang.
Menurut Mae Azhar, petani tebu lainnya, kekhawatiran petani terhadap perpindahan tempat giling masih terjadi karena luas lahan tebu di kedua pabrik tersebut timpang. PG Tersana Baru memiliki kapasitas 3.000 ton giling tebu per hari (ton cane per day/TCD). Namun, lahan tebu yang memasok bahan baku ke pabrik itu hanya sekitar 1.000 hektar.
”Sementara PG Sindanglaut punya potensi bahan baku hingga 3.000 hektar. Namun, kapasitasnya hanya 2.000 TCD. Untuk efisiensi, pabrik memindahkan tebu petani ke Tersana Baru. Namun, petani terbebani ongkos tambahan,” ujar Mae.
Menurut Azhar, perpindahan tempat giling juga mengindikasikan tutupnya sebuah pabrik karena dianggap tidak efisien dan tidak sebandingkan dengan luas lahan tebu. Di Jabar, dari delapan pabrik kini tersisa tiga pabrik gula. PG Subang tutup tahun lalu. Bahkan, PG Sindanglaut yang menjadi tumpuan lebih dari 1.000 petani kerap diisukan tutup.
Tahun lalu, petani dan buruh PG Sindanglaut berunjuk rasa di Kantor PT PG Rajawali II di Kota Cirebon karena khawatir pabrik gula kembali gulung tikar. Mereka juga memprotes masa giling yang tersisa tiga bulan dari sebelumnya mencapai empat bulan. Dampaknya, masa kerja buruh terpangkas.
Direktur Produksi PT PG Rajawali II Muzamzam menampik kekhawatiran petani tebu terkait perpindahan temat giling. ”Tebu Sindanglaut ya digiling di PG Sindanglaut. Tebu Tersana ya digiling di PG Tersana Baru,” ujarnya.