Minim Kesempatan di Dalam Negeri, Pekerja Migran asal Banyumas Meningkat
Jumlah TKI atau pekerja migran dari Kabupaten Banyumas terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. Selain faktor kebutuhan ekonomi dan sulitnya mencari kerja di daerah, upaya pelatihan kerja dari pemerintah setempat juga terbatas.
Oleh
MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Jumlah pekerja migran Indonesia dari Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. Selain faktor kebutuhan ekonomi dan sulitnya mencari kerja, upaya pelatihan usaha dari pemerintah setempat juga terbatas. Peningkatan keterampilan serta pendampingan kewirausahaan dibutuhkan untuk menumbuhkan lapangan kerja baru di daerah.
”Pekerja migran Indonesia terus naik karena keterbatasan lowongan kerja untuk tingkat pendidikan tertentu, misalnya lulusan SD, SMP, SMA. Sementara persaingan di luar sana banyak sekali. Selain itu, ada juga masalah upah. Gaji di luar negeri lebih dari Rp 5 juta,” tutur Kepala Bidang Pengembangan dan Perluasan Kesempatan Kerja, Penempatan Tenaga Kerja dan Transmigrasi Dinas Tenaga Kerja, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Kabupaten Banyumas Agus Widodo, Jumat (10/5/2019) di Purwokerto.
Berdasarkan data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, pada 2016, jumlah pekerja migran Indonesia asal Banyumas sebanyak 3.522 orang. Jumlah itu meningkat setahun kemudian menjadi 3.799 orang dan tahun 2018 sebanyak 4.112 orang.
Sepanjang 2019, hingga Mei ini, berdasarkan data dari Dinas Tenaga Kerja, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Kabupaten Banyumas, jumlah pekerja migran ada 874 orang. Negara tujuan utama adalah Taiwan, Malaysia, Hong Kong, Singapura, dan Brunei Darussalam.
Agus menyampaikan, sejumlah pelatihan keterampilan diberikan untuk warga di Banyumas serta pendampingan bagi pekerja migran purna melalui program Desa Migran Produktif (Desmigratif) sejak 2017. Pelatihannya berupa peternakan kelinci, budidaya kopi, dan pembuatan makanan ringan.
”Desa Migran Produktif dilaksanakan di Desa Cilangkap, Pekaja, Cihonje, dan Losari. Setiap desa, ada sekitar 20 pekerja migran purna yang didampingi,” ujarnya.
Sementara itu, dana dari APBD untuk pelatihan di UPTD Balai Latihan Kerja Kabupaten Banyumas pada 2017 dan 2018 terbatas, masing-masing Rp 350 juta, dengan total peserta 396 orang. Pelatihan itu meliputi otomotif, elektronik HP, las, tata rias pengantin, menjahit, dan pengolahan hasil pertanian.
Untuk pelatihan dari dana APBN pada 2017 sebesar Rp 700,2 juta bagi 191 orang dan pada 2018 sebesar Rp 862,1 juta bagi 256 orang.
Sadat Yustianto (29), TKI asal Karangpucung, Purwokerto Selatan, Banyumas, mengatakan, dirinya berangkat ke Malaysia sejak setahun lalu. ”Saya bekerja di konstruksi bangunan. Kini sedang membangun ruko di Johor,” ucapnya saat dihubungi dari Purwokerto.
Dengan ijazah sekolah teknik mesin, Sadat kesulitan mencari kerja di Banyumas. Apalagi, ia sudah punya keluarga dengan seorang anak yang kini dititipkan kepada saudaranya. Istri Sadat juga bekerja di Hong Kong sejak tiga bulan lalu.
Sadat pernah bekerja sebagai pekerja migran di Taiwan selama tiga tahun bersama adik dan ibunya yang terlebih dahulu bekerja di sana. Sekembalinya dari Taiwan, Sadat membuka usaha warung angkringan, tetapi dalam hitungan bulan usahanya tutup karena kesulitan mengelola keuangan.
Menurut Sadat, selama ini dirinya tidak pernah mendapatkan informasi atau tawaran mengenai pelatihan keterampilan dari pemerintah. ”Kalau ada pelatihan dan pendampingan, saya ingin buka usaha peternakan di rumah,” ujarnya.
Sekretaris Paguyuban Mantan Pekerja Migran Seruni Banyumas Narsidah menilai, fenomena pekerja migran yang berangkat kembali untuk bekerja di luar negeri terjadi karena pekerja tidak memiliki perencanaan yang matang untuk masa depan. Akibatnya, mereka terpaksa berangkat kembali ke perantauan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
”Biasanya mereka tidak punya target, tidak punya perencanaan. Biasanya mereka berangkat saat anak-anaknya masih kecil. Ketika kontrak pertama, misalnya belum punya rumah, lalu beli rumah, lalu anaknya masuk SD, SMA, dan seterusnya. Akhirnya mengikuti kebutuhan, mengikuti alur, tanpa target,” tutur Narsidah.
Oleh karena itu, lanjutnya, pekerja migran perlu pendampingan untuk menetapkan target dan rencana. Tujuannya, agar mereka bisa menyiapkan usaha dari modal yang sudah dikumpulkan dari luar negeri untuk menciptakan lapangan pekerjaan.
”Mereka perlu dibantu bagaimana menduplikat penghasilan yang didapat agar berkembang di sini sehingga tidak kembali ke luar negeri. Pelatihan saja tidak cukup. Pola perilakunya juga semestinya tidak konsumtif dan rumahnya juga dibikin tanpa target, misalnya dibikin sebesar mungkin,” papar Narsidah.