PBB Desak Korut Bebaskan Ratusan Ribu Tahanan Politik
GENEVA, JUMAT — Perserikatan Bangsa-Bangsa mendesak Korea Utara, Kamis (9/5/2019), untuk membongkar kamp yang diperkirakan menahan 80.000 hingga 120.000 tahanan politik. Korea Utara sementara itu membantah adanya kamp penahanan seperti itu dan justru menyalahkan sanksi Amerika Serikat yang dianggap menurunkan kualitas hidup warganya.
Jumlah tahanan di Korut itu merupakan hasil penyelidikan PBB. Selain ditahan, ada dugaan bahwa tempat penahanan itu melakukan tindakan penyiksaan dan dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
”Situasi hak asasi manusia di Korut menyedihkan dan tidak memiliki tempat di dunia modern,” kata Diplomat Senior Amerika Serikat Mark Cassayre kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB saat pertemuan mengenai kondisi di Korut selama lima tahun terakhir yang dihadiri 47 negara anggota, di Geneva, Swiss.
Selain mendesak agar kamp penahanan di Korut ditutup dan tahanannya dibebaskan, Cassayre juga mendesak otoritas Korut untuk mengizinkan pekerja bantuan gerakan tanpa batas di Korut serta akses terhadap masyarakat Korut yang memerlukan bantuan. Ia juga mendesak Korut untuk menoleransi kepemilikan teks agama.
Selain dikecam AS, Korut juga dikecam negara lain yang hadir dalam pertemuan itu, termasuk Inggris, Kanada, dan Perancis. Delegasi Korut pun membantah adanya kamp penahanan yang disebut di atas. Mereka memang membenarkan bahwa ada tahanan mata-mata dan teroris yang dikirim musuh Korut, yang telah melakukan tindakan subversif, ditahan di lembaga reformasi yang terpisah dari tahanan biasa. Jumlah tahanan seperti itu dikatakan tidak banyak.
”Hak orang untuk hidup dan kebebasan fundamental manusia (di Korut) dijamin sepenuhnya. Namun, sanksi AS menghambat warga Korut hidup dengan bahagia,” kata Duta Besar Korut Han Tae Song.
Situasi hak asasi manusia di Korut menyedihkan dan tidak memiliki tempat di dunia modern.
China, sebagai sekutu terkuat Korut, mendesak Korut untuk terus mempromosikan pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan. Mereka juga menyerukan kepada komunitas internasional untuk terlibat dalam dialog yang tulus dengan Korut demi mewujudkan denuklirisasi dan perdamaian berkelanjutan di Semenanjung Korea.
Tembakan rudal
Selain isu kemanusiaan di atas, ketegangan antara komunitas internasional dan Korut meningkat dengan adanya pelaksanaan latihan militer Korut yang dalam kurun waktu kurang dari seminggu ini meluncurkan roket dan rudal. Selama awal Mei 2019, Korut melakukan uji coba peluncur roket dan rudal pada Sabtu (4/5/2019) pekan lalu dan Kamis (9/5/2019) kemarin.
Baca juga: Korea Utara Kembali Tembakkan Proyektil
Menanggapi uji coba itu, Presiden AS Donald Trump mengatakan, tindakan itu tidak menyenangkan siapa pun. Meskipun demikian, ia memastikan hubungannya dengan Kim Jong Un akan terus berlanjut.
”Saya tahu mereka (Korut) ingin bernegosiasi. Mereka berbicara tentang negosiasi. Tapi, saya kira mereka belum siap untuk bernegosiasi,” kata Trump.
Ia menambahkan, rudal yang diuji coba Korut itu berjarak pendek. Departemen Pertahanan AS, The Pentagon, juga menyatakan, peluncuran rudal itu terdiri dari beberapa rudal balistik yang terbang dengan jarak lebih dari 300 kilometer dan jatuh di laut.
”Rudal ini, apa pun itu, apa pun yang ingin Anda sebut, sangat kecil, dan tidak ditargetkan ke Jepang, AS, tetapi diarahkan ke pantai Korut. Jadi, tindakan itu tidak provokatif,” kata Kepala Staf Gedung Putih Mick Mulvaney.
Presiden Korea Selatan Moon Jae-in sementara itu menyatakan, meskipun peluncuran rudal itu berjarak pendek, tindakan tersebut masih bisa melanggar Resolusi PBB yang melarang Korut mengembangkan rudal balistik.
”Korut tampaknya tidak puas karena tidak mencapai kesepakatan pada pertemuannya dengan Trump di Hanoi, Februari lalu,” katanya sambil menambahkan rencananya untuk melaksanakan pertemuan keempat dengan Kim Jong Un.
Kantor berita Korut, KCNA, melaporkan, Jong Un mengawasi ”latihan militer” yang disebut di atas. Baginya, ”Perdamaian dan keamanan sejati negara itu hanya dijamin oleh kekuatan fisik yang kuat dan mampu mempertahankan kedaulatannya.”
Baca juga: Korut Tegaskan Haknya Gelar Latihan Militer
AS tangkap kapal Korut
Kemarin juga setelah Korut menembakkan rudal jarak pendek, Departemen Kehakiman AS mengatakan, AS untuk pertama kalinya menyita kapal kargo Korut yang dituduh melakukan pengiriman batubara secara ilegal dan melanggar penerapan sanksi AS dan PBB terhadap Korut.
Kapal yang diberikan nama ”Jujur dan Bijaksana” (Wise Honest) itu pertama kali ditahan oleh Indonesia pada April 2018. Kini, kapal itu berada di tangan AS dan sedang mendekati perairan wilayah AS di Samoa Amerika, di bagian selatan Samudra Pasifik.
Pengacara AS untuk distrik selatan New York, Geoffrey Berman, mengatakan, penyitaan kapal Korut itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan latihan militer yang dilaksanakan Korut baru-baru ini. ”Kami telah mengejar kapal ini selama berbulan-bulan,” katanya.
Departemen Kehakiman AS menambahkan, kapal Korut itu digunakan oleh perusahaan Korea, Songi Shipping Company, yang dituduh membayar menggunakan mata uang dollar AS melalui lembaga keuangan AS untuk melakukan perbaikan, pembelian peralatan, dan layanan kapal. Hal tersebut dinyatakan melanggar undang-undang AS.
Dewan Keamanan PBB memperkuat sanksi terhadap Korut sejak 2006 dalam upaya menghentikan pendanaan untuk program nuklir dan rudal balistik Korut. Mereka juga melarang Korut mengekspor batubara, besi, timah, tekstil, dan makanan laut, serta membatasi Korut mengimpor minyak mentah dan produk kilang minyak.
Namun, pemantau dari AS melaporkan kepada DK PBB, Maret 2019, bahwa Korut terus menentang sanksi itu, melalui apa yang disebut sebagai peningkatan pengiriman ilegal kapal ke kapal untuk produk minyak dan batubara. Departemen Kehakiman AS menyebutkan, kapal Jujur dan Bijak merupakan kapal pengangkut barang terbesar kedua Korut. (REUTERS)