Tak Lihat Gembala di Padang Savana
Padang savana di Sumbawa menyajikan pemandangan tak biasa. Hamparan rumput liar, lumpur, gundukan batu berlatar belakang Gunung Tambora dan Pantai Saleh; gerombolan sapi, kerbau, dan kuda; serta kolam raksasa tempat minum mereka adalah panorama tak terlupakan.
Ayo, ikut saya lihat kumpul kebo di sana,” kata Abdul Wahid alias To’o (43), penggembala ternak setelah berkenalan, Jumat (3/5/2019) siang, di Padang Savana Doro Ncanga, Kabupaten Dompu, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.
Lelaki itu menunjuk arah selatan wilayah Dusun Doro Ncanga, Desa Sori Tatanga, Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu. Doro Ncanga memiliki padang savana yang merupakan kawasan penggembalaan ternak rakyat.
Di Pulau Sumbawa, padang savana untuk menggembala ternak juga disebut so atau lar. To’o ingin menunjukkan kepada kami tempat kambing, kuda, sapi, dan kerbau mendapat minum dan mandi di sumber mata air sekitar 1,5 kilometer dari jalan raya dusun di kaki Gunung Tambora itu.
Menurut Sekretaris Dinas Peternakan Kabupaten Dompu Avanwari, sedikitnya ada delapan so atau lar di kabupaten tersebut. Padang Savana Doro Ncanga luasnya 1.996 hektar. Semula, luas padang savana ini 29.000 hektar. Namun, luasan padang savana itu berkurang karena alih kelola kepada pemegang hak guna usaha.
Doro Ncanga juga merupakan tempat akhir lomba lari maraton ultra Kompas Tambora Challenge Lintas Sumbawa 320K dalam lima tahun terakhir.
Menurut catatan Pemerintah Kabupaten Dompu, tahun ini Doro Ncanga menampung sekitar 27.000 sapi dan 4.000 kerbau. Di dekat Doro Ncanga ada juga so lain, yakni Ina Bada, Drahi, dan Santigi.
Bupati Dompu Bambang Yasin di sela penutupan Lintas Sumbawa 320K, Sabtu (4/5), menyatakan niat mencanangkan Doro Ncanga sebagai obyek nomadic tourism. ”Maksudnya, wisatawan cukup datang membawa mobil karavan menginap dan menikmati keindahan alam kaki Gunung Tambora,” ujarnya.
Menteri Pariwisata Arief Yahya pernah menyebut Padang Savana Doro Ncanga dengan latar belakang Gunung Tambora dan Teluk Saleh itu mirip suasana lanskap di beberapa wilayah di Afrika.
Modal sepeda motor
Ketika wisata nomaden masih sebatas ide pemerintah, To’o justru menunjukkan kerja nyata dengan menawari wisata boncengan. Ia nongkrong di sadel sepeda motor pretelan dengan suara knalpot yang memekakkan telinga saat mesin dinyalakan.
Dengan sepeda motor itu wisatawan dibawa menjelajah beberapa lokasi berupa jalan tanah becek setelah disiram hujan malam sebelumnya. Suara mesin kendaraan roda dua itu sesekali mengerang karena putaran rodanya melambat tertahan lumpur.
Badan kadang terangkat dari sadel karena roda sepeda motor menggilas gundukan batu yang menyembul dari dalam tanah. ”Batu-batu itu adalah jejak letusan Gunung Tambora pada 1815,” kata To’o.
Hijau rerumputan dan berbagai warna kulit ternak, yakni coklat, coklat kemerahan, hitam, abu-abu kehitaman, dan putih, serta langit biru saat cuaca cerah mendominasi pemandangan padang savana itu. Bunyi genta pada leher ternak kleneng-kleneng... terasa merdu, memecah kesunyian sekaligus menemani desir angin.
Siang yang terik memaksa gerombolan ternak berteduh di bawah rindang pohon bidara. Di batas cakrawala barat, tampak panorama Teluk Saleh yang biru dan samar-samar terlihat Pulau Moyo, Kabupaten Sumbawa. Suasana lanskap kaki Gunung Tambora ini amat layak diabadikan dan dipamerkan.
Sapi bule
Saat hanyut menikmati lanskap alami di sadel boncengan, To’o mengagetkan dengan suara setengah berteriak. ”Itu sapi bule,” katanya.
Sapi bule berbulu putih-kecoklatan. Hewan ini hasil kawin silang alami antara sapi bali dan sapi hissar yang cukup banyak terdapat di padang penggembalaan di Pulau Sumbawa.
Sekitar lima menit perjalanan, mesin sepeda motor mengerang-erang karena melewati tanah berlumpur. Menjelang tujuan, beberapa kali kepala tersenggol ranting tumbuhan liar yang mengapit jalan membentuk terowongan. Sepeda motor harus berjalan zig-zag menghindari akar mangrove yang melintang bak gundukan polisi tidur.
Kami akhirnya tiba di pemandian ternak yang berbentuk kolam raksasa, berair tawar, jernih, dan sejuk yang dikitari tanaman mangrove. Di depan terhampar pemandangan hewan-hewan ternak seakan mengkapling kolam.
Sapi dan kuda punya tempat menenggak air tawar. Kelompok kerbau punya kapling untuk berendam di kubangan lumpur. Ini yang oleh To’o disebut kumpul kebo. Hewan-hewan itu biasanya turun minum pada pagi hingga siang. Hewan yang dibudidayakan itu kemudian kembali ke tempat pengelompokan pada sore atau menjelang gelap.
To’o bercerita, biasanya para penggembala membuatkan jalur untuk kepulangan ternak dari pemandian. ”Sering kali, biarpun dibuatkan jalur baru, ternak tetap memilih jalur yang biasa dilewati,” kata Hijrah (44), penggembala lain di Doro Ncanga.
Hewan ternak juga hafal jalur pergi pulang serta sosok dan bau penggembala. Mereka akan menjauh jika didekati sosok asing. Kami yang hanya sedikit merasakan suasana padang savana segera sadar bahwa so merupakan representasi budaya peternakan masyarakat. Hewan digembalakan dalam lingkungan berumput yang amat luas dengan kehadiran manusia yang sangat sedikit.
Sulit membayangkan pola penggembalaan itu dijalankan di pulau seperti Jawa, Bali, dan Sumatera yang relatif padat penduduk. Padang penggembalaan ternak juga memiliki potensi ekonomi selain untuk penggembalaan hewan. So dapat menjadi lokasi wisata untuk berkemah, memotret, penjelajahan, ataupun kegiatan alam terbuka lainnya.
(RUL/KEL/ZAK/BRO)