Tinggal atau Pindah, Sama Sulitnya
Bencana kerap meninggalkan trauma bagi para penyintas. Di tengah minimnya pengetahuan dan bimbingan, mereka terpaksa bertahan meski bahaya terus bersama hingga entah kapan.
Trauma masih dirasakan Asep Suratmin (57), warga Kampung Jati Radio di Desa Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Dua tahun lalu, ia nyaris tewas. Material longsor dari Gunung Geger Pulus menimbun tubuhnya. Dua jam ia ”dicium” maut, tetapi tertolong warga.
Tak mudah baginya melanjutkan hidup. Saat ditemui pada Senin (6/5/2019), Asep mengakui, ia dan keluarga sempat takut kembali tinggal di rumah bersanding petaka itu. Bersama istrinya, Imas Rohimah (47), dan dua anaknya, ia mengontrak rumah tiga bulan sebelum akhirnya pulang karena uang menipis.
Imas merasakan hal sama. Ingatan menyeramkan tergambar jelas. Hujan lebat adalah alarm menakutkan baginya, apalagi Asep tak setiap hari berada di rumah.
Asep adalah pramuniaga penjualan sisir di Kota Bandung. Pulang tiga hari sekali dengan penghasilan Rp 2,5 juta per bulan. Imas tak memiliki penghasilan tetap. Penghasilan mereka tak cukup untuk mendapatkan rumah baru. Angin segar sempat berembus.
Kabar relokasi disambut bahagia. Namun, harapan tak seindah kenyataan. Menanti kabar terwujud, yang datang justru longsor pada Sabtu (27/4). Dinding setinggi 4 meter penahan tanah di Jati Radio roboh diguyur hujan. Kali ini, tak hanya Imas yang cemas. Toto Hendriyanto (43), warga Jati Radio lainnya, juga merasa dihantui. Longsor berjarak 3 meter saja dari rumahnya.
Kisah keluarga Asep berulang pada Toto, istri, dan tiga anaknya. Bekas longsor ditutupi terpal untuk mengurangi pengikisan tanah, meminimalkan longsor susulan.
”Mau tinggal di mana lagi? Gampang bilang harus pindah karena tempat ini rawan longsor. Tetapi, uangnya dari mana,” ujarnya. Saat longsor tiga tahun lalu, Toto dan keluarga mengungsi. Meski rumahnya tak kena longsor, bencana susulan mengancam kampung.
Sejak itu, Toto berniat pindah dengan menjual rumah. Namun, rumahnya hanya ditawar Rp 45 juta dari harga Rp 200 juta. Pupus sudah harapan untuk mendapatkan rumah baru. Toto bekerja di koperasi dengan penghasilan Rp 1,2 juta per bulan. Gaji istrinya sebagai pegawai toko elektronik Rp 2,4 juta. Gaji itu juga untuk biaya kuliah si sulung.
Tak hanya warga Jati Radio yang tertatih. Lama sudah warga Andir, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, juga ingin pindah. Mereka bosan terus direndam banjir Sungai Citarum.
Adik (43), warga Andir, pesimistis lantai dua rumahnya bisa terus menyelamatkannya. Banjir lebih dari 1 meter selalu menggenangi rumahnya yang hanya 100 meter dari Sungai Citarum. Fondasi rumahnya mulai keropos karena gerusan air sungai yang meluap. ”Mau pindah ke mana kalau tak punya uang. Terpaksa di sini saja,” ujarnya. Rumah itu sudah ditawarkan, tetapi tidak laku. Adik pun siap direlokasi.
Namun, relokasi bukan perkara mudah di Jabar. Mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono mengatakan, tak mudah mencari lahan pengganti kawasan longsor di Jabar. Hampir semua daerahnya rawan gerakan tanah. Relokasi yang memisahkan penyintas dengan sumber hidup sebelumnya juga menjadi kendala.
Para penyintas longsor Dusun Cimapag, Desa Sirnaresmi, Kabupaten Sukabumi, awal Januari lalu, merasakannya. Hidup mereka belum menentu sejak terpisah jauh dengan mata pencarian.
Menempati 23 hunian sementara yang dibangun dari dana pemerintah, sumbangan, dan sebagian uang warga, kini mereka bingung mencari pekerjaan. Sekitar 2 hektar sawah belum bisa digarap karena longsor merusak irigasi. Padahal, kebutuhan hidup sehari-hari dari hasil sawah itu. ”Mereka belum bisa kembali ke aktivitas dulu. Sawah dan kebun belum bisa digarap,” ujar Kepala Dusun Cimapag Lili Amaludin.
Ancaman longsor
Menjelang Senin sore lalu, awan hitam datang lagi memayungi Jati Radio. Mendung pula wajah Ahmad (44). Letak rumahnya tak sampai 10 meter dari bekas longsor 2017 di kaki Gunung Geger Pulus. Meski telah dipadatkan dan diberi beronjong penahan tanah, ia tetap khawatir ada longsor susulan.
Kecemasan kian menjadi karena Ahmad tak mengetahui jalur evakuasi jika terjadi longsor. Jarak dari jalan raya ke rumahnya lebih dari 150 meter dan melalui lereng bukit. ”Kalau ada bencana lagi, saya hanya bisa pasrah,” katanya.
Sekretaris Desa Cililin Asep Muhtadin mengatakan, berbagai cara dilakukan untuk menjauhkan warga dari ancaman bencana. Penyiapan lahan relokasi, misalnya, dipilih di Kampung Pasir Meong, Desa Cililin. Namun, belum ada persetujuan dari pemerintah.
Kerja sama dengan Kementerian Sosial membentuk tim kampung siaga bencana (KSB) untuk mitigasi bencana juga dilakoni. Satu di antara permukiman rawan berada di RW 012 Kampung Jati Radio, Desa Cililin. Di sana, peralatan siaga bencana diletakkan di SMA Mitra Dharma Cililin.
Alat yang dipasang enam bulan lalu itu setidaknya bisa membantu warga untuk lebih waspada saat hujan lebat. Alat tersebut berbunyi setiap pukul 06.00 dan 17.00 sebagai indikator aktif. Jika ada peringatan waspada, mereka akan meninggalkan rumah untuk sementara.
Namun, kinerja alat dikhawatirkan tak maksimal. Asep menuturkan, hanya ada 50 petugas KSB dan baru sekali melakukan latihan simulasi serta evakuasi kebencanaan. Bahkan, warga sama sekali belum pernah merasakan pengalaman itu. Di sana, bencana di depan mata, tetapi relokasi atau tinggal sama susahnya. Ironis. (TATANA MULYANA/WAHYUDI MACHRADIN RITONGA/ CORNELIUS HELMY)