JAKARTA, KOMPAS — Layanan urun dana melalui penawaran saham berbasis teknologi informasi dapat menjadi alternatif investasi. Kehadiran layanan itu juga bisa menjadi wadah belajar sebelum calon investor memutuskan berinvestasi saham di pasar modal.
Co-Founder dan CEO Pramdana Kresna Satya Prameswara mengemukakan, layanan urun dana melalui penawaran saham berbasis teknologi informasi (equity crowdfunding) memiliki cara kerja yang memungkinkan investor melakukan jual-beli saham. Investor bisa membuka transaksi di pasar sekunder. Pemilik platform equity crowdfunding berperan sebagai pasar.
”Dengan cara kerja seperti itu, kami mengajak masyarakat belajar dan terbiasa berinvestasi saham. Setiap penyedia platform equity crowdfunding biasanya memiliki pendekatan berbeda,” ujarnya di sela-sela diskusi ”Fintech Equity Crowdfunding, The New Era of Investment”, Kamis (9/5/2019), di Jakarta.
Urun dana melalui penawaran saham berbasis teknologi informasi mirip penawaran saham perdana di pasar modal. Perusahaan juga harus berbentuk perseroan terbatas atau koperasi. Perbedaannya, penyedia platform equity crowdfunding menjual saham secara langsung kepada pemodal secara dalam jaringan.
Penyedia platform mempertemukan pemilik proyek yang membutuhkan modal dengan investor. Investor dapat terdiri atas banyak orang. Dana yang telah disepakati ditukar dengan saham.
Pramdana adalah salah satu dari delapan penyedia platform equity crowdfunding yang terdaftar sebagai anggota Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech). Pelaku lain adalah Likuid, Alumnia, Bizhare, Santara, Tavest, EthisCrowd, dan Revit.id.
Kresna mengatakan, pemilihan properti sebagai investasi karena wujudnya fisik. Dengan demikian, mudah dipantau, nilai asetnya selalu tumbuh, dan aman. Pihaknya bermitra dengan Harmony Land Development dan Perkumpulan Wirausahawan Rumah Rakyat Nusantara.
Investor di platform Pramdana bisa berinvestasi mulai dari Rp 5 juta. Dana itu akan ditukar dengan saham. Proyeksi keuntungan per tahun mencapai 18-20 persen.
CEO Bizhare Heinrich Vincent mengatakan, Bizhare fokus sebagai platform equity crowdfunding untuk mengumpulkan modal bagi pelaku usaha ritel waralaba. Sejak berdiri pada 2017 sampai sekarang, Bizhare telah memiliki sekitar 17.000 investor.
Beberapa usaha ritel waralaba berdiri karena difasilitasi Bizhare, seperti Flip Burger Karawaci dan Nasi Kapau H Rizal Bogor.
”Kami aktif menawarkan kepada pemilik merek waralaba tertentu mengenai apa yang kami lakukan. Daripada dia (pemilik merek) mengumpulkan modal sendiri dan terasa mahal, lebih baik target modal dipenuhi secara ramai-ramai,” katanya.
Sementara itu, Likuid fokus menjadi penyedia platform equity crowdfunding yang mempertemukan perusahaan rintisan atau ekonomi kreatif dengan investor.
Co-Founder Likuid Kenneth Tali mengemukakan, kedua sektor itu biasa kesulitan mengakses permodalan.
Likuid bermitra dengan beberapa pemodal ventura yang berpengalaman melakukan valuasi nilai perusahaan.
Alternatif
Direktur Komunikasi dan Pengembangan Komunitas Aftech Tasa Nugraza Barley mengemukakan, kemunculan penyedia platform equity crowdfunding tergolong baru di Indonesia. Regulator melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun mulai mengatur sejak Desember 2018 melalui POJK Nomor 37/POJK.04/2018.
Menurut dia, ada beberapa penyedia platform yang diminta OJK masuk lebih dulu ke dalam program inovasi keuangan digital. Ada pula penyedia yang langsung diarahkan untuk mengurus perizinan. Persyaratan memperoleh izin tidak mudah dipenuhi, antara lain keharusan memiliki sistem keamanan siber yang dibuktikan melalui sertifikat ISO 27001.
”Kehadiran penyedia platform equity crowdfunding berfungsi sebagai alternatif investasi dan permudah akses permodalan bagi warga yang mau mulai wirausaha. Masing-masing penyedia platform mempunyai fokus sektor berbeda-beda. Kami menilainya positif,” kata Tasa.
Tasa mengakui industri layanan teknologi finansial masih didominasi pemain sistem pembayaran dan pinjam-meminjam uang. Kedua subsektor ini sedang berada dalam fase pertumbuhan matang.
Subsektor manajemen kekayaan (wealth management) kini mulai tumbuh, lalu diikuti equity crowdfunding dan asuransi. Tasa berpendapat, semua bagian ekosistem industri layanan teknologi finansial membantu wirausaha. (MED)