Pengajuan klaim jaminan sosial terkait penyakit akibat kerja masih sulit dilakukan. Kendala utamanya ada pada birokrasi yang rumit.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengajuan klaim jaminan sosial terkait penyakit akibat kerja masih sulit dilakukan. Kendala utamanya ada pada birokrasi yang rumit.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar, Jumat (10/5/2019), di Jakarta, menyampaikan pandangan tersebut. Dia lantas menggambarkan kerumitan birokrasi yang dimaksud. Pekerja yang mengalami sakit akibat kerja harus dilaporkan oleh perusahaan.
”Kebanyakan kasus penyakit akibat kerja terjadi setelah pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga perusahaan enggan melapor. Terjadinya penyakit akibat kerja dianggap akan membuat citra perusahaan buruk,” ujarnya.
Pengawas ketenagakerjaan memiliki andil dalam penentuan penyakit akibat kerja. Kementerian Ketenagakerjaan merekomendasikan dokter untuk memeriksa, baru ditetapkan.
Mekanisme pengajuan klaim penyakit akibat kerja juga harus berdasarkan laporan tes kesehatan (medical check-up) yang dilakukan secara reguler. Permasalahannya, banyak perusahaan tidak rutin melakukannya karena ongkos mahal.
Tahap yang tidak kalah penting adalah penetapan diagnosis harus mengikuti arahan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit akibat Kerja.
Berdasarkan data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, pada tahun 2018, BPJS membayarkan total klaim Rp 24 triliun untuk 2,16 juta kasus. Pembayaran klaim terbesar diserahkan untuk program jaminan hari tua Rp 22 triliun dengan jumlah kasus mencapai 1,9 juta.
Pembayaran klaim terbesar berikutnya adalah program jaminan kecelakaan kerja. BPJS Ketenagakerjaan membayarkan Rp 1,2 triliun untuk 173.000 kasus.
Lalu, pembayaran klaim program jaminan kematian mencapai Rp 710 miliar untuk 25.000 kasus. Adapun BPJS Ketenagakerjaan membayarkan klaim program jaminan pensiun Rp 175,3 miliar untuk 25.000 kasus.
Sementara itu, Spesialis Senior Bidang K3 Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Bangkok Francisco Santos O’Connor menyebutkan, pada tahun 2017, jumlah kematian pekerja akibat sakit dan kecelakaan kerja secara global mencapai 2,78 juta orang. Penyumbang terbesar angka kematian adalah negara kawasan Asia Pasifik dengan jumlah 1,82 juta orang.
Kematian pekerja akibat penyakit telah menjadi perhatian serius ILO. Francisco mengatakan, ILO menyorot penyakit yang diderita pekerja akibat terpapar zat-zat berbahaya. Salah satunya adalah asbestos atau biasa disebut juga asbes.
”Sebanyak 55-85 persen penyakit kanker paru-paru disebabkan karena terkena paparan asbes. Secara global, ILO memperkirakan kematian akibat terkena paparan asbes mencapai 100.000 orang per tahun,” ujarnya dalam sesi konferensi video seminar ”Racun Berhambur di Negeri Rawan Bencana”, Kamis (9/5/2019), di Jakarta.
Francisco mengemukakan, ILO telah mengeluarkan Konvensi ILO 162 tentang Asbestos. ILO mengajak semua ekosistem pasar kerja peduli terhadap bahaya asbes. Pengelolaan asbes dan limbahnya harus diberlakukan sedemikian rupa dengan kondisi yang menjamin perlindungan pekerja dan penduduk serta mencegah kontaminasi.
”Kanker paru-paru yang disebabkan oleh asbestos buruk bagi kesehatan dan hidup pekerja. Apabila ditarik dalam perspektif makro, penyakit itu mengakibatkan ongkos besar dalam perekonomian,” katanya.
Serikat pekerja dan asosiasi industri di 55 negara telah melarang asbes. Namun, produksi dan penggunaannya masih berlanjut. Director of Fit2work Occupational and Environmental Study Centre Jakarta Anna Suraya mengungkapkan, di Indonesia, produk berbahan asbes mudah ditemukan, seperti bahan bangunan dan serat kain. Produk tersebut bahkan bisa dijumpai di toko daring.
”Mereka yang bekerja di pabrik pengolahan asbes, tukang, dan warga yang hidup dekat sampah asbes tergolong punya risiko tinggi terkena penyakit. Sayangnya, di Indonesia, penyakit paru-paru akibat asbes masih dianggap mitos. Klaim jaminan sosialnya pun susah,” tuturnya.
Anna mengatakan, di Indonesia, klaim memperoleh fasilitas kesehatan ataupun jaminan sosial karena penyakit masih sukar. Padahal, risiko penyakit yang timbul akibat kerja beraneka ragam mulai tingkat sederhana sampai kompleks. Pekerja akhirnya memilih diam.
”Jangan berbicara jauh dulu mengenai kanker paru-paru akibat terpapar asbes. Risiko penyakit apa pun yang timbul selama bekerja pun susah diurus hak-hak pekerja,” imbuh dia. (MED)