Merawat Hormat pada Leluhur
Bagi orang Kerinci, panggilan adat tak dapat diabaikan. Di tengah Sungai Batangmerao yang berarus deras, ribuan warga berjalan beriringan memotong arus. Mereka melebur dalam tradisi penyucian ”mandi balimau”.
Di antara warga yang berdesakan, Nurjanah memangku tekad serupa. Dengan membawa anaknya yang berusia tiga tahun dalam gendongan, ia melintasi percikan air jeruk dari para pemangku adat yang berdiri di tepi sungai. Selanjutnya, pelan-pelan ia berjalan menyeberang sungai.
Namun, baru beberapa langkah, keseimbangannya hilang. Nurjanah dan anaknya terseret arus. Mendengar teriakan kerasnya, warga di sekitar cepat-cepat menggapainya. Beruntung keduanya dapat diselamatkan dan dituntun hingga seberang sungai. ”Lega rasanya. Tadi hampir saja kami mati,” katanya.
Meski harus melalui prosesi menantang maut, masyarakat adat Tigo Luhak Semurup, Kabupaten Kerinci, tetap menjalani tradisi mandi balimau. Ini merupakan puncak dari rangkaian panjang prosesi adat Kenduri Sko.
Mendapatkan percikan air jeruk menjadi saat yang paling ditunggu seluruh warga. Prosesi dilanjutkan dengan berjalan menyeberangi arus sungai. Percikan limau adalah simbol penyucian hati. Selain itu, segala persoalan dan konflik dalam masyarakat luruh tersapu air sungai. Itulah saat hadirnya kembali perdamaian. Selepas mandi balimau warga duduk bersama menikmati santapan lemang dan beragam jenis makanan dalam balai adat.
Pesta pusaka
Kenduri Sko merupakan pesta adat terbesar masyarakat Kerinci. Kenduri atau kenduhai berarti ’pesta’, adapun sko berarti ’pusaka’. Dalam pesta tersebut digelar berbagai acara, mulai dari menobatkan orang-orang dari golongan adat yang disebut depati dan rio hingga prosesi menurunkan benda-benda pusaka dari rumah adat omah gedang. Secara khusus, di wilayah Semurup, Kenduri Sko diakhiri dengan mandi balimau.
Ketua Lembaga Adat Tiga Luhak Semurup, Darifus, mengatakan, ritual adat lima tahunan itu sempat tertunda dua tahun. Setelah menyelesaikan perhelatan politik Pilkada 2018 dan Pemilu Presiden April lalu, masyarakat akhirnya sepakat segera menggelar kenduri.
Setelah menetapkan tanggal, para pemimpin adat langsung membentangkan bendera Karamentang di halaman balai adat. ”Kalau bendera sudah dibentangkan, Kenduri Sko segera dilaksanakan,” katanya.
Selama satu pekan prosesi itu berjalan, para pemangku mengenakan pakaian dan senjata kebesaran masing-masing. Para prajurit adat alias hulubalang berkumpul dengan membawa pedang, tombak, serta beragam alat pusaka lain.
Mengusir roh jahat
Tiga hari berturut-turut mereka berjalan mengelilingi wilayah adat yang mencakup 24 desa. Di sepanjang perjalanan, sejumlah depati dan ninik mamak memercikkan air jeruk dengan dedaunan kepada warga yang dilintasi. Pemangku adat lain mengusung kemenyan yang dibakar. Asapnya yang mengepul-ngepul memenuhi wilayah itu dimaknai membersihkan Semurup dari roh-roh jahat.
Yang istimewa pada perhelatan kali ini, para tokoh adat menobatkan gelar adat untuk tiga pemimpin daerah. Gubernur Jambi Fachrori Umar mendapatkan gelar Depati Susun Negaro Pemuncak Alam Jambi. Bupati Kerinci Adirozal memperoleh gelar Depati Segumi Mahkuto Alam. Wakil Bupati Ami Taher memperoleh gelar Depati Rajo Segumi Tuo Puncak Alam.
Pada hari terakhir ritual mengasap negeri, di malam hari digelar ritual tarian Asyeik. Tari itu untuk mengundang kehadiran arwah leluhur, berlangsung di setiap omah gedang.
Menjelang pukul 23.00, ritual dimulai. Seorang dukun membakar kemenyan dan menyiapkan sesaji. Lalu, kemenyan dibawa mengelilingi ruangan dalam rumah adat. Ia terus berjalan sembari mengucapkan mantra. Di belakangnya seluruh warga berjalan mengikuti.
Dengan nyanyian mantra yang terus-menerus, tibalah pada saat-saat kritis masuknya roh leluhur. Sejumlah warga mulai kesurupan. Dalam kondisi trance (kerasukan), terucap dari mulut mereka berbagai pesan dan teguran. Hal itu diyakini sebagai pesan dan teguran dari leluhur kepada para keturunannya.
Ritual Asyeik menggambarkan kuatnya hubungan orang Kerinci pada leluhur dan alam. Meski kini mereka memegang teguh ajaran Islam, ikatan batin dengan nenek moyang tidak dilepaskan.
”Adat basandi syarak. Syarak basandi Kitabullah,” ujar Dori Liwan Dinata, tokoh adat setempat. Artinya, adat harus didasarkan pada syariat agama Islam dan kitab suci.
Di saat tradisi adat mulai banyak ditinggalkan di tempat lain, Semurup tetap mempertahankan, termasuk oleh para keturunan yang jauh merantau. Kenduri Sko menjadi panggilan adat yang membawa mereka pulang.
”Sejauh-jauh merantau, kalau sudah mendengar akan berlangsung Kenduri Sko, mereka pasti pulang,” ucap Syarifuddin Muid, pemimpin adat yang bergelar Depati Mudo. Mereka percaya dengan menjaga keseimbangan dan keselarasan, kehidupan akan terlindung dari malapetaka.