PUISI
Ahda Imran
Jantung Bayang
Aku si jantung bayang
Makhluk halus penunggu menara purba
Berdegup di tengah jemaat dan nestapa
Menghembus dari pintu angin;
penunjuk jalan keselamatan
Biar kuasa langit kembali pada terang
Orang kalah!
Dari sekalian nestapa
kupanggul imanmu. Menjauhi
orang kafir dan segala
muslihat mereka
Tenun jubahmu bersulam benang keramat
Naik ke jenjang menara purba
Asah pisau biar iman berkilat
Berjagalah di gerbang hukum lama
Biar kuasa langit kembali pada terang
Aku si jantung bayang
Makhluk halus penunggu menara purba
Penghasut yang paling kudus
2018
Kota Putih
Aku melihatmu di sebuah kota
yang menjadi putih. Ketika gelap
bersalin lidah dengan terang. Ketika
orang-orang menemukan sisik ular
di bawah bantal, sajadah, dan altar
Bagai lebah mereka berkerumun –
memasuki tubuhmu. Mengangkut kecemasan
dan kebencian. Di padang lapang mereka
mengerang dan mengasah pisau
Kota seputih kafan. Kau berjalan
memanggul jenasah Habil, mengitari
Kota Suci, memandikannya
dengan percik air bunga padma
Tubuh dan kakimu mengucur darah
Jemaat yang terus mengerang; berebut
daging dan darahmu. Mengitari tulang
belulangmu
Aku menemukan kematianmu
di sebuah kota yang menjadi putih
Kota yang kuciptakan dari percik ludah
dan pisau yang terus diasah
2019
Menjadi Angin
Menjadi angin; aku berjalan
di permukaan danau. Membuat alun
dari rambutku yang berjatuhan –
tanpa mengubah warna air. Ikan-ikan
tenang menyimpan dan menjaga telurnya
Langit biru. Cahaya tanpa ruang;
keluasan sekaligus kebisuan
Ke balik air ada suara lain menyelam
Berbisik ke lubuk paling kelam. Mengubah
sisik ikan-ikan menjadi jutaan lidah. Menggelepar
di permukaan danau
Hari gelap dan beku
Udara jadi sedingin belati
Danau dikelilingi seruan suci
Menyeru-nyeru namaku
Aku di sini; menjadi angin. Bertiup
ke pusat pulau, membuka seluruh gerbang
Menyentuh terang dan lembut uap air
Membiarkan manusia dan kata-kata
terus berjatuhan dari rambutku
2019
Ebi Langkung
Tungku Hutan
lubang api lubang sepi
api menjilat yang tinggi
sepi mengusap yang sirna kembali
bara menyala batin kembara
sila dan tapa duduk meliuk
memandang ke dalam
melihat yang luruh debu berguguran
dari pohon sunyi
dada burung tersesat
mencari tenang sedang ranting dan
daun hijau mulai mengasap
2019
Kembang Dingin
kembang dingin di lantai hening
langit malam merendah
ke makam-makam
udara berembun
melepas biji-biji rindu
di atas batu
kepada ingatan yang dibaringkan
miring bersidekap mencium tanah
dalam pasrah kegelapan
adakah yang jatuh memekar putihmu
putih sepi dari doaku di atas nisan
memelukmu dalam ketiadaan
2019
Mahabbah Adawiyah
Di pucuk hening kumbang buta
Menari dalam cinta
Tiada aku selain Kau
Menyatu dalam kalbu sunyi
Tiada desir selain rindu Kau
Angin berhenti di kening batu
Aku hangat dalam Kau
Seisi langit dan bumi menyala bertasbih
Di pusar sesal akulah tangis
Selendang yang jatuh terbentang
Dalam pangkuanMu
Hanyalah matiku
2019
Sahur
bangun dari tidur
melepas kantuk ke dapur
tarhim dan tanda waktu
menyerap di atas meja sajian
makanlah, bekal harimu
menahan bimbang dan lapar
sebab lantun perut kerap menggoda sabar
sampai subuh kembali
membuka terang
kita pun mulai tualang
dengan kenyang terpahamkan
2019
Ahda Imran lahir di Baruhgunung, Payakumbuh, Sumatera Barat, 10 Agustus 1966. Kumpulan puisinya antara lain Rusa Berbulu Merah (2014). Tinggal di Bandung dan bergiat di Selasar Bahasa.
Ebi Langkung lahir di Pasongsongan, Sumenep, Madura. Buku puisinya berjudul Siul Sapi Betina (2015).