Untuk kali pertama dalam sejarah, dua final kompetisi antarklub Eropa dikuasai satu negara, yaitu Inggris. Kompetisi yang sengit di Inggris ikut membantu Chelsea dan Arsenal mewujudkan derbi London di final Liga Europa 2019.
LONDON, JUMAT – Dua dekade silam, klub-klub asal Inggris hanyalah penonton di final kompetisi antarklub Eropa seperti Liga Champions dan Piala UEFA (kini Liga Europa). Sir Alex Ferguson, legenda Manchester United, bahkan belajar dari sepak bola Italia. Kini, Liga Inggris menjelma kiblat Eropa, bahkan dunia.
Kesuksesan Chelsea dan Arsenal lolos ke final Liga Europa 2019 kian menegaskan hegemoni klub-klub Liga Inggris di Eropa. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, empat tim finalis di Liga Europa dan Liga Champions berasal dari negara yang sama, yaitu Inggris. Dua tim Inggris lainnya, Liverpool dan Tottenham Hotspur, sebelumnya juga menyabet tiket final Liga Champions musim ini.
“Pelajaran dari Inggris. Dengan aliran uang (besar) dan pelatih-pelatih terhebat dunia, Liga Primer (Inggris) menyapu segalanya,” tulis koran Italia, La Gazetta dello Sports, dengan nada iri. Koran terkemuka Spanyol, Marca, tidak kalah menyanjung Liga Inggris. “Ini rezim Liga Inggris di Eropa,” bunyi judul koran tersebut.
Rezim sepak bola Eropa memang selalu berganti dan bergerak dinamis. Hingga dua dekade lalu, nyaris tiada klub Inggris yang dikenal punya tradisi di Eropa kecuali Liverpool. Pada kurun 1990-an, Liga Inggris bahkan tenggelam dalam persaingan di Benua Biru. Tidak satu pun wakilnya tampil di final Liga Europa saat itu.
Publik awam hanya mengenal calcio alias Liga Italia dengan barisan bintang ternama seperti Ruud Gullit, Marco van Basten, Diego Maradona, dan Alessandro Del Piero. Di saat Inggris absen, Italia empat kali mewujudkan final “domestik” di Liga Europa. Sebanyak tujuh trofi bahkan mereka raih pada dekade itu.
Jauh sebelum big six alias langganan enam besar Liga Inggris seperti Liverpool dan Chelsea berkibar saat ini, pecinta bola sejagat lebih dulu mengenal istilah sette sorelle alias “tujuh bersaudara” Italia. Istilah itu merujuk pada tujuh tim besar Liga Italia, yaitu AC Milan, Juve, Inter Milan, Lazio, AS Roma, Fiorentina dan Parma.
Tak heran, Ferguson menjadikan tim-tim Italia, khususnya Juve, sebagai model untuk membangun kesuksesan Setan Merah di akhir 1990-an. Dua dekade berlalu, Liga Inggris justru berbalik justru menjadi teladan bagi Italia dan liga-liga lainnya di Eropa. “Di sini (Liga Inggris), levelnya sangat tinggi. Untuk ke final Piala Liga (Inggris) saja, kami harus melawan Liverpool dan Spurs (dua finalis Liga Champions), lalu Manchester City. Liga Primer adalah yang terbaik di dunia,” ujar Maurizio Sarri, Manajer Chelsea, yang kaya pengalaman di Liga Italia.
Sarri merasakan manfaat sengitnya persaingan di kompetisi domestik Inggris. Drama kemenangan di semifinal Liga Europa kontra Eintracht Frankfurt, Jumat dini hari WIB, misalnya, tidaklah terlepas dari pengalaman final di Piala Liga Inggris, Februari lalu. “The Blues” lolos ke final berkat kegemilangan kiper Kepa Arrizabalaga yang menggagalkan dua penalti lawan. Final itu menjadi penebusan Arrizabalaga yang sempat membangkang perintah Sarri di adu penalti final Piala Liga kontra City.
Adapun keberhasilan Arsenal, yang lolos ke final dengan agregat 7-3 dari Valencia, tidak terlepas dari tekad besar mereka tampil di Liga Champions musim depan lewat “tiket” juara Liga Europa 2019. “The Gunners” kesulitan bersaing di empat besar Liga Inggris serta memilih fokus di Liga Europa. “Final ini bermakna besar bagi kami,” ujar Pierre-Emerick Aubameyang, striker Arsenal. (REUTERS)