VENESIA, KOMPAS—Partisipasi Paviliun Indonesia dalam Venice Art Biennale 2019 di Venesia, Italia, turut memperkuat diplomasi kebudayaan kita di kancah internasional. Selain membangun citra positif melalui praktik seni rupa kontemporer, kegiatan ini juga memungkinkan para seniman Tanah Air menyumbangkan inspirasi bagi dunia untuk menggalang kehidupan global yang lebih beradab.
Citra tersebut terasa dalam pameran Paviliun Indonesia di kawasan Arsenale di Venesia, Italia, sebagaimana dilaporkan wartawan Kompas Ilham Khoiri dari Venesia, Jumat (10/5/2019) waktu setempat. Peviliun menyajikan seni instalasi berjudul "Lost Verses: Akal Tak Sekali Datang, Runding Tak Sekali Tiba” karya kolaborasi seniman Tanah Air mendapat sambutan hangat dari publik. Posisi Indonesia berada sederetan dengan negara-negara lain yang memiliki tradisi kuat dalam seni rupa.
Diberitakan sebelumnya, Indonesia hadir dalam Venice Art Biennale 2019 dengan membuka paviliun nasional yang diresmikan oleh Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf, Rabu (8/5/2019) sore waktu setempat. Ditampilkan karya kolaborasi kurator dari Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) Asmudjo Jono Irianto dan kokurator Yacobus Ari Respati, seniman asal Bandung Syagini Ratna Wulan dan asal Yogyakarta, Handiwirman Saputra.
Selain di paviliun, Handiwirman sebagai pribadi juga menyajikan karyanya sebagai undangan khusus bersama para seniman mancanegara dalam seksi internasional di kawasan Arsenale dan Giordini di Venesia. Perhelatan ini dirangkai oleh kurator Ralp Rugoff, direktur Hayward Gallery di London, dengan tema "May You Live in Interesting Times". Ajang dua tahunan itu kini masuk penyelenggaraan ke-58 dan bakal berlangsung hingga 24 November 2019.
Di sela-sela pameran, Asmudjo mengungkapkan, Venice Art Biennale merupakan perhelatan seni rupa yang sangat bergengsi di dunia. Selain memiliki sejarah kuat sejak kali pertama dihelat tahun 1895, ajang ini juga diikuti seniman-seniman undangan dan seniman dari negara-negara yang membuka paviliun permanen sejak bertahun-tahun silam. Karya-karya di sini menggambarkan pencapaian seni rupa kontemporer pada masanya.
Mempertimbangkan pentingnya ajang ini, Indonesia diharapkan terus dapat menjaga kehadirannya. Salah satu caranya, dengan membangun paviliun permanen sebagaimana dilakukan negara-negara besar dan sebagian negara berkembang, seperti Mesir, Uruguway, dan Venezuela, atau beberapa negara Asia seperti Jepang dan Korea Selatan.
"Secara geopolitik, posisi Indonesia di dunia makin penting. Sekarang kita jadi ketua Dewan Keamanan PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa). Sudah sepatutnya kita juga memantapkan diplomasi seni rupa global," kata Asmudjo saat ditemui di sela-sela pameran.
Secara geopolitik, posisi Indonesia di dunia makin penting. Sekarang kita jadi ketua Dewan Keamanan PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa). Sudah sepatutnya kita juga memantapkan diplomasi seni rupa global.
Dengan hadir di di Venice Biennale, Indonesia diakui dan turut dalam percaturan budaya tinggi. Kita juga memberi kontribusi bagi budaya global melalui kegiatan seni rupa kontemporer. Apalagi, pengunjung pameran ini berasal dari seluruh dunia dan beragam sehingga tepat sebagai momen untuk membangun citra positif tentang Indonesia.
Handiwirman Saputra, yang juga hadir dalam pameran, mengungkapkan syukur dan bangga karena dapat mewaliki Indonesia di paviliun nasional sekaligus seksi undangan internasional. "Kalau tampil di paviliun, kami mengajukan proposal ke tim juri dan kemudian diseleksi. Tapi, tiba-tiba diundang langsung oleh kurator Venice Biennale, itu mengagetkan," katanya.
Dia adalah seniman Indonesia ketiga yang diundang dalam seksi internasional Venice Beinnale. Dua seniman sebelumnya adalah Affandi pada tahun 1954 dan Heri Dono pada 2013. Kehadiran Paviliun Indonesia tercatat pada tahun 2011 dan 2013 yang disokong Kementerian Pariwisata dan Rkonomi Kreatif (Kemenparekraf), serta tahun 2017 dan 2019 yang ditangani Bekraf.
Komisioner Paviliun Indonesia Ricky Pesik, mengatakan, Bekraf menggelar grup diskusi dengan para pemangku kepentingan yang kemudian memutuskan bahwa Indonesia tetap tampil dalam Venice Biennale.
Untuk menyeleksi seniman yang bakal berangkat tahun 2019, dibentuk tim juri yang bertugas menelaah proposal yang masuk dan memutuskan siapa yang paling pas mewakili Indonesia. Tim juri terdiri dari kurator Jim Supangkat, pematung Dolorosa Sinaga, pemikir kebudayaan Nirwan Dewanto, pengajar filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta St Sunardi, dan Guru Besar Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bambang Sugiharto.
"Dengan cara ini, proses seleksi menjadi lebih terbuka. Harapannya, seniman dan karya yang ditampilkan lebih menarik," katanya.
Dengan cara ini, proses seleksi menjadi lebih terbuka. Harapannya, seniman dan karya yang ditampilkan lebih menarik.Seni menginspirasi
Instalasi seni di Paviliun Indonesia berupa rangkaian dari banyak benda yang ditata di ruangan seluas sekitar 500 meter persegi yang merupakan bagian dari gudang tua dari abad ke-15 di Arsenale. Ada 180 loker kaca transparan, komedi putar dari kayu, dan ruang merokok dari kaca tembus pandang.
Loker berisi berbagai benda yang akrab di keseharian masyarakat Indonesia, mulai dari telor, kubah, keris, topeng, bendera, jam dengan angka 2:12, serta karet gelang. Semua itu dikemas dalam judul karya ini unik, "Lost Verses: Akal Tak Sekali Datang, Runding Tak Sekali Tiba”.
Menurut Bambang Sugiharto, yang hadir dalam pembukaan Paviliun Indonesia, instalasi itu memprovokasi penonton juga untuk bermain, ngobrol di ruang merokok, serta menelusuri loker-loker dengan isinya yang unik. Pengalaman itu menrangsang orang untuk berpikir tentang berbagai tegangan persoalan lokal Indonesia dan global. Terasa ada semangat bernegosiasi yang tak pernah selesai.
"Semangat negosiasi yang diperlihatkan karya instalasi itu relevan. Kita perlu lebih terbuka, terus bernegosiasi sebagai proses panjang," katanya. Dunia saat ini dirundung ketidakpastian yang mencemaskan dalam semua lini kehidupan. Masyarakat lalu terdorong mencari kepastian, mungkin dari domga lama, atau coba melebur dalam kemungkinan baru. Dalam situasi itu, negosiasi itu penting.
Bagi Bambang, karya seni rupa kontemporer diperlukan sebagai inspirasi bagi masyarakat untuk melihat kehidupan dengan perspektif yang lebih kaya dan mendorong pencarian solusi atas masalah-masalah terkini secara lebih kreatif. Memang tidak memberikan panduan langsung dan teknis, tetapi seni menyemai imajinasi untuk melihat persoalan dan kemungkinan solusi secara lebih terbuka.