29 Jam Melintasi Pegunungan Papua
Jalan Trans Papua dari Jayapura ke Wamena adalah sarana yang menyambungkan daerah pesisir ke pegunungan Papua sejak tahun 2018 lalu. Selama 28 tahun warga menantikan kehadiran jalan itu. Wartawan Kompas Fabio Maria Lopes Costa bersama tim Balai Jalan Papua, selama dua hari meninjau persiapan akhir pembangunan jalan itu.
Saya bersama enam wartawan nasional dan lokal mendapat kesempatan mengikuti jajaran Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) XVIII Wilayah Papua untuk meninjau progres tahap akhir penyelesaian Jalan Trans Papua dari tanggal 7-8 September 2018. Kepala BPJN XVIII Papua Osman Marbun turut mengikuti kegiatan ini.
Jalan Trans Papua dari Jayapura ke Wamena berjarak 575 kilometer. Jalan ini sangat strategis karena menjadi penghubung utama antara wilayah pesisir dan pegunungan. Ruas Jayapura-Wamena melewati sejumlah kabupaten, yakni Kota Jayapura, Keerom, Kabupaten Jayapura, Yalimo, dan Jayawijaya.
Wamena merupakan pusat transit barang kebutuhan pokok untuk kawasan pegunungan tengah Papua. Dari Wamena, barang kebutuhan pokok didistribusikan ke sejumlah kabupaten di kawasan itu, yakni Tolikara, Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, Puncak, Puncak Jaya, Yalimo, Yahukimo, dan Nduga.
Saya bersama tim BPJN Papua memulai perjalanan dari Kota Jayapura sekitar pukul 10.00 WIT. Kami menggunakan sekitar 20 mobil double gardan atau 4WD (four wheel drive) yang mampu menjelajah medan jalan yang ekstrem.
Dari Kota Jayapura hingga memasuki Arso, ibu kota Kabupaten Keerom, kami masih melewati jalan beraspal yang cukup mulus di daerah yang berbukit-bukit. Namun, setelah enam jam perjalanan kami mulai melewati jalan yang belum beraspal. Sepanjang 230 kilometer jalan belum beraspal yang sebagian besar berada di daerah Yalimo.
Kegiatan pengaspalan dan perbaikan badan jalan dilaksanakan oleh dua kontraktor yakni, Virgana Putra Perkasa dengan Paket Elelim I sepanjang 11,50 kilometer dan PT Paesa Pasindo Engineering dengan Paket Elelim III sepanjang 11,50 kilometer.
Pekerjaan yang dilaksanakan kedua kontraktor ini meliputi kontruksi galian biasa, timbunan pilihan, galian batu, galian biasa, pembersihan lahan, dan pemasangan bronjong.
Dengan perlahan-lahan iring-iringan kendaraan kami melewati jalan yang rawan longsor.
Kami pun mulai melewati jalan yang berbatu dan berlubang di beberapa titik ruas jalan. Bahkan ada badan jalan yang longsor sekitar 10 hingga 30 sentimeter. Rusaknya jalan dipengaruhi tingginya curah hujan di wilayah tersebut, serta padatnya arus kendaraan pengangkut barang kebutuhan pokok.
Dengan perlahan-lahan iring-iringan kendaraan kami melewati jalan yang rawan longsor. Rombongan kami terdiri dari 30 hingga 50 unit mobil double gardan dan truk.
Selain harus melewati jalan berbatu, kendaraan tim kami juga sempat tertahan di salah satu ruas jalan berlumpur, sebelum memasuki Distrik Benawa sekitar pukul 17.00 WIT. Dengan bantuan tali dan tenaga dari sejumlah petugas balai, akhirnya kendaraan tersebut bisa lolos dari kubangan jalan berlumpur.
Perjalanan kami terpaksa harus terhenti pukul 21.00 WIT akibat kondisi jalan yang mulai berkabut di tengah kegelapan malam. Sepanjang ruas Jayapura-Wamena belum berpenerangan.
Saat itu, posisi kami bertepatan dengan lokasi Kamp Pekerja PT Virgana di Distrik Benawa. Untungnya, suasana rombongan penuh keakraban. Kami menikmati makan malam dan menginap di kamp yang dihuni sekitar 50 pekerja. Saya bersama tim melanjutkan perjalanan keesokan paginya.
Harapan warga
Saat melintasi jalur Jayapura ke Wamena via Trans Papua, kendaraan kami sempat berhenti di sejumlah perkampungan di Kabupaten Jayapura dan Yalimo untuk beristirahat sejenak.
Saya pun menemui sejumlah warga di sejumlah perkampungan. Mereka antusias menyambut kedatangan saya dan tim. Warga sempat menyampaikan harapannya agar setelah kehadiran Jalan Trans Papua, Pemda segera menyediakan sarana transportasi umum, seperti bus, dengan harga tiket terjangkau.
Seorang ibu yang juga saya temui, Tabitha Enembe (30) dari Distrik Airu sempat berkisah, puluhan anak di kampungnya terpaksa tidak bersekolah karena perjalanan ke sekolah sangat jauh dan melewati medan yang berat.
Hati saya sangat sedih mendengar ungkapan hati Tabitha. Di saat anak-anak di Kota Jayapura menikmati pendidikan dengan akses transportasi yang memadai, anak-anak di kampung Tabitha terpaksa putus sekolah.
Cerita lainnya dari Otniel Mege, mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jayapura yang ditemui di Distrik Benawa. Ia ditemani kedua adiknya tengah berjalan kaki menuju Kampung Gilika. Mereka berasal dari Kampung Thamaksin yang juga berada di Yalimo.
Perjalanan dari Thamaksin ke Gilika memakan waktu tiga hari. Di Gilika, terdapat lapangan terbang, tempat Otniel akan naik pesawat berbadan kecil ke Jayapura dengan biaya Rp 700.000 sekali jalan. Otniel akan melanjutkan kuliah di Jayapura, sementara kedua adiknya akan kembali berjalan kaki ke kampungnya.
Sebelum hadirnya Jalan Trans Papua, ungkap Otniel, warga tidak pernah berjalan kaki dari satu kampung ke kampung lainnya karena harus mendaki gunung dengan medan yang sangat curam dan memakan waktu hingga seminggu.
Hampir kecelakaan
Dari Benawa sekitar pukul 07.00, saya bersama tim kembali melanjutkan perjalanan menuju ibu kota Yalimo di Elelim kemudian terus menuju Wamena. Kali ini, kami melewati jalur yang lebih berat di tengah wilayah pegunungan. Perjalanan ini sangat menantang karena tidak adanya pembatas jalan di sepanjang ruas tersebut.
Meski, sejauh ini tidak ada gangguan keamanan dari kelompok kriminal bersenjata di ruas jalan tersebut. Namun, aparat kepolisian setempat dan pihak balai tetap waspada untuk mengantisipasi aksi teror kelompok yang berbasis di kawasan pegunungan Papua, seperti kelompok Egianus Kogoya di Nduga.
Kami harus melewati sejumlah ruas jalan dengan kubangan lumpur sedalam 40 hingga 60 sentimeter. Selama berjam-jam, kendaraan kami terpaksa terhenti akibat terjebak dalam lumpur.
Kami juga melewati sejumlah jalan curam dengan kemiringan sekitar 70 derajat. Ada lima titik jalan dengan kondisi seperti itu sehingga diperlukan supir yang mampu menguasai medan yang baik agar mobil tidak jatuh ke jurang.
Selain itu, juga terdapat air terjun di sejumlah lokasi tepi jalan yang berpotensi membahayakan pengendara mobil. Air dapat mengikis jalan sehingga berpotensi longsor. Kondisi diperparah dengan belum adanya saluran drainase di pinggir jalan untuk mengatasi masalah tersebut.
Proses pengerjaan Jalan Trans Papua bukanlah hal yang mudah. Jalan ini telah dikerjakan sejak zaman Presiden Soeharto oleh salah satu badan usaha milik negara, yakni Nindya Karya pada tahun 1990. Jalan Jayapura-Wamena pernah dibuka pada tahun 1998 yang kemudian dicoba dilintasi sekali oleh Balai Pelaksanaan Jalan Nasional Papua.
Sayangnya, kondisi jalan tersebut masih belum layak dilewati oleh masyarakat. Upaya perbaikan jalan agar segera fungsional pun terhenti karena terjadinya krisis moneter. Akhirnya, jalan tersebut baru dikerjakan kembali dengan serius pada tahun 2014 di bawah komando Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono.
Untuk menyambungkan kembali ruas Jayapura-Wamena, total yang harus dikerjakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat adalah sepanjang 170 kilometer.
Baca juga: Menjelajah Phuket dengan Motor Bergaya Klasik
Sekitar pukul 15.00 WIT, akhirnya saya bersama tim tiba di Elelim. Kami pun bertemu dengan Bupati Yalimo Lakius Peyon di kediamannya. Dalam pertemuan sekitar dua jam ini, Lakius menyampaikan rasa terima kasih kepada pemerintah pusat.
Walaupun jalan belum resmi dibuka, warga sudah merasakan dampak berupa turunnya harga barang-barang hingga 50 persen. Misalnya, semen yang didatangkan dari Wamena harganya mencapai Rp 600.000 per zak. Sedangkan, harga semen yang didatangkan dari Jayapura melalui jalan Trans Papua harganya hanya Rp 300.000 per zak.
Sekitar pukul 17.00 WIT, kami melanjutkan kembali perjalanan dari Elelim ke Wamena. Sepanjang perjalanan di tengah kabut, mobil kami beberapa kali melewati jalanan yang berbatu dan basah.
Kondisi jalan yang licin dan berliuk-liuk meningkatkan adrenalin kami. Di tepi jalan, menanti jurang yang sangat dalam jika tidak hati-hati berkendara. Sebelum ini, terdengar beberapa kali kasus kecelakaan mobil jatuh ke jurang dalam perjalanan dari Elelim ke Wamena.
Baca juga: Maraton Saat Meliput Maraton Ultra di Tambora
Sekitar pukul 22.00 WIT, kendaraan yang saya tumpangi bersama dua wartawan melewati ruas jalan yang terjal dan berbatu. Tiba-tiba, supir tidak dapat mengendalikan mobilnya. Mobil kami sempat tergelincir ke arah jurang
Kami hanya bisa diam dan pasrah. Untungnya, supir dengan cekatan bisa menghentikan laju mobil. Pada momen itu, saya merasakan kematian begitu dekat. Namun, inilah konsekuensi seorang wartawan, terutama di daerah dengan kondisi geografis yang sulit seperti Papua.
Akhirnya, kami berhasil tiba di Wamena sekitar pukul 00.00 WIT. Setelah beristirahat di salah satu hotel, keesokan harinya kami kembali ke Jayapura dengan pesawat.
Selama 29 jam, saya bersama tim melintasi Jalan Trans Papua dari Jayapura hingga Wamena. Dari pengalaman ini, saya sadar betapa besar komitmen pemerintah untuk membangun Papua di tengah berbagai kendala. Semuanya demi mewujudkan pembangunan yang merata di tanah Papua.