Situasi tegang di Teluk Persia dipastikan akan mengalami eskalasi saat ini. Amerika Serikat ataupun Iran tampak sama-sama bersiap menghadapi kemungkinan terburuk, yakni perang terbuka atau terbatas di Teluk Persia.
Kemungkinan terburuk itu setiap saat bisa terjadi di tengah AS ngotot menjatuhkan sanksi berat kepada Teheran untuk melumpuhkan Iran. Sebaliknya, Teheran menolak keras melaksanakan 12 syarat yang diminta AS untuk normalisasi hubungan mereka. Di antara 12 syarat itu adalah Iran harus menghentikan mengembangkan teknologi rudal balistik, dan Iran harus mundur dari Suriah, serta menghentikan bantuan terhadap kelompok Al Houthi di Yaman.
Presiden AS Donald Trump bisa saja sedang menerapkan skenario Irak terhadap Iran, yakni dilemahkan dulu melalui sanksi dan kemudian menggelar invasi militer untuk menumbangkan rezim para Mullah di Teheran.
Skenario itu telah dilakukan AS terhadap Irak pada 1990-an dengan melemahkan Irak melalui berbagai sanksi, lalu menginvasi untuk menumbangkan Saddam Hussein tahun 2003.
Skenario ini pasti didukung sekutu AS yang sekaligus musuh bebuyutan Iran di Timur Tengah, seperti Israel, Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Bahrain.
Manuver AS
Upaya untuk menerapkan skenario itu cukup jelas pada era Trump. Setelah memangku jabatan presiden, Januari 2017, Trump langsung memberi isyarat membatalkan kesepakatan nuklir Iran yang disebutnya sebagai kesepakatan terburuk. Isyarat itu terwujud pada Mei 2018 saat Trump mengumumkan penarikan diri sepihak AS dari kesepakatan itu, lalu disusul dengan kembali menjatuhkan sanksi kepada Teheran.
Trump lalu mengirim Menlu AS Mike Pompeo ke Timur Tengah pada Januari lalu untuk membangun aliansi Arab moderat melawan Iran. AS juga menggelar konferensi internasional di Warsawa, Polandia, pada Februari lalu dengan agenda utama membangun aliansi internasional melawan Iran.
Beberapa analis bahkan mulai memprediksi, Trump akan melancarkan perang terhadap Iran sebelum pemilu presiden AS tahun 2020 untuk mendongkrak elektabilitasnya, atau pada periode kedua jabatan presiden, apabila ia memenangi pemilu. Itu pun—perang terjadi—jika tercapai kesepakatan, Arab Saudi, UEA, dan Israel menanggung sebagian besar biaya perang. Trump yang berlatar belakang pengusaha tidak mau lagi AS menanggung sendiri biaya perang.
Di sisi lain, menegaskan sikapnya, AS, Sabtu (11/5/2019), mengerahkan kapal serbu amfibi USS Arlington serta sistem antirudal Patriot untuk meningkatkan tekanan AS atas Iran. Perkuatan itu mendukung kehadiran gugus tugas pengebom B-52 dan Kapal Induk Abraham Lincoln yang telah berada di kawasan Teluk.
Pentagon mengatakan, pengiriman tersebut ”sebagai tanggapan atas indikasi kesiapan Iran yang meningkat untuk melakukan operasi ofensif atas pasukan AS dan kepentingan AS”. ”Departemen Pertahanan terus memantau dengan cermat kegiatan rezim Iran, militer, dan proksi mereka,” kata Pentagon.
Iran tidak menanggapi langkah terbaru AS tersebut.
Lawan berat
Skenario Irak tidak akan mudah diterapkan. AS kini menghadapi musuh besar dan sulit, yakni Iran. Jika Trump ngotot menerapkan skenario Irak, harganya sangat mahal. AS dengan menjatuhkan rezim Saddam Hussein telah membayar harga mahal, yakni berandil besar atas kelahiran kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Trump bisa saja menumbangkan rezim para Mullah di Teheran, tetapi dipastikan harga yang dibayar lebih mahal.
Rezim para Mullah tidak berdiri sendiri. Mereka terintegrasi dengan jaringan politik dan militer Syiah yang dikenal dengan nama Bulan Sabit Syiah dan tersebar di beberapa negara, seperti Irak, Suriah, Lebanon, Yaman, dan Afghanistan.
Komandan pasukan AS untuk wilayah tengah, meliputi kawasan Timur Tengah, Jenderal Kenneth F McKenzie cemas atas gerakan Iran dan loyalisnya di Timur Tengah saat ini. Ia mengatakan, ada 193.000 anggota milisi Hashid Shaabi, loyalis Iran di Irak, 18.000 anggota militer aktif Hezbollah, dan 20.000 anggota milisi-milisi Syiah di Irak, serta 100.000 personel Al Houthi di Yaman.
Jika perang terbuka AS-Iran terjadi, konflik tidak hanya akan berkecamuk di Iran dan Teluk Persia. Perang bakal menjalar ke Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman. Bisa dipastikan loyalis Iran di negara-negara itu akan bergerilya atau mengebom basis AS dan sekutunya.
Ingat serangan bunuh diri dengan bom mobil oleh anggota Hezbollah atas barak marinir AS di Beirut, Lebanon, pada 23 Oktober 1983, yang menewaskan 241 anggota Marinir AS. Ingat pula serangan loyalis Hezbollah atas kamp militer AS di Khobar, Arab Saudi, tahun 1996 yang menewaskan 19 anggota militer AS.
Itulah yang membuat Menlu AS Mike Pompeo mendadak mengunjungi Baghdad, Selasa (7/5/2019) lalu, untuk memperingatkan pejabat tinggi Irak tentang kemungkinan loyalis Iran di Irak menyerang sasaran AS di Irak.
Iran akan berupaya menutup Selat Hormuz untuk menghentikan suplai minyak ke mancanegara. Sebanyak 20 persen suplai minyak dunia melalui Selat Hormuz. Iran pernah gagal menutup Hormuz era perang Iran-Irak tahun 1980-an. Namun, Iran kini memiliki rudal balistik dan pesawat tanpa awak canggih yang bisa mengancam lalu lintas laut di Selat Hormuz dan Teluk Persia tanpa angkatan laut Iran berlaga langsung di selat tersebut.
Kelompok Al Houthi di Yaman juga akan berusaha menutup atau mengganggu Bab al Mandeb bagi pelayaran internasional di laut Merah. Hampir 40 persen suplai minyak ke Eropa dan AS dari kawasan Teluk yang diangkut kapal tanker melalui Bab al Mandeb.
Belum lagi jika Iran berkoalisi dengan NIIS dan Taliban di Afghanistan untuk membangun koalisi luas melawan AS. Karena itu, perang melawan Iran sangat tidak mudah. (AFP/JOS)