Masyarakat Sumba di Nusa Tenggara Timur masih memegang erat tradisi pemberian belis atau mas kawin berupa hewan ternak, kain tenun, serta perhiasan. Di balik mahalnya pemberian belis, ada sejumlah nilai-nilai kearifan lokal yang selalu mereka jaga, salah satunya mencegah perceraian.
Seekor kuda tertambat di pekarangan kebun Yacob Larapata (59), warga Desa Lambanapu, Kecamatan Kambera, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, pekarangan kebun Yacob Lanapata (59), warga Desa Lambanapu, Kecamatan Kambera, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Selasa (30/4/2019). Di belakang rumahnya, beberapa ekor anak babi berlarian di sekeliling induknya.
Hampir setiap keluarga di Sumba Timur memiliki hewan-hewan piaraan, mulai dari kuda, kerbau, babi, sapi, hingga ayam. Ternak-ternak tersebut sebagian besar dipelihara bukan untuk dikonsumsi sendiri, melainkan untuk persiapan diberikan jika sewaktu-waktu keluarga ataupun kerabat mereka menikah atau meninggal.
”Berapa banyak kuda, kerbau, atau babi yang dibutuhkan untuk belis tergantung permintaan dari pihak mempelai perempuan, bisa jadi 50 ekor, 80 ekor, 100 ekor, dan sebagainya. Belis sama sekali bukan untuk mencari keuntungan, melainkan untuk mengikat tali kekerabatan,” ucapnya.
Pemberian belis tidak harus dilunasi sepenuhnya pada saat perhelatan pernikahan, tetapi bisa dilanjutkan sesudahnya. Yang terpenting adalah komitmen dari pihak pengantin laki-laki untuk memberikan belis dalam jumlah tertentu.
Penentuan jumlah belis wajib dimusyawarahkan oleh seluruh perwakilan kerabat keluarga. Tak boleh ada satu keluarga pun yang terlewat.
Cegah perceraian
Ruben Ruta Pulung Tana (59), tokoh di Lambanapu, mengatakan, dalam perkawinan adat di Sumba, pemberian belis adalah wajib hukumnya. Mekanisme adat ini terus-menerus dipertahankan selain untuk mempererat ikatan kekerabatan, juga untuk mengantisipasi kasus perceraian.
”Jarang sekali ada perceraian di sini. Di Sumba, perceraian sangat tabu sekali, sangat berbeda dengan kebiasaan kawin cerai yang biasa dipertontonkan di televisi,” kata Ruben.
Begitu satu keluarga mempelai perempuan menerima belis dari keluarga mempelai laki-laki, suatu saat nanti keluarga tersebut harus bersiap-siap memberikan kembali hewan-hewan ternak kepada kerabat-kerabat keluarga lain yang menggelar pernikahan. Begitu seterusnya di antara mereka saling bergantian menyumbangkan hewan-hewan ternak untuk keperluan belis.
Marselinus Ngau Roti, seorang wunang atau juru bicara pernikahan, menyebut belis sebagai ”utang yang tak pernah tertagih dan bayar yang tak pernah terlunasi”. Ungkapan ini memiliki makna bahwa belis dilestarikan hingga sekarang untuk menjaga kekerabatan di Sumba agar tidak pernah terputus.
Oleh karena itu, Marselinus sendiri tidak sepakat jika belis dipahami secara dangkal sebagai ”beli putus” dengan menempatkan perempuan semata-mata sebagai obyek. Pemahaman itu sama sekali salah karena dengan memberikan belis dalam jumlah banyak, maka harkat dan martabat pengantin perempuan beserta keluarganya diangkat dan ikatan persaudaraan antarseluruh keluarga semakin erat dengan saling memberikan sumbangan satu sama lain.
Penghormatan terhadap posisi perempuan ditampakkan antara lain dalam tata arsitektur perumahan adat Sumba. Di rumah adat Sumba, posisi ruangan kaum perempuan ditempatkan pada bagian rumah yang paling tinggi daripada kaum laki-laki.
”Saat pihak mempelai perempuan meminta belis, mereka menyebutkan yang meminta adalah ibu, bukan bapak. Perempuan mendapatkan posisi khusus di Sumba,” kata Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sumba Timur Yosias.
Tingkat perceraian rendah
Seperti tujuan semula dari praktik belis, tingkat perceraian di Sumba memang tergolong rendah jika dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Di Sumba Timur, misalnya, Pengadilan Agama Waingapu pada 2018 hanya memutuskan sebanyak 39 perkara dengan 21 perkara di antaranya adalah kasus perceraian. Sejak Januari hingga April 2019 ini, Pengadilan Agama Waingapu baru memutuskan 15 perkara dengan 10 perkara di antaranya adalah perceraian.
Jika ditelusuri lebih lanjut, banyak di antara penggugat ataupun tergugat dalam kasus-kasus perceraian tersebut bukanlah orang asli Sumba, melainkan pendatang dari luar pulau. Dengan demikian, pengaruh praktis adat istiadat belis dalam upaya mencegah perceraian sangatlah signifikan.
Terpisah dari nilai-nilai kearifan lokal di dalamnya, muncul pula sejumlah kritik terhadap praktik-praktik belis, antara lain terkait pengaruhnya terhadap beban ekonomi masyarakat dan potensi kekerasan terhadap perempuan akibat pemahaman yang salah tentang belis. Penggalian terus-menerus tentang nilai-nilai budaya serta peningkatan pendidikan akan berpengaruh besar terhadap terjaganya marwah kearifan-kearifan lokal budaya di Sumba.