Doha
Keberadaan barisan gedung pencakar langit ikonik yang menjulang tinggi di Doha menampakkan sisi modern kota itu kepada dunia. Namun, ibu kota Qatar itu masih mempertahankan sisi-sisi tradisional yang menawan. Tidak hanya itu, petualangan yang mengasyikkan siap menyambut siapa pun yang berpelesir ke Doha!
Terletak di pesisir timur semenanjung Qatar, kota dengan populasi sekitar 1,4 juta jiwa itu bisa dikunjungi dengan mudah oleh warga negara Indonesia. Sebab, otoritas Qatar telah menerapkan program bebas visa bagi 80 negara, termasuk Indonesia. Indonesia digolongkan dalam negara dengan masa bebas visa 30 hari.
Saya berkesempatan transit di Doha setelah rangkaian Familiarization Trip ke Bosnia-Herzegovina yang diselenggarakan akhir Februari hingga awal Maret lalu berakhir. Satu penulis dan tiga wartawan, termasuk Kompas, memenuhi undangan Qatar Airways dan Kedutaan Besar Bosnia-Herzegovina di Indonesia.
Pada Minggu (3/3/2019), kami menempuh penerbangan sekitar lima jam dari Bandar Udara Internasional Sarajevo, Bosnia-Herzegovina, menuju Bandar Udara Internasional Hamad, Doha, Qatar. Tiba di Doha pukul 19.15 waktu setempat, kami disambut temperatur sekitar 18 derajat celsius.
Pukul 22.00
Doha di malam hari
Setelah beristirahat sejenak di Hotel Marriott Marquis, sebagian dari rombongan memutuskan menelusuri Doha di malam hari. Dari penginapan, kami berjalan kaki mengelilingi kota, mulai dari Jalan Omar al-Mukhtar hingga Jalan Al-Corniche.
Kawasan itu merupakan pusat pemerintahan, ditandai dengan keberadaan sejumlah kantor kementerian dan kedutaan besar sejumlah negara.
Kilau cahaya menemani sepanjang perjalanan kami. Cahaya-cahaya itu bukan hanya berasal dari lampu penerangan jalan, melainkan juga terpancar dari gedung-gedung pencakar langit, seperti Burj Doha atau Menara Doha dan Menara Tornado di kawasan West Bay (Teluk Barat).
Sekujur tubuh Menara Doha, misalnya, terus memancarkan cahaya oranye. Gedung-gedung pencakar langit di area tersebut memberi kesan futuristik.
Hal lain yang menarik, bagian luar mayoritas gedung di kawasan West Bay itu dihiasi gambar pemimpin Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani. Salah satu media nasional setempat, The Peninsula, menyebutkan, gambar ikonik yang banyak dijumpai di berbagai sudut kota itu melambangkan nasionalisme, persatuan dan kesatuan untuk Qatar serta rakyatnya.
Kami menghentikan langkah di sebuah taman di Al-Corniche. Meski sudah larut malam, tempat publik itu masih ramai dengan orang-orang yang berbincang sambil menikmati secangkir kopi di kafe taman. Sebagian lainnya duduk santai menikmati suasana malam.
Jika ingin menikmati keindahan Doha dengan cara berbeda, ada baiknya naik kapal tradisional Arab yang disebut dhow. Kapal tradisional itu akan membawa Anda menyusuri Teluk Persia untuk menyaksikan panorama Doha diiringi lagu-lagu Timur Tengah.
Pukul 08.45
Safari di Gurun Khor al-Udeid
Pagi harinya, kami bergeser ke Khor al-Udeid, gurun yang juga dikenal sebagai ”Inland Sea” yang terletak sekitar 94 kilometer tenggara dari Doha. Setelah menempuh perjalanan sekitar 1 jam 30 menit dengan mobil, pasir membentang sejauh mata memandang. Pengukur suhu di dasbor mobil yang kami naiki menunjukkan angka 21 derajat celsius.
Sopir kami, Ajith Wijenayaka (35) dari Discover Qatar, menghentikan laju mobil Land Cruiser untuk mengurangi tekanan angin ban kendaraan. Ban dikempiskan untuk menyesuaikan dengan kontur medan pasir yang lembek dan licin.
Setelah itu, Ajith mengingatkan kami untuk mengenakan sabuk pengaman. ”Sebenarnya ini hari pertama saya bekerja sebagai sopir di safari ini,” celetuk Ajith sambil melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi.
Mobil pun mulai terguncang, membuat seluruh penumpang berteriak, ”Tolooong!” Sang sopir asal Sri Lanka itu hanya tersenyum melihat reaksi kliennya.
Mobil menyusuri gurun tanpa arah yang pasti. Tidak ada lintasan khusus yang mesti diikuti sopir. Mereka lebih menggunakan naluri masing-masing. Selama lebih dari satu jam, mobil meliuk-liuk sesuka hati. Terkadang mobil mendadak berbelok menuruni medan yang curam.
Meski terkesan menyeramkan, safari di gurun ini aman, bahkan untuk anak-anak sekalipun. Tatebe (39), turis asal Tokyo, Jepang, menjajal petualangan ini bersama istri dan kedua putranya, berusia 7 dan 9 tahun. Ia sengaja merahasiakan detail terkait safari ini agar anak-anaknya terkejut. ”Anak-anakku ternyata sangat senang,” ujarnya.
Kami menepi di pantai yang bersentuhan dengan laut Teluk Persia. Dari sana tampak juga perbatasan dengan Arab Saudi yang berada di seberang.
Pukul 13.00
Menengok burung elang
Kembali ke pusat kota Doha, kami menuju Souq Waqif, yang mesti ditempuh sekitar 88 kilometer dari ”Inland Sea” selama 1,5 jam. Souq Waqif merupakan lokasi yang tepat untuk bersentuhan dengan kultur Qatar.
Menyusuri labirin lorong kecil di Souq Waqif memberikan cita rasa otentik perdagangan tradisional. Lorong-lorong berbatu, lentera tua, dan pintu kayu besar setia menemani penelusuran kami di pasar tradisional itu. Setiap sisi gang diisi toko-toko kecil yang menawarkan berbagai barang khas Timur Tengah, mulai dari rempah-rempah, perhiasan, parfum, kerajinan tangan, hingga suvenir.
Pasar tradisional itu juga ramai dengan berbagai rumah makan tradisional dan kafe yang menyajikan hidangan dari berbagai belahan dunia, mulai dari Asia, Timur Tengah, hingga Afrika Utara. Kami pun mencicipi kuliner khas Lebanon di restoran Al-Terrace.
Di salah satu sudut Souq Waqif terdapat Falcon Souq, pasar yang dikhususkan untuk penjualan elang. Di Qatar, elang begitu diminati. Secara tradisional, elang digunakan untuk berburu. Saat ini, kepemilikan elang seolah-olah menjadi obsesi nasional di Qatar.
Memasuki salah satu toko, seekor burung elang yang diikat terdiam seolah-olah menanti pembelinya. Saat itu, hanya tersisa satu elang. Elang-elang di toko itu telah habis karena musim berburu tengah berlangsung. Musim berburu biasanya dimulai September hingga Maret.
”Elang adalah bisnis serius di Qatar. Satu elang saja bisa dihargai ribuan dollar Amerika Serikat,” kata pemandu kami dari Discover Qatar, Yegor Zhukovsky.
Keseriusan itu jelas terlihat dengan berdirinya rumah sakit khusus elang, Souq Waqif Falcon Hospital, yang terletak di kawasan Falcon Souq itu. Rumah sakit tersebut dilengkapi fasilitas lengkap, seperti mesin sinar X, ruang operasi, dan klinik patologi. Saat itu, ada seekor burung yang tengah menunggu diobati di depan instalasi gawat darurat. Di dalam rumah sakit terdapat pula museum terkait elang.
Meski Souq Waqif sudah ramai dikunjungi sejak siang hari, Yegor menyarakan, ”Waktu paling tepat bagi wisatawan mengunjungi Souq Waqif ialah mulai pukul 19.00-23.00 saat sedang hidup-hidupnya.”
Pukul 16.00
Bandara Internasional Hamad
Terletak 14 kilometer dari Souq Waqif, kami tiba di Bandar Udara Internasional Hamad hanya dalam waktu 13 menit. Meski akan segera terbang meninggalkan Doha, bukan berarti petualangan di Qatar usai di sini. Di bandara yang dibuka April 2014 itu, masih banyak kegiatan yang dilakukan.
Bandara ini begitu sibuk. Manusia tak henti-hentinya berlalu lalang. Sebab, bandara itu melayani lebih dari 150 tujuan di berbagai belahan dunia. Di tengah keramaian, ada satu atraksi yang paling menonjol, yakni boneka raksasa yang diberi nama Untitled Lamp Bear.
Boneka beruang kuning yang terbuat dari perunggu setinggi 23 kaki itu merupakan karya seniman asal Swiss, Urs Fischer. Banyak turis yang menyempatkan berswafoto di hadapan boneka itu.
Petualangan kurang dari 24 jam di Doha berakhir sudah. Pengumuman dari pengeras suara mengharuskan kami segera naik pesawat menuju Jakarta.