Potensi hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kayu. Sayangnya, potensi ini belum banyak dimanfaatkan.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Potensi hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kayu. Sayangnya, potensi ini belum banyak dimanfaatkan. Apabila dimanfaatkan dengan lestari, hasil hutan bukan kayu ini akan membuka perekonomian warga sekitar kawasan hutan serta turut meningkatkan pendapatan bagi negara.
Hingga kini baru 14 izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang diberikan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bertekad hal ini akan digenjot sehingga HHBK beserta jasa lingkungan dari hutan bisa menghidupkan kesejahteraan warga.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bertekad hal ini akan digenjot sehingga HHBK beserta jasa lingkungan dari hutan bisa menghidupkan kesejahteraan warga.
”HHBK dan jasling (jasa lingkungan) dapat menjadi salah satu industri multibisnis kehutanan yang terintegrasi dari hulu sampai hilir dan menjadi salah satu tulang punggung baru perekonomian Indonesia dengan tetap melibatkan masyarakat sebagai pelaku utama,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Jumat (10/5/2019), di Jakarta.
Ketika itu, ia mencanangkan kick off Pengembangan Multiusaha Hasil Hutan Bukan Kayu dan Jasa Lingkungan. Selain pemanfaatan HHBK, pemasaran produk menjadi pekerjaan rumah yang membutuhkan pendampingan dan pembinaan.
Dengan memberi ruang kelola dalam kawasan hutan, produksi HHBK menjadi daya tarik bagi pembangunan ekonomi rakyat di perdesaan karena memiliki sifat padat karya dan dapat menciptakan industri kreatif rakyat. Beberapa contoh HHBK di antaranya getah pinus, getah karet, jernang, kemenyan, daun kayu putih, asam, gaharu, damar, sagu, kemiri, rotan, bambu, dan madu.
Siti mengatakan, HHBK pada prinsipnya dapat dimanfaatkan pada semua kawasan hutan, yaitu hutan lindung, hutan produksi, dan kawasan hutan konservasi (kecuali pada cagar alam, zona rimba dan zona inti pada taman nasional). Ia meminta jajarannya untuk mempermudah perizinan sehingga investasi masuk dan bekerja sama dengan masyarakat.
Perizinan dipersingkat
Secara terpisah, Dirjen PDASHL Hilman Nugroho mengatakan, perizinan akan dipersingkat di tingkat gubernur. ”Nanti pasti mudah. Kalau barangnya ada, ada gula ada semut. Ada madunya, pasti pasar datang sendiri,” katanya.
Ia memberi gambaran potensi HHBK dan jasa lingkungan itu dari sisi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Misalnya, PNBP dari pemanfaatan kayu mencapai Rp 3,5 triliun.
Hasil hutan dari kayu tersebut ditaksir baru 5 persen dari potensi hutan yang 95 persen berada pada nilai HHBK dan jasa lingkungan. Namun, ditekankannya, hasil HHBK sebanyak 95 persen tersebut tak akan tercipta tanpa kelestarian pepohonan yang nilainya hanya 5 persen.
Hasil HHBK sebanyak 95 persen tersebut tak akan tercipta tanpa kelestarian pepohonan yang nilainya hanya 5 persen.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto pun sepakat dengan potensi HHBK tersebut. Namun, belum banyak pelaku usaha kehutanan yang melirik HHBK di luar Jawa karena masih membutuhkan keyakinan pemanfaatan HHBK ini bisa mendatangkan hasil maksimal dan memiliki pasar.
Namun, untuk hutan di Jawa, ia mengatakan, Perhutani telah memimpin dengan pemanfaatan wisata dan pengolahan getah pinus menjadi gondorukem dan terpentin. Ia berharap prinsip yang dikerjakan Perhutani ini bisa dimanfaatkan pemegang IUPHH-Hutan Alam dan IUPHH-Hutan Tanaman.
Di sisi lain, pemanfaatan HHBK oleh masyarakat sangat terbuka di hutan-hutan kemitraan yang ”diberikan” dari 20 persen luasan HTI. Hutan kemitraan tersebut bisa ditanami HHBK dan campuran dengan tanaman pokok.
Namun, ia meminta pemegang izin kehutanan yang bermitra dengan masyarakat yang mengusahakan HHBK tersebut agar diberikan insentif pada areal yang dikelola masyarakat. Saat ini, provisi sumber daya hutan (PSDH) atau pungutan hutan tersebut ditagihkan kepada pemegang izin, padahal sebagian area dikelola masyarakat dengan HHBK. Ia berharap potongan pungutan PSDH tersebut setidaknya 50 persen.