Setelah hari pemungutan suara Pemilu 2019, yakni 17 April, penyebaran konten hoaks atau informasi bohong mengenai penyelenggaraan pemilu menjadi lebih dominan. Sejak 17 April hingga 12 Mei terdapat 41 informasi bohong yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu 2019.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah hari pemungutan suara Pemilu 2019, yakni 17 April, penyebaran konten hoaks atau informasi bohong mengenai penyelenggaraan pemilu menjadi lebih dominan. Hal itu dinilai sebagai bentuk delegitimasi penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan Komisi Pemilihan Umum.
Berdasarkan data Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) yang dipublikasikan di halaman Facebook Forum Anti-Fitnah, Hasut dan Hoax (FAFHH) sejak 17 April hingga 12 Mei terdapat 41 informasi bohong yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu 2019. Jumlah itu merupakan bagian dari 57 konten hoaks bernuansa politik yang ditemukan dalam kurun waktu itu.
Selama bulan April terdapat 31 hoaks mengenai Pemilu 2019. Mayoritas narasi hoaks berkaitan dengan hasil hitung cepat dan klaim temuan kecurangan dalam proses pemungutan suara. Sementara itu, hingga pekan kedua Mei, tercatat telah menyebar 10 hoaks. Sebagian kabar bohong berkaitan dengan penyebab meninggalnya penyelenggara pemilu yang bertugas di tempat pemungutan suara (TPS).
Menurut Ketua Komite Litbang Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) Santi Indra Astuti, kehadiran sejumlah hoaks yang menyebarkan informasi bohong terkait penyelenggaraan pemilu merupakan upaya untuk mendelegitimasi Pemilu 2019. Selain itu, hoaks yang menyebar di media sosial dan aplikasi pesan instan itu, lanjut Santi, juga bertujuan menggerakkan masyarakat untuk melakukan aksi massa pada 22 Mei mendatang atau hari penetapan hasil Pemilu 2019.
Gerakan kontra narasi di media sosial juga sudah tidak cukup. Apalagi, sudah jelas bahwa penyebaran hoaks melalui dark social, seperti WhatsApp, sangat efektif dan lebih lama terdeteksi.
Atas dasar itu, Santi menambahkan, semua pemangku kepentingan dan masyarakat sipil harus lebih aktif turun ke masyarakat akar rumput. Langkah itu untuk memberikan pemahaman terkait hoaks yang sudah menyebar. Selain itu, juga perlu untuk memberikan edukasi kepada masyarakat agar lebih peka dan memahami kehadiran kabar bohong di media sosial.
Dalam satu pekan terakhir, tim Direktorat Tindak Pidana Badan Reserse Kriminal Polri telah menangkap dua penyebar hoaks terkait pemilu. Pertama, EY yang ditangkap di wilayah Tangerang Selatan, Banten, karena menyebarkan berita bohong terkait penyerangan saksi Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Amalatu, Maluku.
Kedua, BK yang ditangkap di Lampung Selatan, Lampung. Ia diduga menyebarkan hoaks terkait penggunaan formulir C1 palsu dalam proses situng Pemilu 2019.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo menekankan, pihaknya terus melakukan patroli siber untuk mengantisipasi kehadiran akun dan situs penyebar hoaks. Untuk itu, tim penyidik telah melakukan pemetaan untuk mengidentifikasi akun-akun yang dianggap telah melanggar hukum.
”Setelah alat bukti cukup dan proses secara ilmiah dilakukan, tim penyidik akan melakukan upaya penegakan hukum dan penahanan jika diperlukan. Sudah ada beberapa kasus yang tengah dipantau tim Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim,” tutur Dedi.
Dedi memastikan, sebagai langkah antisipasi, Polri berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menutup akun dan situs yang memproduksi dan menyebarkan informasi bohong.