Jalan Musik Rendy
Dari Kota Surabaya di Jawa Timur, Rendy Pandugo (34) mencoba merengkuh Jakarta. Pelan tetapi pasti. Ia gigih mengetuk pintu-pintu yang tertutup rapat demi mimpinya di jalan musik.
Sepuluh tahun lalu, tepatnya tahun 2009, Rendy memulai kariernya di dunia musik Tanah Air. Kala itu, Rendy bersama sahabatnya, Iddo Pradananto, membentuk duo beraliran pop bernama Di-Da. Rendy memainkan gitar, sementara Iddo memainkan bas. Sambil memainkan alat musik, keduanya menyanyi.
Dua tahun berselang, Di-Da digandeng salah satu label Tanah Air, merilis album Duografy. Sayang, saat itu, angin industri musik di Tanah Air tengah bertiup ke arah lain. Kehadiran Di-Da dilibas
boy band yang menjamur dan segera mencuri perhatian industri musik di negeri ini. Mimpi Rendy bersama Di-Da pun kandas.
”Gue datang ke Jakarta, ceprot tiba-tiba punya album. Tetapi, ternyata jadi musisi itu enggak segampang itu, elopunya project album, di-signed sama label, lalu tinggal jalan, eloterima duit, manggung. Enggak segampang itu,” tutur Rendy, Jumat (3/5/2019) sore, saat bertandang ke kantor redaksi harian Kompas di kawasan Palmerah, Jakarta.
Rendy tampak santai dengan jins, kaus oblong biru tua, dan sepatu outdoor yang dikenakannya. Sore melarut cepat bersama obrolan Rendy.
Menurut Rendy, kala itu dia memang belum memahami segala tantangan di jalan musik. Kehidupannya di Surabaya jauh dari itu. Dia tak tahu seperti apa kehidupan sebagai seorang musisi di Jakarta, juga tak tahu harus melakukan apa demi mengejar mimpinya sebagai musisi.
”Sampai sini (Jakarta), oh, begini. Musisi tuh enggak bisa cuma diam doang, mengandalkan label, punya album. Enggak bisa pride itu elobawa ke mana-mana,” ujar Rendy.
”Elotetap harus kerja keras, gimana caranya lagu elodidengar orang. Saat itulah gue merasa terpuruk. Wow, ternyata enggak segampang itu.”
Meski terpuruk, dia mencoba terus menghidupi mimpinya. Dia menjajal Soundcloud, platform distribusi suara daring yang memungkinkan penggunanya mengunggah rekaman suara untuk unjuk kemampuan. Soundcloud ibarat portofolio seorang musisi dan penyanyi.
Di akun Soundcloud miliknya, Rendy tampil sebagai penyanyi sekaligus pemain gitar. Dia membawakan lagu-lagu populer milik The Beatles, Sam Smith, Ed Sheeran, hingga John Mayer.
”Soundcloud jadi sarana gue karena gue merasa belum maksimal, harus latih vokal, untuk push dan lihat progress gue seperti apa,” kata Rendy.
Belakangan Rendy dijuluki John Mayer ala Indonesia karena karakter suara yang sangat mirip dengan musisi asal Amerika itu. John Mayer bagi Rendy kebetulan memang salah satu sosok yang memberi inspirasi.
Titik terendah
Tahun-tahun pertamanya berkarier sebagai musisi di Jakarta itu dicatat Rendy sebagai masa suram. Rendy bahkan merasa itulah titik terendah dalam hidupnya. ”Tahun 2014 sebenarnya gue hampir balik ke Surabaya, milih kerja kantoran karena I have no money. Gue cuma punya uang Rp 30.000 di kantong. Enggak pernah gue mengalami ini,” kata Rendy yang sempat tebersit untuk bekerja di sebuah restoran cepat saji.
Sang istri, Mia Sesaria, yang kala itu telah hijrah dari Surabaya demi mendampingi Rendy tak protes. Dia mendukung apa pun keputusan Rendy. Mau kantoran tak masalah, bertahan di jalan musik pun tak apa.
”Tapi dia bilang, kan, mimpi kamu enggak cuma begini aja. Kalau memang ada yang belum dilakukan, ya, lakukan,” kata Rendy mengutip kalimat Mia. Dalam banyak hal, perempuan yang dipacari Rendy sejak kelas 2 SMA ini adalah pendukung terbesar Rendy, selain kedua orangtuanya.
Rendy pun lantas menimbang ulang.
”Gue mikir lagi, ternyata gue belum maksimal. Gue masih introvert, masih banyak menghabiskan waktu di kamar, masih berkutat di situ-situ aja,” kata Rendy. Dia bertekad mulai banyak tampil demi menambah jam terbang dan memperbanyak jaringan pertemanan.
”Jadi gue nyanyi empat jam di sebuah mal di Kemang. Bayaran Rp 450.000, tetapi gue senang banget. Gue dapat kerjaan itu selama enam bulan. Dalam seminggu gue bisa nyanyi 3-4 kali,” kata Rendy. Untuk sesaat kesulitan keuangan teratasi. Di satu sisi, kemampuan bermusiknya pun semakin terasah.
Pucuk dicinta ulam tiba. Sony Music Indonesia yang melihat bakat Rendy melalui akun Soundcloud miliknya ”melamar” Rendy. Tetapi kala itu Rendy terus menolak. Dia masih sakit hati dengan industri musik arus utama yang ia rasa hanya melulu mengikuti pasar.
”Menurut gue, mereka itu cuma bikin template. Masyarakat mau, elobikin. Bukan elobikin agar bisa ciptakan pasar. Gue mau bikin album bahasa Inggris. Kalau enggak bisa provide, ya, sudah. Jangan nawarin kalau enggak bisa,” kata Rendy.
Dua kali menolak tawaran, ketiga kalinya Rendy pun luluh. Ini karena Sony setuju berkompromi dengan keinginan Rendy. Mereka sepakat membuat album dalam bahasa Indonesia (60 persen) dan bahasa Inggris (40 persen).
Tak dinyana, akhirnya justru mereka sepakat membuat album penuh berbahasa Inggris. ”Itu alam semesta dan Yang Maha Kuasa emang yang merestui,” kata Rendy yang merilis album The Journey pada 2017 bersama Sony.
Sejak itu, jalan Rendy di dunia musik semakin terbuka lebar. Sepak terjangnya di dunia musik bahkan kemudian mengantarnya menyabet penghargaanIndonesian Choice Award for Male Singer of the Year 2018.
Kolaborasi dengan penyanyi Afgan Syahreza dan Isyana Sarasvati dalam lagu ”Heaven” pun menyabet penghargaan Anugerah Musik Indonesia kategori Karya Produksi Urban Terbaik.
Berevolusi
Toh, mimpinya terus bertumbuh. Rendy masih ingin mengejar banyak hal. ”Sekarang gue lihat banyak talent baru lagi, baru muncul, baru ter-ekspose lagi. Gue pengin banget kolaborasi sama mereka,” kata Rendy.
Di tengah kesibukan pentasnya yang padat, Rendy terus melangkah mempersiapkan album keduanya. ”Dari sisi sound, mungkin ada sedikit yang lebih modern dari sebelumnya. Ada juga yang lebih folk, ada lagi yang lebih dark. Gue mencoba meramu antara berkarya jujur dan mencoba keep up dengan yang sekarang terjadi di industri di sini,” kata penggemar fotografi ini.
Rendy menegaskan, idealisme dalam bermusik tetap dia pegang, tetapi tak harus kaku. Sebagai musisi, dia harus terus berevolusi agar tak ketinggalan zaman dan bisa bersaing. ”Jadi, kuncinya menyesuaikan supaya relevan (dengan zaman),” ujar Rendy yang juga bercita-cita memiliki sebuah taman nasional karena kecintaannya pada hewan.
Dia sangat sadar, perjuangan mewujudkan mimpinya belum usai. Cobaan juga terus ada. Kata dia, ”Dari yang gue pelajari, titik terendah itu tidak selalu ada pada saat eloberada di kondisi susah secara finansial.
”Yang gue alami, eloada di titik terendah itu saat elo stuck, enggak tahu harus ngapain dan create sesuatu dengan jujur. Dan itu bisa terjadi kapan aja. Titik terendah kita akan selalu datang setiap saat.”
Rendy tak gentar. Dia punya cara untuk menghadapi titik-titik terendah yang datang menghampirinya: selalu melakukan segala sesuatu semaksimal mungkin.
”Apa yang bisa dikerahkan. Selama masih bisa jalan, napas elo masih ada, selama elo punya teman-teman dan keluarga yang support dengan apa yang elo punya sekarang, maksimalkan itu. Dan jangan lupa berdoa, itu penting,” begitu kiatnya.
Apa pun yang terjadi, Rendy bertekad untuk tetap berkarya dengan jujur. ”Gue pengin dikenal sebagai Rendy. Rendy yang simple, enggak basa-basi, dan tetap jujur dalam berkarya.”
Rendy Pandugo
Lahir: Medan, Sumatera Utara, 7 Mei 1985
Istri: Mia Sesaria
Anak: Dara Nassa Kiyandra (1,5)
Pendidikan:
- SD Harapan 2 Medan, Sumatera Utara
- SMP Negeri 12 Surabaya, Jawa Timur
- SMA Negeri 2 Surabaya, Jawa Timur
- Universitas Airlangga, Surabaya, Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi
Album: The Journey (2017)
Penghargaan:
- Indonesian Choice Award for Male Singer of the Year 2018
- Karya Produksi Urban Terbaik Anugerah Musik
- Indonesia 2019 untuk ”Heaven” bersama Afgan dan Isyana Sarasvati