Pada 2018, misalnya, KPK telah menetapkan 261 orang sebagai tersangka dengan jumlah kasus sebanyak 57.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kualitas peradilan dan penegakan hukum terkait dengan tindak pidana korupsi Indonesia masih terbilang lemah, bahkan merosot, dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu dinilai perlu menjadi bahan evaluasi bagi kinerja lembaga penegak hukum antirasuah, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi, selama periode 2015-2019.
Penilaian tersebut diungkapkan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII) dalam diskusi publik bertajuk ”Evaluasi Kinerja KPK 2015-2019” di kantor ICW, Jakarta, Minggu (12/5/2019).
Peneliti TII, Alvin Nicola, menyebutkan, persentase keberhasilan penuntutan (conviction rate) perkara korupsi di Indonesia terus menurun dari persentase keberhasilan 100 persen tahun 2017 kini menjadi hanya 78,5 persen (2018).
Persentase tersebut menentukan kualitas peradilan dan penegakan hukum yang menjadi salah satu indikator Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Saat ini IPK Indonesia berada di angka 38 (2018). Angka itu 2 poin lebih tinggi dari tahun 2015, bahkan naik 10 poin dibandingkan dengan 2009. Semakin dekat angka IPK dengan 100, semakin bersih suatu negara dari korupsi.
”IPK kita memang terus naik dalam beberapa tahun terakhir. Namun, indikator yang terus turun ada dalam sektor korupsi politik. Beda dengan sektor bisnis, regulasi, investasi, dan lainnya yang cenderung meningkat. Kami berharap pemerintah, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ke depan punya fokus di sana,” ujarnya.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan, ada beberapa hal dari kinerja KPK yang ikut menyebabkan lemahnya kualitas penegakan hukum terhadap korupsi. Pertama, tuntutan jaksa penuntut umum KPK. Kemudian, penerapan pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi dari sektor politik.
”Tuntutan jaksa turut berperan penting dalam memaksimalkan kualitas penegakan hukum. Dalam pantauan ICW selama kurun waktu 2016 sampai 2018, jaksa KPK menuntut 269 terdakwa korupsi dengan rata-rata hukuman 5 tahun 7 bulan penjara. Ini kami nilai dalam kategori sedang. Padahal, banyak pasal dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memungkinkan hukuman sampai dengan 20 tahun penjara, bahkan seumur hidup,” tutur Kurnia.
Sementara terkait penerapan pencabutan hak politik sebagai salah satu bentuk pidana tambahan, menurut catatan ICW dari tahun 2016-2018, jaksa KPK hanya menuntut pencabutan hak politik pada 42 terdakwa dari total 88 orang yang didakwa melakukan tindakan korupsi dari sektor politik.
Catatan tersebut, menurut Kurnia, membuat masyarakat sipil belum terlalu puas dengan kinerja KPK pada masa kepemimpinan Ketua KPK Agus Rahardjo, yang dilantik akhir 2015. ”Banyak problem yang terjadi terkait penanganan korupsi sehingga sampai hari ini ternyata publik belum merasa puas terhadap kinerja KPK,” ujarnya.
Apresiasi
Meski masih ada sejumlah kinerja yang dinilai belum maksimal, ICW menilai ada beberapa hal yang perlu diapresiasi dari kinerja KPK di bawah pimpinan Agus Rahardjo. Selama 2015 hingga 2018, ICW mencatat, selalu ada kenaikan dari sisi penetapan tersangka dan jumlah kasus yang ditangani.
Pada 2018, misalnya, KPK telah menetapkan 261 orang sebagai tersangka dengan jumlah kasus sebanyak 57. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, yang hanya menetapkan 128 orang sebagai tersangka dan 44 kasus pada 2017, atau hanya 103 tersangka dengan 35 kasus pada 2016.
”Dalam hal itu, kami apresiasi KPK,” kata Kurnia.
ICW pun merekomendasikan KPK untuk mengevaluasi beberapa hal, seperti berani menuntut tinggi pelaku korupsi agar fungsi trigger mechanism bagi penegak hukum lain berjalan. KPK pun diharapkan membuat pedoman penuntutan agar menghindari potret disparitas atau kesenjangan tuntutan dalam pasal yang sama. Selain itu, KPK juga harus selalu menuntut pencabutan hak politik jika terdakwa berasal dari lingkup politik atau politisi.