Krisis Petani Milenial di Daerah Lumbung Padi
Sektor pertanian belum menjadi magnet pekerjaan bagi generasi muda di Karawang. Rendahnya penghasilan yang diterima turut menjadi penyebab enggannya anak muda bekerja sebagai petani. Kondisi ini memberikan efek domino bagi sektor pertanian di daerah ini.
Kabupaten Karawang merupakan daerah lumbung padi di Indonesia. Salah satu wilayah yang menjadi tumpuan panen di Karawang adalah Kecamatan Tempuran. Menurut data dari Badan Pusat Statistik, luas lahan yang digunakan untuk lahan sawah di daerah Tempuran mencapai 6.480 hektar pada tahun 2017 lalu. Lahan pertanian di daerah ini dua kali lebih luas dibandingkan rata-rata luas lahan sawah per kecamatan di Karawang yang mencapai 3.185 hektar.
Namun, luasnya lahan pertanian di wilayah Tempuran ternyata belum menjadi magnet bagi anak muda untuk menjadikannya sebagai sumber penghidupan. Hal ini terlihat dari minimnya jumlah petani berusia muda di daerah ini.
Berdasarkan data dari Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dinas Pertanian Kecamatan Tempuran, Karawang, terdapat 4.515 orang petani penggarap lahan atau yang biasa disebut sebagai buruh tani. Dari jumlah ini, hanya terdapat delapan persen atau 361 petani yang termasuk kelompok generasi milenial muda berusia 19 hingga 30 tahun.
Luasnya lahan pertanian di wilayah Tempuran ternyata belum menjadi magnet bagi anak muda untuk menjadikannya sebagai sumber penghidupan.
Sebagian besar petani di daerah ini berusia 40 hingga 59 tahun atau yang termasuk kategori generasi X. Pada golongan ini, terdapat 2.566 petani atau 56,8 persen dari total petani penggarap lahan yang ada di wilayah ini. Petani dari golongan ini merupakan tenaga kerja yang telah memasuki masa penghujung usia produktif.
Petani tua yang berasal dari generasi baby boom (60-73 tahun) masih ada yang menjadi penggarap lahan. Jumlahnya mencapai 772 petani atau 17,1 persen. Tak hanya itu, penduduk lokal yang telah memasuki usia senja juga masih memilih pekerjaan sebagai petani penggarap lahan. Menurut catatan UPTD Dinas Pertanian Kecamatan Tempuran, terdapat 73 petani yang berusia di atas 73 tahun (1,6 persen).
Jika dilihat secara menyeluruh, hanya satu dari empat petani di daerah Tempuran yang masuk kategori petani muda. Hal ini mengindikasikan, ada suatu persoalan mendasar dalam sektor pertanian di daerah ini, yaitu regenerasi petani.
Menurut Kepala UPTD Dinas Pertanian Kecamatan Tempuran, Yadi, regenerasi petani menjadi salah satu kendala utama yang dihadapi oleh sektor pertanian di daerah ini. Kondisi inilah yang menyebabkan masih dominannya petani tua dalam pekerjaan penggarapan lahan pertanian. Petani tua ini tetap bekerja untuk mencukupi kebutuhan tenaga kerja sektor pertanian di wilayah ini.
“Anak muda di sini (Tempuran) tidak mau bertani, jadi tidak ada regenerasi. Sebagian besar petani yang ada sudah tua-tua,” kata Yadi di Kecamatan Tempuran, Karawang, Jawa Barat.
Faktor upah
Enggannya anak muda di daerah Tempuran bekerja sebagai petani tidak terlepas dari kondisi Karawang sebagai daerah ‘abu-abu’ yang berada di antara wilayah industri dan wilayah pertanian. Pada satu sisi, Karawang dikenal sebagai daerah lumbung padi di Indonesia.
Hal ini terlihat dari total panen pada tahun 2017 lalu yang mencapai 1,67 juta ton gabah. Total panen ini lebih tinggi dibandingkan panen di daerah pertanian lainnya seperti Kabupaten Indramayu (1,39 juta ton gabah) dan Kabupaten Subang (1,32 juta ton gabah). Keduanya ada di wilayah Provinsi Jawa Barat.
Namun, pada sisi lain, Karawang juga menjadi daerah industri. Hal ini terlihat dari besarnya kontribusi industri pengolahan pada produk domestik regional bruto (PDRB). Pada tahun 2017 kontribusi industri pengolahan pada PDRB Karawang mencapai 71,76 persen. Kontribusi sektor ini terhadap PDRB di Karawang selalu berada di atas 71 persen sejak tahun 2014 lalu.
Pada tahun yang sama, nilai investasi di daerah ini juga meningkat hingga 77,8 persen jika dibandingkan lima tahun sebelumnya. Menurut catatan Pemerintah Kabupaten Karawang, nilai investasi pada tahun 2017 di Karawang mencapai Rp 25,3 triliun. Hal ini menggambarkan meningkatnya geliat bisnis pada wilayah ini.
Kondisi Karawang sebagai daerah ‘abu-abu’ ini menimbulkan efek tarik-menarik tenaga kerja usia produktif. Dampaknya, sektor pertanian harus mengalah karena tingginya standar upah minimum yang ditawarkan oleh sektor industri di daerah Karawang.
Pada tahun 2017 lalu, upah minimum di Kabupaten Karawang mencapai Rp 3,6 juta per bulan. Standar upah ini merupakan yang tertinggi jika dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Provinsi Jawa Barat. Bahkan, standar upah minimum di Karawang lebih tinggi dibandingkan Jakarta yang saat itu mencapai Rp 3,3 juta.
Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan upah petani penggarap lahan di daerah Tempuran. Rata-rata upah petani penggarap lahan pada daerah ini mencapai Rp 100.000 per hari. Namun, dengan besaran upah ini, rata-rata petani penggarap hanya memperoleh penghasilan sebesar Rp 1,5 juta per bulan karena tidak bekerja setiap hari.
Sulitnya sektor pertanian untuk memperoleh petani dari kalangan usia muda dapat dilihat dari serapan tenaga kerja berdasarkan sektor pekerjaan. Dalam Laporan Kinerja Pemerintah Kabupaten Karawang Tahun 2015, serapan tenaga kerja pada sektor primer seperti pertanian dan pertambangan hanya mencapai 18,17 persen. Serapan tenaga kerja ini lebih rendah dibandingkan sektor sekunder seperti industri pengolahan, listrik dan gas, serta konstruksi (25,92 persen), maupun sektor tersier seperti perdagangan dan jasa-jasa lainnya (55,91 persen).
Efek domino
Sulitnya mencari petani muda memberikan efek domino pada sektor pertanian di daerah Tempuran, salah satunya adalah tingginya upah petani penggarap. Sejak tahun 2017 lalu, upah petani penggarap di daerah ini mencapai Rp 100.000 per hari. Jika ditambah dengan biaya konsumsi, maka setiap petani pemilik lahan harus mengeluarkan dana hingga Rp 120.000 per hari untuk upah bagi petani penggarap lahan.
Standar upah petani penggarap lahan ini tiga kali lebih tinggi jika dibandingkan rata-rata upah buruh tani subsektor tanaman pangan di Jawa Barat sebesar Rp 35.370 per hari. Upah tersebut juga dua kali lebih tinggi dibandingkan rata-rata upah buruh tani secara nasional pada tahun 2017 sebesar Rp 49.893 per hari.
Tingginya upah petani penggarap ini juga tidak terlepas dari beban garapan lahan yang harus dikerjakan oleh setiap petani. Menurut data dari Badan Pusat Statistik, daerah Tempuran memiliki 6.480 hektar lahan sawah. Dengan jumlah 4.515 petani penggarap, maka rata-rata setiap petani harus mengerjakan lahan lebih dari satu hektar setiap musimnya.
Keadaan ini juga memberikan dampak bagi petani pemilik lahan. Dengan upah petani penggarap lahan yang lebih tinggi, setiap musimnya petani pemilik lahan harus mengeluarkan modal yang lebih besar.
Sulitnya mencari petani muda memberikan efek domino pada sektor pertanian di daerah Tempuran, salah satunya adalah tingginya upah petani penggarap.
Hal ini salah satunya dialami oleh Jejen Supriyadi yang memiliki dua hektar lahan pertanian. Menurut Jejen, besaran upah ini juga harus ditambah dengan pembayaran dalam bentuk gabah setiap kali panen.
“Buruh tani juga menerima gabah. Setiap kali panen enam ton, buruh tani dapat satu ton gabah setelah panen,” kata Jejen.
Akibatnya, petani pemilik lahan juga menerima penghasilan yang minim. Jika dirata-rata, setiap petani pemilik lahan hanya memperoleh penghasilan Rp 1,6 juta per bulan dengan rata-rata kepemilikan lahan 0,8 hektar per petani. Penghasilan ini hanya berbeda Rp 100.000 jika dibandingkan rata-rata penghasilan petani penggarap lahan yang mencapai Rp 1,5 juta per bulan.
Kendala lainnya juga dirasakan oleh koperasi tani yang baru saja dibentuk di Tempuran pada tahun 2018 lalu. Menurut Ketua Koperasi Tani Kecamatan Tempuran, Acim Mulya, koperasi kesulitan untuk mencari petani muda sebagai anggota. Padahal, petani muda merupakan masa depan penggerak koperasi tani di wilayah ini.
Sosialisasi
Salah satu hal yang dilakukan oleh pemerintah setempat untuk mengusahakan regenerasi petani adalah dengan melakukan sosialisasi pada penduduk lokal. Penyuluh Pertanian Kecamatan Tempuran, Ai Kurniasih, mengatakan, sosialisasi dilakukan hingga ke masing-masing individu masyarakat. Hanya saja, upaya ini belum membuahkan hasil.
“Kita datangi sampai ke rumah-rumah. Kita kasih penjelasan agar anak muda di sini mau jadi petani, terutama yang laki-laki,” kata Ai.
Herman (28), salah seorang petani milenial yang bekerja sebagai penggarap lahan, mengatakan, pertanian memang bukan menjadi pilihan untuk dijadikan pekerjaan utama. Herman memilih pertanian sebagai pekerjaan karena belum memiliki modal usaha dan keterampilan lainnya.
“Saya belum ada usaha lain, baru tani saja. Belum berani untuk usaha lain karena tidak punya modal,” kata Herman
Jika persoalan regenerasi petani terus dibiarkan, maka sektor pertanian di wilayah ini akan menua bersama usia senja para penggarapnya. Kondisi ini dapat menjadi ancaman bagi eksistensi Karawang sebagai daerah lumbung padi. Sebab, ketersediaan lahan pertanian yang luas tentu tak ada artinya tanpa kehadiran petani penggarap lahan. (Dedy Afrianto/Litbang Kompas)
Baca Juga: Reinkarnasi Kisah Marhaen di Karawang
Baca Juga: Jerat Kemiskinan Petani di Lumbung Padi (1)
Baca Juga: Jerat Kemiskinan Petani di Lumbung Padi (2)
Baca Juga: Jerat Kemiskinan Petani di Lumbung Padi (3-Selesai)