Sejak beberapa hari ini, kawasan Ibu Kota terasa berbeda. Bulan Ramadhan yang membuat karakter kota sedikit berubah. Di sejumlah ruas jalan yang biasa laju kendaraan merayap pada jam berangkat kerja terasa lebih lengang. Sejumlah warga mengubah jam berangkat kerjanya. Banyak di antara mereka yang berpuasa berangkat lebih pagi, alih-alih tidur lagi selepas shalat Subuh. Sebaliknya ada juga yang berangkat lebih siang karena jam kantornya berubah. Terjadi pergeseran waktu kemacetan.
Para pengemudi taksi pun merasakan adanya perubahan pola transportasi penyewanya. Menurut seorang sopir taksi, mereka sering kali gagal mencapai target setoran selama 10 hari pertama pada bulan Ramadhan. ”Pokoknya pada hari-hari pertama puasa, jarang banget bisa mencapai target setoran,” keluhnya.
Menurut dia, dari target setoran Rp 500.000-an per hari, biasa mendapat Rp 300.000-an saja sehari sudah beruntung. Dari pengalamannya, biasanya penyewa taksi mulai banyak lagi memasuki hari ke-20 hingga masa mudik Lebaran.
”Deket-deket Lebaran, orang sibuk belanja. Bolak-balik mal jadi ramai,” kata si sopir taksi yang mengaku sudah lebih dari 10 tahun menjadi sopir taksi.
Situasi pola warga Ibu Kota yang gampang dibaca, seperti yang dilakukan oleh sopir taksi itu, didasarkan kebiasaan warga yang berulang dari tahun ke tahun.
Namun, Jakarta adalah kota yang sangat dinamis karena dalam hitungan menit saja, misalnya, kondisi lalu lintas yang tadinya lancar-lancar saja bisa tiba-tiba mampat. Kemacetan bisa terjadi begitu saja tanpa diduga. Saat lepas dari kemacetan, sering kali pengguna jalan juga tidak menemui apa penyebab kemacetan sesungguhnya.
Aman dan tenang
Sepanjang suasana Ibu Kota aman-aman dan nyaman saja, warga menjalani aktivitasnya dengan tenang. Namun, suasana berbeda Jakarta terjadi bukan hanya karena pada bulan puasa saja.
Beberapa hari terakhir ini, keadaan terasa berbeda dengan kehadiran sejumlah aparat kepolisian di sejumlah titik Ibu Kota.
Ayolah, kita sudah capek. Saatnya kita semua mendinginkan Jakarta. Sambil puasa, enaknya warga bisa beraktivitas hingga ngabuburit di kota yang aman dan nyaman.
Di seputaran Bundaran Hotel Indonesia, Jalan MH Thamrin, Monumen Nasional (Monas), Istana Negara, hingga gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) banyak ditemui polisi bersiaga.
Mobil-mobil truk pengangkut aparat terparkir di pinggir-pinggir jalan menuju jalan utama itu, seperti Jalan Sunda atau Jalan Sutan Syahrir, Jakarta Pusat. Truk-truk besar di satu jalur ruas menyebabkan lalu lintas di jalan tersebut tersendat.
Keberadaan polisi yang berjaga-jaga di sejumlah titik itu tampaknya untuk mengantisipasi aksi unjuk rasa berkaitan dengan hasil Pemilihan Umum 2019.
Seperti diwartakan, Polda Metro Jaya telah menyiapkan 11.000 personel untuk mengamankan berbagai aksi unjuk rasa. Hari Kamis (9/5/2019), misalnya, aparat kepolisian bersiaga di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, hingga gedung KPU dan Bawaslu.
Bagi masyarakat kebanyakan, kehadiran banyak polisi di sejumlah kawasan utama Ibu Kota itu mendua. Di satu sisi kita mendapat kepastian perlindungan dari aparat keamanan sehingga warga bisa tetap beraktivitas seperti biasanya.
Namun, di sisi lain, salah-salah tertangkap situasi sebaliknya. Bahwa, Ibu Kota saat ini sedang dalam keadaan siaga. Selebihnya, sepertinya malah kota sedang tidak aman.
Situasi itu ditambah dengan masih banyaknya ”clicking monkey” alias ”si tukang forward pesan (tanpa mikir)”. Akibatnya, pesan-pesan berantai memenuhi grup-grup obrolan daring.
”Sekarang di KPU sedang ribut. Jangan keluar rumah (di kirimi dari teman)”, demikian sebuah kiriman chat di grup obrolan Whatsapp. Pesan itu dilengkapi sebuah video pendek yang sebenarnya bukan terjadi di Jakarta. Banyak pula beredar info-info sejenis.
Ayolah, kita sudah capek. Saatnya kita semua mendinginkan Jakarta. Sambil puasa, enaknya warga bisa beraktivitas hingga ngabuburit di kota yang aman dan nyaman.