”Ngantor” di Tempat ”Ngopi”
Kafe kopi tak sekadar menjadi lokasi janji bertemu dengan sahabat atau nongkrong. Bekerja di kedai kopi atau kafe juga bisa! Suasana yang nyaman dan jauh dari kesan resmi kantor membuat anak-anak muda menuntaskan pekerjaan mereka di kedai kopi.
Tiara Annisaa (23), karyawan swasta di Jakarta Pusat, bisa 1-3 kali dalam sepekan mampir ke kedai kopi. Hanya untuk ngopi? Tidak, ia ngopi sambil bertemu klien kantornya.
”Biasanya tempat ngiopinya ditentukan klien. Pertemuan di tempat ngopi ini sering dilakukan untuk klien yang mobilitasnya tinggi,” kata Tiara, beberapa waktu lalu.
Ibaratnya, Tiara ditraktir ngopi oleh kantornya. Sebab, kantor tempat Tiara bekerja menganggarkan dan membiayai pertemuan tersebut. Plafonnya Rp 100.000-Rp 300.000 untuk sekali pertemuan, belum termasuk makanan berat. Tentu saja pekerjaan harus tuntas.
Membangun pertemuan profesional di tengah suasana yang santai menjadi alasan untuk bertemu di kafe kopi. ”Bagi industri jasa tempat saya bekerja, menjaga hubungan dengan klien sangat penting. Kalau suasananya formal atau tidak santai, klien tidak leluasa menyampaikan aspirasi,” kata Tiara.
Candra Alam (23), karyawan usaha rintisan sekaligus konsultan, mengaku biasa bertemu dengan 3-4 rekan kerjanya di kedai kopi. Setiap pertemuan, dia mengeluarkan Rp 50.000-Rp 100.000 untuk membayar kopi dan kudapan.
Membangun pertemuan profesional di tengah suasana yang santai menjadi alasan untuk bertemu di kafe kopi.
Pertemuan semacam itu tidak hanya diisi dengan omong kosong. Mereka kerap berdiskusi untuk menemukan solusi atas permasalahan dalam proyek.
”Suasananya berbeda dengan diskusi di kantor. Tekanannya seolah-olah berkurang. Dampaknya, kami lebih efektif dan berpikir jernih. Ngopi juga membantu saya mencapai kondisi terbaik untuk produktif bekerja,” aku Candra.
Pertemuan di kedai kopi membuat suasana lebih rileks juga dirasakan M Rafi (24), wirausaha di bidang alat perkantoran dan percetakan. Kerap kali, ide-ide baru dan seru muncul saat mendiskusikan pekerjaan. Biasanya, setiap karyawan yang hadir dalam pertemuan di kedai kopi mendapat jatah kopi dan camilan seharga Rp 50.000-Rp 60.000.
Tak sekadar diskusi dan mencari solusi, Andrea Dian P (22), yang tengah magang di perusahaan pemasaran digital di Bandung, juga mengolah data, mengetik, dan menyunting foto di kedai kopi atau kafe. Dalam sebulan, Andrea bisa dua kali bekerja di kedai kopi. Kendati mesti merogoh kocek Rp 30.000-Rp 70.000 setiap kali ke kedai kopi, Andrea merasa pengeluarannya sebanding dengan hasil yang didapat.
”Lagu-lagu kesukaan saya sering diputar di tempat ngopi langganan, di Jalan Dipatiukur, Bandung. Suasananya makin nyaman untuk bekerja. Kalau di kantor, atmosfernya terkesan penuh tekanan,” ujar Andrea.
Joshua Atmadja (22) juga kerap melangkahkan kaki ke kafe atau kedai kopi jika hendak menuntaskan pekerjaan di luar jam kerja atau di akhir pekan. Pekerjaannya sebagai pegawai swasta makin cepat tuntas jika kedai kopi itu kebetulan memutar lagu-lagu yang memacu semangat.
Lagu-lagu kesukaan saya sering diputar di tempat ngopi langganan, di Jalan Dipatiukur, Bandung.
Lebih produktif
Amelia Sakinah (25), pegawai negeri sipil, memilih tempat ngopi yang menyediakan Wi-Fi jika harus lembur menyelesaikan paparan atau laporan.
Sementara bagi Valentina, pekerjaan lebih baik dituntaskan di kedai kopi daripada di rumah. Sebab, rumah adalah tempat menikmati waktu berkualitas bersama keluarga.
Sementara bagi Ega Kusumah (28), penulis lepas, bekerja di kedai kopi berbeda dengan di kantor. Kendati kedai kopi lebih berisik daripada kantor, kenyamanan tetap bisa diciptakan.
”Penulis konten menitikberatkan tulisan pada data, statistik, dan fakta. Perlu tempat yang nyaman untuk mengerjakan pekerjaan sekompleks ini,” ujarnya.
Perusahaan tempatnya bekerja tidak mewajibkan Ega datang ke kantor setiap hari. Dalam sebulan, dia hanya ke kantor tidak lebih dari lima kali untuk urusan administrasi. Sisanya dihabiskan di kedai kopi. Tak perlu khawatir dengan koordinasi tim karena semua bisa dilakukan menggunakan jejaring sosial.
Kenyamanan yang tercipta di tengah suasana yang berisik mungkin terjadi. Pada 2017, Harvard Business Review menerbitkan artikel yang menjelaskan white noise dapat meningkatkan sisi abstrak kinerja otak. Sisi abstrak ini berkaitan dengan kreativitas seseorang.
White noise adalah tingkat kebisingan dengan ukuran sekitar 70 desibel. Atmosfer di kedai kopi rata-rata memiliki tingkat kebisingan yang masuk dalam kriteria white noise. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Havard, tingkat kebisingan tertentu dapat memengaruhi kinerja seseorang.
Inspirasi
Sebagian kantor menyadari, karyawan memerlukan suasana nyaman untuk bekerja. Maka, konsep kantor yang kaku berubah menjadi kantor yang lebih fleksibel dan santai. Tujuan utamanya yaitu karyawan menuntaskan pekerjaan dengan baik tetap tercapai.
Bagi generasi muda seperti Rizkita Darajat (25), tempat ngopi menjelma menjadi kantor yang hampir setiap pekan ia sambangi. Suasana santai di tempat ngopi memunculkan inspirasi dan memudahkan temu relasi.
”Hampir setiap hari, orang-orang di kantor sibuk mengejar deadline, bosan lihatnya. Kadang butuh tempat lain agar lebih fokus,” kata Rizkita yang bekerja sebagai penulis konten usaha rintisan lokal di Jakarta.
Biasanya, ia mulai datang ke kedai kopi pukul 08.00. Kebetulan kantornya membebaskan karyawan bekerja di mana pun selama tugas selesai sesuai tenggat.
”Biasanya, kalau pagi kerja di luar, aku baru ke kantor sekitar pukul 12.00,” ujarnya.
Kendati cukup sering ngantor di kedai kopi, Rizkita tetap menjaga kondisi keuangannya dengan membatasi pengeluaran di kedai kopi.
Ngantor di tempat ngopi juga menjadi kebiasaan Anggika Rahmadiani Kurnia (24), peneliti bidang sosial politik yang juga mahasiswa S-2 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tempat ngopi bukan sekadar ruang mencari inspirasi, melainkan juga sebagai tempat untuk bertemu relasi.
”Biasanya ketemu narasumber atau diskusi bareng dosen di tempat ngopi. Sebenarnya ada kantor, tetapi lebih nyaman di luar. Suasananya enggak kaku,” kata Anggika.
Pilihan menuntaskan pekerjaan di kafe kopi kian marak seiring semakin banyak kantor yang membebaskan cara dan tempat karyawannya bekerja. Kuncinya, tetap produktif. (KRN/DIM/JUD)