Obrolan Menggoreng Kodok
Perupa Mella Jaarsma (59) asal Belanda yang menetap di Yogyakarta menyuguhkan video seni menggoreng kodok untuk ”dijajakan” di pinggir Jalan Malioboro pada 1998. Video seni ini dipilih menjadi salah satu bagian dari pameran Dunia dalam Berita di Museum Seni Modern dan Kontemporer di Nusantara, Jakarta, 1 Mei hingga 21 Juli 2019.
Di dalam video tampak wajan-wajan penggorengan di atas kompor. Seperti layaknya orang berdagang penganan gorengan, beberapa orang ”bule” teman Mella dari Belanda itu menggoreng daging kodok tanpa rasa canggung.
Banyak warga setempat berhenti. Mereka menatap lekat-lekat para penggoreng dan kodok yang digorengnya. Tentu peristiwa ini tidak lazim di kota tersebut. Pemandangan seperti itu mungkin pertama kali ditemui warga.
”Waktu itu saya mengajak teman-teman bule yang bisa berbahasa Indonesia untuk menggoreng kodok,” ujar Mella, Senin (29/4/2019), di Museum Seni Modern dan Kontemporer di Nusantara atau dikenal sebagai Museum Macan (Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara) itu.
Mella mengajak teman bule yang bisa berbahasa Indonesia tentu ada maksudnya. Supaya mereka bisa menjelaskan ”peristiwa” menggoreng kodok itu kepada warga yang datang.
Ada di adegan video tersebut para penggoreng menawarkan daging kodok yang sudah matang kepada warga. Di antara warga ada yang menyambut dan menyantapnya. Ada warga lain yang tampak antusias menanti matangnya kodok di penggorengan. Mereka pun mengobrol dengan para penggorengnya.
Mengobrol, itu ternyata inti pesan Mella dalam karyanya yang diberi judul ”Pribumi Pribumi”. Durasinya 12 menit 31 detik, diambil pada 3 Juli 1998 di pinggir Jalan Malioboro, Yogyakarta.
”Aku dari Belanda merasa menjadi bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Ketika itu terjadi kerusuhan Mei 1998, orang Tionghoa jadi kambing hitam, isu pribumi menguat, tulisan pribumi ditempelkan di toko-toko, dan sebagainya,” kata Mella yang menetap di Indonesia sejak 1984.
Menurut Mella, kekerasan tidak perlu terjadi kalau saja semua elemen bangsa ini mau mengobrol untuk saling memahami satu sama lain. Video seni para bule menggoreng kodok di pinggir Jalan Malioboro itu menawarkan ajakan untuk saling mengobrol, saling terbuka untuk memahami satu sama lain.
Karya Mella lainnya, di antaranya diberi judul ”Emas yang Tak Tahu Malu IV” (2002). Karya itu berupa rajutan berbentuk jubah dari kulit kepompong berwarna kuning keemasan. Mella ingin menunjukkan lapisan masyarakat kaya yang tak tahu malu terhadap masyarakat lainnya yang miskin. Ada pula penampilan yang ditampilkan Mella dengan lima orang berjalan-jalan di ruang pamer mengenakan jubah yang unik dan estetik.
Kelima jubah itu menyiratkan makna lima kekuatan yang meliputi ideologi, agama, kesucian, militer, dan kekuatan fisik. Menurut Mella, kelima kekuatan itu berbaur dalam lingkup hidup masyarakat Indonesia yang menyuguhkan kompleksitas dan mungkin juga menjadi sebuah kerumitan tersendiri bagi masyarakat Indonesia.
Karya Mella lain yang tak kalah satir diberi judul ”Zipper Zone atau Zona Retsleting” (2009). Banyak retsleting dijahitkan pada bentangan kain dengan nuansa warna merah dan putih.
Direktur Museum Macan Aaron Seeto menyebutkan, pameran kali ini membahas hubungan praktik berkesenian dan pengaruh peristiwa politik di Indonesia.
Selain karya Mella, dihadirkan pula karya dari delapan perupa lain dan satu kolektif Taring Padi asal Yogyakarta. Para perupa lain itu meliputi Agus Suwage, FX Harsono, Heri Dono, IGAK Murniasih, I Nyoman Masriadi, Krisna Murti, S Teddy D, dan Tisna Sanjaya.
Perubahan politik
Karya perupa Tisna Sanjaya berupa instalasi ”Visit Indonesian Years” cukup satir pula. Sebuah bidang kanvas besar dilukisi dirinya berseragam Korpri bersama ketiga anak dan istrinya. Di depannya Tisna melukis dirinya lagi dengan mengenakan kaus kuning Golkar dan baju loreng tentara.
Di bawah kanvas lukisan itu tertera papan bertuliskan ”Proyek Pembangunan Sekolah Tinggi Seni Memasak Tahan Busuk”. Di sebelah kiri dan kanan papan itu digantungkan beberapa kaus dengan gambar pemandangan bertuliskan, antara lain, ”Timor Timur” dan ”Semanggi”.
Di ujung kiri dan kanan instalasi itu ada papan yang terbuat dari belahan bambu yang dianyam. Bagian bawahnya terbakar. Papan sisi kiri bertuliskan ”WC untuk ABRI”, di sisi kanan ”Toilet for Interfet”.
”WC untuk ABRI” diimbuhi tulisan daftar harga ”Beraks Rp 200, Kencing Rp 150, Nglocos Rp 225”. ”Toilet for Interfet” dengan daftar harga ”Beraks $250, Kencing $200, Nglocos $ 250”. Tulisan kata nglocos memiliki makna kata ’masturbasi’.
Menurut Tisna, instalasi itu menggambarkan situasi di era Orde Baru. Ada persoalan dwifungsi ABRI, ada peristiwa politik diwarnai pertumpahan darah di Timor Timur, atau tragedi di Semanggi, Jakarta.
Tisna melihat pertikaian atau konflik yang selalu terjadi itu karena ada sumbatan politik. Komunikasi pun hilang. Karena itulah dibutuhkan saluran yang digambarkan Tisna sebagai sebuah WC atau toilet. Di WC atau toilet itu bagi mereka yang bertikai tidak hanya bisa untuk berak atau kencing, tetapi juga bisa menyalurkan hasrat biologis untuk meredakan ketegangan.
”Kita sekarang menghadapi perubahan politik. Dulu, kita dihadapkan pada rezim penguasa tunggal, sekarang kita dihadapkan pada rezim suatu kelompok masyarakat yang sering muncul dengan politik identitas dan mengkritisi penguasa,” ujar Tisna.
Karya ”Visit Indonesian Years” merupakan karya perjalanan Tisna selama beberapa tahun di seputar masa akhir Orde Baru tahun 1998. Berulang kali Tisna mendapat tekanan dari aparat keamanan.
Bahkan, karena instalasi ”WC untuk ABRI” itu Tisna harus menghadapi persidangan di pengadilan tahun 2003-2007. Akhir dari proses hukum ini diakhiri berdamai dengan tumpengan di pengadilan.
Tafsir program TVRI
Tajuk pameran Dunia dalam Berita ini merujuk program siaran berita televisi pemerintah, yaitu TVRI. Siaran berita sebagian besar tentang luar negeri ini ditayangkan TVRI pukul 21.00 sampai 21.30. Program itu bertahan dari 20 Juli 1973 hingga 31 Desember 2008.
Menurut Aaron Seeto, ”Dunia dalam Berita” ditafsir ulang sebagai cara-cara perupa untuk melihat dunia lewat pemberitaan media massa.
”Periode reformasi (1998) memiliki dampak signifikan terhadap peningkatan kebebasan berekspresi, transformasi lanskap media massa, dan ekspresi artistik,” ujar Aaron.
Karya yang dihadirkan para perupa lainnya memiliki keunikan masing-masing. Mereka merepresentasikan nilai tersendiri, seperti lukisan-lukisan karya IGAK Murniasih. Di balik estetika keindahan warna dan bentuk, Murniasih menawarkan kesadaran jender perempuan. Melalui karya ”Teman dan Tawon” bisa dimaknai Murniasih memperjuangkan hak dan kesetaraan perempuan.
Ternyata dari inspirasi sebuah nama program siaran televisi pemerintah, pameran ini menjadi bagian penting untuk melihat pertumbuhan seni rupa kontemporer kita. Seni kontemporer yang mengedepankan konteks terkait dengan ruang dan kekinian menjadi sebuah gagasan untuk kebersamaan yang hidup dan bermartabat.
Intisarinya, seni menawarkan nilai saling terbuka untuk saling berkomunikasi, seperti obrolan menggoreng kodok di Malioboro tadi.