Sejak lembaga itu berdiri, setidaknya ada sembilan kasus teror yang dilayangkan kepada pegawai KPK.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transparancy International Indonesia mengharapkan Komisi Pemberantasan Korupsi memprioritaskan pembenahan sumber daya manusia di dalam lembaga penegak hukum tersebut. Sumber daya manusia, khususnya dalam sektor penindakan, menjadi ujung tombak memperkuat komitmen penegak hukum yang selama ini dinilai masih lemah.
Peneliti Transparancy International Indonesia (TII), Alvin Nicola, menilai, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum memiliki cetak biru dalam hal pengelolaan sumber daya manusia (SDM) sejak awal berdiri. Kekurangan itu membuat masalah internal, seperti kualitas upaya penindakan dan keamanan pegawai, kerap muncul setidaknya dalam empat tahun terakhir.
”Kami melihat bahwa sektor sumber daya manusia (SDM) ke depannya perlu dititikberatkan pada investasi jangka panjang, bukan jangka pendek. Ini penting, khususnya terkait dengan penegakan hukum,” kata Alvin dalam diskusi publik berjudul ”Evaluasi Kinerja KPK 2015-2019” di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, Minggu (12/5/2019).
Alvin mencatat, selama masa kepemimpinan Agus Rahardjo terjadi penurunan tingkat penetapan tersangka dari 100 persen tahun 2017 menjadi sekitar 70 persen tahun 2018. Dengan semakin luasnya dimensi kejahatan korupsi dan penggunaan teknologi, SDM KPK dalam hal ini penyidik dituntut lebih cepat beradaptasi dengan kebutuhan. Kalahnya KPK di beberapa praperadilan juga menjadi indikator perlunya penguatan keahlian penyidik.
Belum adanya program jangka panjang untuk mengelola SDM juga dinilai mengancam keamanan pegawai KPK. Sejak lembaga itu berdiri, setidaknya ada sembilan kasus teror yang dilayangkan kepada pegawai KPK. Bahkan, pada awal tahun ini, rumah dua unsur pimpinan KPK mendapati teror semacam bom dari pihak yang sampai saat ini belum diketahui.
”Masalah-masalah internal ini, kalau tidak segera dibenahi, akan menghambat kinerja penegakan hukum. Koruptor-koruptor di luar pun jadi senang jika KPK kondisinya seperti ini,” ujar Alvin.
Jumlah penyidik
Pada kesempatan yang sama, peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, juga mengharapkan agar gesekan di internal KPK segera diselesaikan. Hal itu terkait dengan kritik yang dilayangkan pegawai KPK terkait pengangkatan 21 penyidik baru pada akhir April lalu.
”Seharusnya tidak ada lagi friksi di internal KPK yang memprotes pengangkatan penyidik baru KPK karena itu bisa menjadi vitamin baru bagi KPK. KPK, kan, selama ini menyatakan kekurangan SDM. Seharusnya pengangkatan 21 orang tersebut dimaknai positif,” katanya.
Ketua KPK Agus Rahardjo saat diwawancarai Kompas pada 7 Mei lalu mengakui bahwa jumlah penyidik KPK masih jauh dari ideal. Menurut dia, saat ini jumlah pegawai yang bekerja di bawah Deputi Pencegahan berjumlah 1.000 orang, jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penyidik di bawah Deputi Penindakan yang berjumlah sekitar 600 orang.
”Yang saya lihat di KPK begini, kalau kita mau bagus, porsi antara pencegahan dan penindakan harus berubah. Kalau kita mau meniru ICAC (Independent Commision Againts Corruption) Hongkong, CPAP (Corrupt Practices Investigation Bureau) Singapura, MAC (Malaysia Anti-Corruption Commision), yang harus paling besar itu di penindakan. ICAC Hongkong itu lebih dari 70 persen di penindakan,” katanya.
Selain itu, untuk memperbaiki kualitas SDM di penindakan, Agus menyatakan telah mendorong pegawai-pegawai terkait untuk mengambil program magister di perguruan tinggi luar negeri untuk mendalami ilmu yang lebih spesifik.
”Kami memang ingin penyelidik dan penyidik itu punya spesialisasi, seperti pasar modal, kejahatan perbankan, pencucian uang, sumber daya alam, kan, bagus dan harus dipersiapkan. Tidak seperti hari ini, yang umum dan generalis karena kejahatan sudah semakin canggih,” pungkasnya.