Pelecehan seksual di angkutan publik masih menjadi ancaman bagi para perempuan ibu kota. Ketakutan korban untuk melaporkan kejadian yang menimpanya, penegakan hukum yang belum kokoh, serta adanya peluang untuk melakukan pelecehan seksual ini menyebabkan kejahatan ini masih saja terjadi.
Oleh
MB DEWI PANCAWATI/LITBANG KOMPAS
·4 menit baca
Pelecehan seksual di angkutan publik masih menjadi ancaman bagi para perempuan ibu kota. Ketakutan korban untuk melaporkan kejadian yang menimpanya, penegakan hukum yang belum kokoh, serta adanya peluang untuk melakukan pelecehan seksual ini menyebabkan kejahatan ini masih saja terjadi.
Perbaikan moda transportasi umum rupanya tidak serta-merta membuat keamanan para penggunanya meningkat. Tindakan pelecehan seksual dalam bus transjakarta, mikrolet, ataupun kereta komuter menjadi hal yang masih meresahkan bagi perempuan yang saban hari menggunakan angkutan umum.
Hasil survei Thomson Reuters Foundation, bekerja sama dengan perusahaan polling YouGov pada 2016, menyebutkan, Jakarta menempati urutan kelima dari 16 kota di dunia karena ketidakamanan transportasinya. Survei 2017 lalu, Jakarta masuk 10 kota paling tidak aman bagi perempuan.
Catatan PT KAI Commuter Indonesia selaku operator kereta rel listrik (KLR) Commuterline, terjadi 25 kasus pelecehan seksual di dalam KRL pada 2017. Tidak ada kasus yang berlanjut ke kepolisian.
Jumlah itu justru meningkat menjadi 34 kasus di tahun 2018. Namun, dari 34 laporan itu, 20 kasus dilanjutkan ke kepolisian.
Hampir semua korbannya adalah perempuan berusia 19-30 tahun. Adapun para pelaku adalah laki-laki berusia 31-40 tahun.
KRL rute Bogor-Jatinegara dan Bogor-Jakarta Kota menjadi rute dengan jumlah pelecehan seksual terbanyak. Adapun kedua rute tersebut memiliki pangsa penumpang KRL terbanyak.
Angka kasus pelecehan seksual inipun terdata berdasarkan laporan yang masuk kepada petugas. Faktanya, banyak kasus pelecehan seksual yang tidak dilaporkan.
Hal tersebut diperkuat hasil jajak pendapat Kompas awal Mei lalu.
Hampir sepertiga responden mengaku pernah melihat kasus pelecehan seksual di dalam angkutan umum.
Dari sepertiga tersebut, sekitar 37 persennya menggunakan angkutan umum setiap harinya.
Penyebab
Mengapa kasus ini terus terjadi bahkan terjadi di ranah publik seperti angkutan umum?
Separuh lebih responden (53 persen) menyebutkan, adanya kesempatan membuat kasus ini terus terjadi.
Padatnya penumpang KRL di pagi maupun sore hari, menjadi celah bagi pelaku untuk melakukan tindakan asusilanya. Para pelaku justru memanfaatkan kepadatan penumpang itu untuk melakukan pelecehan seksual.
Pelecehan yang menjadikan perempuan sebagai objek pelampiasannya ini bermacam-macam bentuknya.
Aktivitas yang banyak dilakukan berdasarkan laporan yang masuk ke pengelola kereta komuter antara lain menyentuh atau memegang bagian tubuh tertentu perempuan. Selain itu, siulan atau ungkapan verbal berkonotasi seksual termasuk bagian di dalamnya.
Enggan melapor
Keengganan korban untuk melaporkan pelecehan yang menimpa dirinya kepada petugas atau pihak yang berwajib, bagi 13,5 persen responden juga menjadi penyebab kasus pelecehan ini terus terjadi.
Sikap diam dan tidak mau melapor ini karena korban takut dan malu bila kasus yang dialaminya akan diketahui banyak orang. Hal ini diungkapkan oleh empat dari lima responden dalam jajak pendapat ini.
Faktor tidak efektifnya penegakan hukum juga dinilai oleh hampir seperlima responden sebagai penyebab lainnya. Banyak kasus pelecehan berakhir dengan damai, sehingga tidak menimbulkan efek jera pada pelaku.
Pelecehan seksual terhadap perempuan di angkutan publik terkadang juga tidak dipandang sebagai pelanggaran pidana oleh sebagian orang.
Praktik pembiaran, sikap cuek, pura-pura tidak tahu terkadang dilakukan juga penumpang lain yang mengetahui peristiwa itu. Hal itu disampaikan juga 5,4 persen responden.
Peduli dan melawan
Meski demikian, hampir semua responden menyadari dan berupaya peduli jika melihat pelecehan seksual.
Beragam cara dilakukan. Seperti dilakukan sepertiga responden yang memilih menegur langsung pelaku saat melihat kejadian pelecehan.
Selanjutnya 26,9 persen responden memilih melaporkan kejadian tersebut kepada petugas, atau diam-diam memberitahu korban untuk berpindah tempat karena banyak kasus pelecehan terjadi tanpa disadari korban.
Sebanyak 12,4 persen responden mengaku akan berteriak supaya penumpang lain tahu dan pelaku menghentikan perbuatannya.
Bahkan ada yang diam-diam mengabadikan kejahatan itu sebagai bukti, kemudian menyebarkan rekaman itu ke media sosial, semata-mata untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku.
Seperti yang dilakukan oleh Virginia, pengguna KRL Commuterline. Saat melihat kasus pelecehan seksual terjadi di depan matanya, ia memilih merekamnya dan membagikan di InstaStory miliknya, akhir 2017 lalu.
Kisahnya menjadi saksi pelecehan seksual di atas kereta. Ia bahkan sampai dikejar oleh pelaku yang takut perbuatannya dilaporkan ke pihak yang berwajib. Unggahan Virginia sempat viral karena banyak warganet terhenyak atas insiden di dalam keramaian penumpang kereta tersebut.
Kepedulian bersama
Ajakan pada masyarakat untuk peduli diharapkan juga mendorong korban pelecehan seksual untuk berani melapor pada petugas. Ajakan ini juga mengedukasi wanita pengguna angkutan umum bahwa melindungi diri belumlah cukup.
Lebih dari seperempat responden menyebutkan, hal yang paling penting dilakukan pemerintah adalah memisahkan atau menambah kereta khusus wanita pada KRL dan ruang khusus wanita di bus transjakarta.
Masalah penegakan hukum juga harus dikedepankan, menurut pendapat satu dari lima responden. Penegakan hukum ini penting agar penyelesaian kasus tidak sekadar berakhir dengan damai.
Selain itu, sebanyak 12,2 persen responden mendorong pemerintah untuk terus aktif melakukan kampanye dan edukasi terkait pelecehan seksual ini. Cara yang bisa ditempuh pemerintah antara lain dengan menayangkan video bermacam bentuk pelecehan di ruang-ruang publik.
Semua upaya dan dorongan publik itu merupakan bagian dari upaya agar pelaku menjadi jera dan menghentikan aksinya.
Harapannya, semua pengguna angkutan umum bisa semakin merasa nyaman. Mereka yang kini belum memakai angkutan umum pun tertarik dan tidak merasa cemas di dalam angkutan umum.