Lokasi rumah subsidi yang relatif jauh dari pusat kota menambah beban bagi pembelinya. Ketimbang pemilikan, orientasi penghunian dinilai lebih pas untuk wilayah perkotaan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lokasi rumah subsidi yang relatif jauh dari pusat kota menambah beban bagi pembelinya. Ketimbang pemilikan, orientasi penghunian dinilai lebih pas untuk wilayah perkotaan.
Harga rumah di kota-kota besar semakin sulit dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Harapan mereka untuk memiliki rumah sebagian terpenuhi oleh program rumah subsidi. Namun, ongkos transportasi kemudian menjadi beban.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali, Minggu (12/5/2019), menyatakan, lokasi rumah subsidi wilayah Jabodetabek, misalnya, sebagian besar berada di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Selain relatif jauh, sulit dijangkau, atau infrastrukturnya belum memadai, jumlahnya pun terbatas.
Prisci (33) bersyukur impiannya untuk memiliki rumah terwujud. Dia membeli rumah subsidi di Pesona Lebak Wangi, Kabupaten Tangerang. Namun, masalah muncul kemudian. Jarak rumah ke tempat kerjanya di Jakarta Pusat mencapai 37 kilometer (km), perlu tiga kali ganti angkutan umum, belum termasuk ojek.
Oleh karena tidak tahan dengan beban biaya transportasi dan waktu tempuh yang harus dijalani, Prisci akhirnya indekos di Jakarta. ”Aturannya harus dihuni terus, tetapi mau bagaimana lagi,” katanya.
Carlos (32), pembeli rumah subsidi di Pesona Gading Cibitung, Kabupaten Bekasi, merasa beruntung lokasi rumahnya dekat dengan stasiun. Namun, dia mesti beberapa kali ganti moda angkutan, sesekali naik sepeda motor, untuk mencapai lokasi kerja di Jakarta Selatan yang berjarak sekitar 37 km.
Selain jarak rumah ke tempat kerja, kualitas rumah subsidi juga dinilai buruk oleh pembelinya. Carlos, misalnya, mengeluhkan tembok yang rapuh. Dia menduga material bangunannya tidak standar. Sementara Prisci mengeluhkan pintu dan jendela susah ditutup, keramik tidak seragam, sampai tembok retak.
Orientasi
Pengamat perumahan dan permukiman Tjuk Kuswartojo berpandangan, kebijakan pemerintah berorientasi pada kepemilikan, bukan penghunian, sehingga orang didorong punya rumah tanpa memperhitungkan lokasi. Rumah subsidi memang banyak dibeli, tetapi masyarakat mendapat beban biaya transportasi yang tinggi. Masalah lain yang kerap muncul adalah manipulasi batas penghasilan Rp 4 juta.
Menurut Tjuk, kebijakan rumah subsidi yang didasari angka kekurangan rumah (backlog), penghitungannya berdasarkan survei, bukan dari pencacahan. Sementara penyewa atau pengontrak tidak tergolong sebagai pemilik sehingga termasuk backlog. Dengan demikian, Jakarta adalah wilayah dengan angka kekurangan rumah paling tinggi di Indonesia karena total jumlah penyewa mencapai 49 persen.
Ia menambahkan, kebutuhan permukiman di kota lebih tepat dipenuhi dengan hunian sewa secara massal. Selain mengakomodasi dinamika rumah tangga yang berkembang, cara ini dapat mempertahankan tanah milik negara.
Kebutuhan permukiman di kota lebih tepat dipenuhi dengan hunian sewa secara massal.
Secara terpisah, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan, sejak 2015, pemerintah membangun rumah susun sewa di banyak tempat. Khusus bagi masyarakat berpenghasilan rendah terbangun 16.026 unit. Angka itu belum termasuk rusun bagi PNS, TNI, atau Polri.
Masalah utama membangun hunian sewa adalah ketersediaan lahan. Selain itu, selama ini pembangunannya juga tergantung usulan pemerintah kota (pemkot) setempat. ”Kami menunggu usulan pemkot sebetulnya,” ujar Basuki.