Dinas Kehutanan Provinsi Jambi mengakui tak mudah memberantas maraknya pembalakan liar di ekosistem Bukit Tigapuluh, Kabupaten Tebo, Jambi. Itu karena para cukong memperalat komunitas adat dan masyarakat lokal untuk menghancurkan hutan alam tersisa itu. Penegakan hukum terpadu harus tegas berjalan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Dinas Kehutanan Provinsi Jambi mengakui tak mudah memberantas maraknya pembalakan liar di ekosistem Bukit Tigapuluh, Kabupaten Tebo, Jambi. Itu karena para cukong memperalat komunitas adat dan masyarakat lokal untuk menghancurkan hutan alam tersisa itu. Penegakan hukum terpadu harus tegas berjalan.
Demi memastikan kayu-kayu curian dapat dibawa keluar dari hutan, para cukong menerapkan sejumlah modus. Mereka memodali pembalakan, membangun jalur angkut, dan mengalirkan dana untuk para oknum aparat.
Sementara aktivitas pembalakan dan pengangkutan hasil kayu curian dilakukan oleh warga pedalaman dan penduduk lokal. ”Modusnya, mereka memanfaatkan masyarakat untuk membalak,” ujar Ahmad Bestari, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Senin (13/5/2019).
Sebagaimana diberitakan Kompas, Senin, akses jalan sepanjang 10 kilometer menembus batas Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) di wilayah Sumay, Kabupaten Tebo, dibuka dengan menggunakan alat berat dua bulan lalu. Meskipun jalur ilegal itu sempat ditutup aparat dan petugas perlindungan hutan setempat, tak lama setelahnya para pembalak nekat membuka kembali.
Modusnya, mereka memanfaatkan masyarakat untuk membalak.
Modus lainnya didapati pencucian kayu. Kayu curian dibawa ke usaha-usaha pengolahan di Desa Tanjung, Kecamatan VII Koto. ”Sebagian besar usaha sawmill di sana tidak berizin,” katanya.
Dari sawmill, kayu didistribusikan ke sejumlah daerah dengan memanfaatkan dokumen-dokumen angkut. Dokumen itu diperoleh dari penerbit di wilayah Darmasraya, Bungo, ataupun Merangin.
”Mereka memanipulasi data dengan memasukkan lokasi sumber kayunya berasal dari hutan rakyat,” ujarnya, Senin (13/5/2019). Setelah diperlengkapi dokumen, barulah kayu dikirim ke daerah lain, mulai dari Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Jakarta, hingga Banten.
Tahun lalu pihaknya dua kali melaksanakan operasi. Pada salah satu operasi didapati pengangkut hasil kayu menyertakan dokumen yang menginput data sumber kayu dari hutan rakyat. Padahal, kayu diduga kuat berasal dari hutan negara di ekosistem Bukit Tigapuluh.
Persoalan itu telah dilaporkan kepada Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pihaknya meminta pemerintah pusat turun tangan.
Ada setoran
Penelusuran Kompas, pungutan liar marak di balik pembalakan liar itu. Setiap truk yang mengangkut hasil kayu menyetorkan mulai dari Rp 500.000 hingga Rp 1 juta kepada oknum pimpinan di pemerintahan desa ataupun para oknum aparat.
Aktivis dari Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) yang menelusuri praktik liar di wilayah itu, Alber Tetanus, mengatakan, sebesar Rp 200 juta lebih mengalir sebagai pungli. Setiap harinya 30 hingga 50 truk mengangkut hasil kayu dari sejumlah titik lokasi pembalakan di wilayah Sumay. Ketika potensi kayu di satu tempat mulai berkurang, pembalak langsung melirik lokasi lain.
Kayu-kayu curian dari hutan alam setempat berdiameter antara 50 sentimeter dan 120 sentimeter. Jenisnya beragam, mulai dari meranti batu, meranti sapat, kulin, hingga mersawa. Di pasaran, harga kayu-kayu tersebut bisa sekitar Rp 5 juta per meter kubik.
Terkait maraknya pembalakan liar itu, Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Jambi Komisaris Besar Thein Tabero menyatakan belum mengetahui. ”Nanti kami pelajari dulu,” katanya.
Pembalakan liar itu berada dalam habitat gajah dan dialokasikan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial (KEE). Catatan Kompas, dari 350.000 hektar habitat gajah di ekosistem Bukit Tigapuluh, Jambi, tersisa 60.000 hektar yang kondisi hutannya masih baik. Habitat yang tersisa dalam ancaman kerusakan berat.
Nanti kami pelajari dulu.
Sebagian besar areal telah rusak karena beralih menjadi hutan tanaman industri dan perkebunan. Sejumlah kawasan hutan lindung dan produksi mengalami deforestasi masif akibat pembalakan, perambahan, dan masuknya usaha tambang.
Organisasi Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) telah menetapkan gajah sumatera ke dalam daftar merah (berstatus kritis). FKGI mendata populasi gajah sumatera tinggal 1.400 ekor dari sebelumnya 2.400 ekor tersebar di Sumatera dan Kalimantan Utara.