Dorong Partisipasi Swasta dan BUMN, Insentif Disiapkan
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan menyusun skema insentif dalam peraturan khusus untuk mendorong keterlibatan swasta dan badan usaha milik negara dalam pembangunan ibu kota baru. Pelaku usaha nantinya bisa terlibat melalui model konsesi maupun kerja sama dengan pemerintah.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, biaya pembangunan ibu kota baru tidak murah. Dari hitungan Bappenas, estimasi biaya yang dibutuhkan bisa berkisar Rp 323 triliun-Rp 466 triliun. Swasta dan BUMN mesti terlibat agar tidak membebani APBN.
“Biaya pasti tidak murah, tetapi kami ingin penggunaan ‘bahan bakar’ bisa seminimal mungkin. Kita harus siapkan baik insentif maupun pembiayaannya,” kata Bambang dalam diskusi media bertema pemindahan ibu kota di Jakarta, Senin (13/5/2019).
Bambang mengatakan, insentif yang dimaksud berupa peraturan khusus tentang keterlibatan swasta dan BUMN dalam pembangunan ibu kota baru. Mereka bisa berpartisipasi melalui model konsesi lahan ataupun skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU). Aturan khusus dibuat untuk memberi kepastian keuntungan bagi pelaku usaha.
Meski demikian, Bambang belum merinci detail peraturan khusus tersebut. Pemerintah juga tidak membahas jenis insentif lain, seperti insentif fiskal. Pelaku usaha, terutama di sektor properti, dinilai lebih membutuhkan kepastian hukum dan keuntungan ekonomi dari pembangunan ibu kota baru.
“Pemerintah akan memberikan kepastian pemanfaatan tanah untuk pengembangan kawasan. Misalnya, untuk konektivitas membangun jalan dari area perkantoran ke pusat kota terdekat,” kata Bambang.
Pembangunan kota baru selayaknya model bisnis properti. Total area yang dibutuhkan untuk membangun kota baru ini sekitar 40.000 hektar untuk sekitar 1-1,5 juta penduduk yang terdiri dari eksekutif, legislatif, yudikatif, TNI, Polri, beserta keluarga.
Terkait insentif, anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun berpendapat, sejauh ini ide pemberian insentif fiskal belum diperlukan karena ukuran ekonomi ibu kota baru tidak terlalu besar. Ibu kota baru tidak dirancang untuk menjadi kota metropolitan. Pemerintah diminta lebih fokus menyelesaikan persoalan dari sisi politik.
“Fasilitas fiskal atau pengecualian tidak diperlukan. Intinya, yang penting swasta dan BUMN bisa dilibatkan secara konkret,” kata Misbakhun.
Skenario biaya
Bappenas menyusun dua skenario kebutuhan biaya pembangunan ibu kota baru berdasarkan jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN). Skenario pertama membutuhkan biaya Rp 466 triliun dengan asumsi jumlah ASN yang dipindahkan sebanyak 195.550 orang. Adapun skenario kedua membutuhkan Rp 323 triliun dengan asumsi 111.510 ASN yang dipindahkan.
Bappenas menyusun dua skenario kebutuhan biaya pembangunan ibu kota baru berdasarkan jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN)
Pemindahan hanya pada fungsi pemerintahan, yaitu eksekutif, kementerian/lembaga, legislatif, parlemen (MPR/DPR/DPD), yudikatif (kehakiman, kejaksaan, MK), pertahanan dan keamanan (TNI, Polri), serta kedutaan besar dan perwakilan organisasi internasional yang ada di Indonesia.
“Ibu kota baru memang dibangun bukan untuk menyaingi Jakarta, juga tidak akan menjadi kota metropolitan dalam 5-10 tahun ke depan,” kata Bambang.
Menurut Bambang, semangat pemindahan ibu kota ini ada dua, yaitu untuk pengembangan ekonomi dan persatuan nasional. Pemindahan ibu kota ke Kalimantan diharapkan dapat memecah aktivitas ekonomi yang selama ini terkonsentrasi di Jawa. Sumber-sumber ekonomi baru akan tumbuh untuk mendukung pusat pemerintahan.
Dihubungi terpisah, peneliti pada Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, berpendapat, pemindahan ibu kota ke luar Jawa akan bermanfaat untuk keamanan maritim dan akses perdagangan internasional. Pemerintah bisa lebih fokus membuka jalur perdagangan dan memperbaiki industri.
“Ketergantungan pada komoditas mentah bisa benar-benar dikurangi dengan penciptaan nilai tambah,” kata Rusli.
Di sisi lain, rencana pemindahan ibu kota ini membutuhkan proses politik yang panjang. Pemerintah harus mengubah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Komunikasi politik antara pemerintah dan parlemen juga tidak bisa dikesampingkan.