Presiden Iran Hassan Rouhani meminta rakyatnya bersatu dan siap menghadapi keadaan lebih buruk daripada 1980-1988 saat Iran berperang dengan Irak.
Pernyataan Rouhani muncul setelah AS mengerahkan kapal serbu amfibi Arlington dan sistem antirudal Patriot untuk meningkatkan tekanannya kepada Iran. Sebelumnya, AS menghadirkan gugus tugas pengebom B-52 dan kapal induk Abraham Lincoln ke kawasan Teluk (Kompas, 12/5/2019).
”Tekanan oleh musuh adalah perang yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah revolusi Islam kita. Tetapi, saya tidak putus asa dan memiliki harapan besar untuk masa depan dan percaya bahwa kita dapat melewati kondisi sulit ini asalkan kita bersatu,” kata Rouhani, seperti dikutip kantor berita Iran, IRNA, Sabtu (11/5).
”Yang jelas saat itu, selama perang kami tidak memiliki masalah dengan bank kami, penjualan minyak atau impor dan ekspor, serta hanya ada sanksi pada pembelian senjata,” kata Rouhani kepada aktivis dari berbagai faksi di Iran.
Kemungkinan terjadinya perang dapat muncul setiap saat mengingat AS ngotot menjatuhkan sanksi kepada Teheran. Sebaliknya, Iran menolak keras melaksanakan 12 syarat AS untuk normalisasi hubungan mereka. Di antara 12 syarat itu, Iran menghentikan pengembangan teknologi rudal balistik, Iran harus mundur dari Suriah, dan Iran menghentikan bantuan terhadap kelompok Houthi di Yaman.
Banyak yang menduga, AS akan menerapkan skenario Irak terhadap Iran. Jika harus dijalankan, skenario ini belum tentu semulus di Irak. Iran punya proksi di beberapa negara dan persenjataannya dapat mengganggu lalu lintas minyak di Teluk Persia. Artinya, AS akan membayar lebih mahal dibandingkan dengan saat melengserkan Saddam Hussein di Irak.
Dalam pidato yang disiarkan televisi nasional, Rabu (8/5), Rouhani menegaskan, lima negara yang menandatangani perjanjian nuklir 2015 dengan Iran, yaitu Jerman, Perancis, Inggris, China, dan Rusia, punya waktu 60 hari untuk melaksanakan janji mereka, yakni melindungi sektor minyak dan perbankan Iran dari sanksi AS.
Jika kelima negara tersebut tak mampu melindungi Iran dari sanksi ekonomi AS, Iran akan mencabut sebagian komitmennya dalam kesepakatan nuklir itu. Rouhani menegaskan, Iran siap melanjutkan pengayaan uranium tingkat tinggi jika kekuatan dunia tidak menepati janji mereka.
Meski masih diwarnai silang pendapat, rakyat dan pemimpin Iran tampaknya siap menyongsong kemungkinan perang terbuka. Di sisi lain, AS akan mendapat dukungan dari negara sekutunya di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, untuk melancarkan perang terbuka.
Akankah dunia hanya menjadi saksi tanpa bisa mencegah terjadinya perang? Dampak kejatuhan Saddam, misalnya, dengan Negara Islam di Irak dan Suriah, dirasakan sampai sekarang. Menjatuhkan rezim di Iran akan cepat merambah ke negara proksi yang tentu akan memperluas wilayah perang dan butuh waktu lebih panjang untuk mengakhirinya.