Kampanye Sunyi Unggulkan Oposisi
Suhu politik di Australia menghangat sejak 11 April lalu saat kampanye pemilu di negara itu dimulai. Di tengah apatisme warga pada politik, pemimpin Oposisi Bill Shorten diunggulkan di jajak pendapat.
Mata pemimpin Oposisi Bill Shorten berkaca-kaca. Bibirnya gemetar ketika bercerita tentang kegigihan mendiang ibunya yang menjadi pengacara pada usia 53 tahun yang sebelumnya menjadi guru untuk membiayai pendidikan adik-adiknya. Di depan pendukungnya, Rabu (8/5/2019), Shorten merespons serangan surat kabar The Daily Telegraph yang menuduhnya menutupi masa lalu ibunya sebagai pengacara, dua hari sebelumnya. Padahal, kisah ibunya sudah sering ia sampaikan.
Reaksi emosional Shorten merebut perhatian luas dalam kampanye pemilu Australia yang dimulai 11 April 2019. Perdana Menteri Scott Morrison, yang setiap hari beradu argumen dengan Shorten soal kebijakan publik, menyampaikan simpatinya. Selebihnya, tak banyak drama yang terjadi selain insiden kecil pelemparan telur pada Morrison, Selasa (7/5/2019), dan satu atau dua politisi yang mencoba menarik perhatian publik dengan melakukan ”akrobat politik”, seperti memakan bawang bombai dengan kulit-kulitnya atau mengunyah sosis raksasa.
Baca juga: PM Morrison Dilempar Telur Saat Berkampanye
Shorten dan Morrison berkeliling negeri, mengunjungi pabrik-pabrik, bercakap-cakap dengan warga, dan menyelesaikan debat ketiga pada 8 Mei. Mereka mencoba menjangkau pemilih, yang menurut para pengamat tidak terlalu peduli terhadap politik.
Penelitian Museum Demokrasi Australia dan Universitas Canberra pada pertengahan tahun lalu menunjukkan, 80 persen penduduk dalam masyarakat tertentu tak percaya kepada pemerintah dan hanya 16 persen yang percaya pada partai politik. Australian Election Studies mengatakan, hanya 21 persen pemilih yang menonton debat calon pemimpin pada 2016 dibandingkan dengan 71 persen pada 1993. Pemirsa berpendapat, yang mereka tonton bukan benar-benar debat. Selain itu, ada faktor jam tayang yang kurang bersahabat.
Muncul juga krisis kepercayaan terhadap lembaga-lembaga jajak pendapat yang kali ini memberikan keunggulan tipis kepada Partai Buruh walaupun sosok Morrison lebih populer daripada Shorten.
Morrison vs Shorten
Morrison secara resmi meluncurkan kampanye partainya, Minggu (12/5/2019). Partai Liberal, yang dipimpinnya, akhir- akhir ini diguncang perpecahan. Dalam empat tahun terakhir, partai itu tiga kali berganti pemimpin. Pada peluncuran kampanye itu, dua pendahulu langsung Morrison sebagai PM, yakni Malcolm Turnbull dan Tony Abbott, tak muncul. Begitu juga John Howard yang menjabat PM tahun 1996-2007.
Morrison melukiskan pemilu ini seperti pilihan antara dirinya dan Shorten sebagai PM. ”Pilihan antara pemerintahan yang tahu mengelola uang, telah memulihkan anggaran menjadi surplus, dan kini akan membayar utang. Atau Bill Shorten dan Buruh, yang pengeluaran serampangannya akan memunculkan semua risiko di masa yang mungkin paling sulit,” ujar Morrison, seperti dikutip kantor berita Associated Press.
Dua partai yang bersaing tenggelam dalam perdebatan isu utama soal ekonomi dan lingkungan serta masalah pengungsi, pelayanan kesehatan, dan pendidikan. Kubu Koalisi, gabungan Partai Liberal (kaum konservatif perkotaan) dan Partai Nasional (kaum petani pedalaman) menuduh Partai Buruh (kelas pekerja dan orang kota yang menginginkan perubahan) berencana mendulang 200 miliar dollar Australia (sekitar Rp 2.000 triliun) lebih banyak dari sektor pajak dibandingkan gagasan mereka.
Adapun Partai Buruh menuduh kubu Koalisi berencana memotong pajak bank-bank besar. Tentang lingkungan, Koalisi berpegang pada persetujuan Paris yang menetapkan penurunan emisi 26-28 persen pada 2030. Partai Buruh menetapkan penurunan emisi 45 persen pada 2030 dengan memanfaatkan tenaga listrik yang diperbarui sebanyak 50 persen.
Morrison melukiskan pemilu ini seperti pilihan antara dirinya dan Shorten sebagai PM.
Dalam pemungutan suara, 18 Mei mendatang, pemilih akan memilih anggota parlemen yang ke-46 untuk menggantikan anggota parlemen ke-45 yang dibentuk pada 2016. Sebanyak 151 kursi di DPR dan 40 dari 76 kursi di Senat akan diperebutkan. Pemilih akan membubuhkan nomor urut preferensi mereka dengan pensil, cara yang pertama kali dipakai pada pemilu parlemen Negara Bagian Queensland tahun 1892. Pemilu di Australia bersifat wajib. Mereka yang tak berpartisipasi akan didenda.
Pemerintah Morrison berusaha memperpanjang pemerintahannya satu periode (tiga tahun) lagi. Lebih dari 40 partai-partai kecil, termasuk Partai Hijau dan One Nation serta politisi independen, berpartisipasi dalam pemilu ini. Partai kecil United Australian Party yang berplatform nasionalis menarik perhatian karena dana 60 juta dollar Australia dikucurkan Clive Palmer, pendiri partai dan miliarder, untuk memasarkan agenda politiknya.
Greg Poulgrain, profesor sejarah politik Indonesia di Sunshine Coast University, Queensland, mengatakan bahwa Partai Buruh akan lebih fokus pada Indonesia sebagai bagian dari ”kebijakan menggandeng Asia” jika memenangi pemilu. ”Bagian penting dari kebijakannya adalah meningkatkan pendidikan bahasa, memperluas pertukaran mahasiswa, dan menambah jumlah beasiswa,” tutur Poulgrain pada Kompas.
Baca juga: Partai Buruh Berjanji Perhatikan Asia
Berbagai pandangan disampaikan warga Australia saat diwawancara Kompas. ”Kalau mau menghancurkan negeri ini, pilihlah Partai Buruh,” ujar seseorang yang enggan disebut namanya. Ketika ditanya relevansi pemilu ini dengan Indonesia, ia mengatakan, ”Lucu sekali. Pemilu kali ini tidak menyinggung masalah internasional sama sekali. Yang dibicarakan soal pajak melulu.”
”Secara umum pemilu di Australia tak berbeda dengan yang terjadi di seluruh dunia, yaitu terpolarisasi. Makin ke kiri atau makin ke kanan. Sulit untuk berdiri di tengah,” ujar Janette, ibu rumah tangga. ”Karena sangat terpolarisasi, maka isu-isu sensitif di media sosial sedikit saja sudah cukup membuat seorang kandidat partai mengundurkan diri.”
Dalam kaitan dengan Indonesia, warga lainnya yang hanya ingin dipanggil Martin mengatakan, banyak orang Australia tidak tahu apa isu utama kedua negara. ”Kalau dicecar, mereka paling-paling bilang Jokowi kelihatannya oke oke saja. Mereka berharap kaum radikal bisa dijinakkan serta kebijakan ekonomi dan sosial yang lebih baik bisa diterapkan di Papua. Kerisauan utama adalah China, bukan Indonesia,” ujarnya.